20 Tahun Konvensi Antikorupsi: Pemberantasan Korupsi di Persimpangan Jalan

Jakarta, 27 Juli 2023

Tahun 2023 menandai sejumlah momentum penting diantaranya adalah usia reformasi yang genap 25 tahun serta 20 tahun pelaksanaan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi secara global. Meski demikian, Indonesia masih menyimpan banyak pekerjaan rumah, seperti halnya pelemahan terhadap lembaga pengawasan yang lahir pasca reformasi hingga tak kunjung usainya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, politisi dan sektor swasta. Namun harus diakui juga ada sejumlah capaian penting dalam upaya reform seperti digitalisasi layanan publik, debirokratisasi hingga deregulasi.

20 tahun UNCAC seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk merefleksikan komitmennya yang sudah teratifikasi sejak tahun 2006 melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Namun dalam praktiknya problem korupsi di sektor strategis khususnya sektor politik dan hukum justru tidak menjadi prioritas. Hal ini berimplikasi terhadap anjloknya skor Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) yang mengalami penurunan terburuk sepanjang reformasi sebanyak 4 poin dari tahun sebelumnya 38 (2021) menjadi 34 (2022). Situasi ini sesungguhnya mencerminkan kelindan kepentingan diantara pejabat publik, politisi, dan pebisnis.

Kehadiran instrumen pencegahan korupsi nasional, seperti Stranas PK umumnya disambut positif; meskipun cenderung mengabaikan akar masalah utama yakni korupsi politik. Wacana digitalisasi, deregulasi dan debirokratisasi dianggap ampuh sebagai panacea oleh pemerintah untuk memberantas korupsi dibandingkan mengejar penindakan yang justru dianggap “kampungan”. Kondisi ini sangat kontradiktif ditengah semakin maraknya korupsi di sektor pengadaan yang konon sudah mengadopsi sistem digital (e-procurement).

Jika ditelisik lebih jauh, Indonesia belum sepenuhnya mematuhi rekomendasi evaluasi implementasi UNCAC. Dari aspek politik hukum, dukungan politik pemerintah sangatlah kurang. Hal ini terlihat dari berbagai regulasi yang belum disahkan seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal, hingga RUU Pengadaan Barang dan Jasa. Sebaliknya pemerintah dan DPR justru lebih memilih merevisi UU KPK yang bukan menjadi bagian dari hasil rekomendasi pelaksanaan UNCAC. Pada akhirnya, Transparency International Indonesia (TI Indonesia) melihat bahwa kebijakan antikorupsi di Indonesia cenderung gagal karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan politik, justru kebijakan yang disahkan memberikan impunitas untuk para koruptor, mengabaikan perbaikan di sektor politik dan hukum.

TI Indonesia mendorong pemerintah untuk mengevaluasi strategi pencegahan korupsi kedepan. Butuh kerja keras pemerintah agar aksi pencegahan korupsi dapat mencapai tingkat dampak (impact). Stranas PK seharusnya tidak semata ditujukan untuk mersepon korupsi skala kecil (petty corruption) yang cenderung bermain di pinggiran serta didominasi pendekatan yang teknokratik-administratif, namun menutup mata terhadap masifnya upaya akumulasi kekuasaan (power accumulation) dan perluasan kekuasaan (power extension) di sisi yang lain.

Jika ingin terus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi maka penting untuk;

  1. Membangun kerangka kebijakan yang lebih menyentuh korupsi politik, diikuti dengan mempromosikan sistem diagnostic evidence berorientasi dampak yang empirik;
  2. Merancang strategi pemantauan dan evaluasi berbasis dampak, membuka dokumen-dokumen aksi pencegahan korupsi seluas-luasnya, dan merumuskan model kolaborasi serta komunikasi yang efektif dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil di daerah & memperkuat kolaborasi dengan Korsupgah KPK;
  3. Fokus pada aksi untuk mendorong iklim legislasi pemberantasan korupsi yang kuat, mendukung kerja lembaga pengawas serta memperkuat dimensi pencegahan korupsi politik;
  4. Mengikutsertakan Kementerian/Lembaga di bidang hukum, dalam hal ini Kemenkopolhukam dan Kemenkumham sebagai anggota Timnas PK;
  5. Memperkuat kolaborasi dengan Korsupgah KPK dengan menghindari tumpang tindih koordinasi di tingkat daerah terutama pada program Korsupgah KPK;
  6. Kelembagaan Stranas PK perlu lebih mandiri sehingga efektivitas koordinasi Timnas PK dapat lebih terjamin.
  7. Perlu transparansi sumber pendanaan dan pemanfaatan anggaran Stranas PK;
  8. Mengembangkan mekanisme dan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas tentang bentuk pelibatan masyarakat yang konkrit di setiap tahapan penyusunan Aksi PK;
  9. Membangun skema ko-kreasi secara formal dengan CSO melalui penetapan model Sekretariat Bersama. Model sinergi pelibatan partisipasi masyarakat sipil untuk peningkatan kualitas capaian Stranas PK dapat mengambil contoh kolaborasi dari inisiatif Open Government Partnership di Indonesia.

Narahubung:

Alvin Nicola, Manager Democratic and Participation Governance Department TI Indonesia, (anicola@transparansi.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *