Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2022: Kegamangan Komitmen Antikorupsi Presiden Jokowi

 

Jakarta, 18 Agustus 2022 – Presiden Joko Widodo telah menyampaikan pidato kenegaraan untuk menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia. Terdapat 5 kata “korupsi” yang muncul dalam pidato Presiden RI Joko Widodo di hadapan MPR dalam sidang tahunan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-77 tahun pada 16 Agustus 2022. Setidaknya ada dua hal yang disampaikan Presiden terkait korupsi dalam pidato tersebut yakni; (1) Presiden menyebut kasus-kasus besar yang tengah diusut Polri, Kejaksaan dan KPK, seperti kasus korupsi Jiwasraya, ASABRI dan Garuda. Termasuk didalamnya soal upaya penyelamatan aset dalam kasus BLBI; (2) Dengan kasus-kasus tersebut Presiden kemudian seolah mengklaim bahwa hal tersebut berdampak pada kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari 37 (2020) menjadi 38 (2021) . Termasuk juga kenaikan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) dari 3.88 (2021) menjadi 3.93 (2022) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Bagi Transparency International Indonesia (TII), pidato antikorupsi ini menjadi sebuah kejutan. Sebab di tahun 2020 dalam momentum peringatan kemerdekaan yang sama Presiden tak mengucap sepatah katapun soal korupsi apalagi upaya dan capaian pemberantasan korupsi. Hal ini menjadi “janggal” sebab d itahun 2020 banyak kalangan menilai Indonesia tengah mengalami gelombang kemunduran demokrasi yang kemudian beriringan dengan jebloknya IPK Indonesia dari skor 40 (2019) menjadi 37 (2020). Padahal TII dalam laporan IPK 2020 dan 2021 secara konsisten dan sangat jelas mengingatkan Pemerintah bahwa situasi pandemik seharusnya tidak menjadi alasan untuk membatasi kebebasan sipil yang mengakibatkan penurunan kualitas demokrasi sekaligus melemahkan upaya antikorupsi di masa yang akan datang.


Oleh karena itu TII menyampaikan hal sebagai berikut;

  1. Aspek penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang disebut oleh Presiden tidak dapat dilepaskan dari sebuah kondisi di mana penegakan hukum dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal ini tentu berkaitan dengan kelembagaan penegak hukum dengan kewenangan yang cukup dan bersifat independen. Prasyarat ini tentu sangat kontradiktif dengan politik hukum Presiden terhadap kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui perubahan UU Nomor 19 Tahun 2019 yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi. Ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia dan temuan Komnas HAM terkait alih satus pegawai KPK yang tidak dijalankan oleh Presiden. Dengan kondisi yang demikian kenaikan IPK Indonesia sebesar 1 poin d itahun 2021 sesungguhnya tidak bersumber dari aspek penegakan hukum. Sebab ada 3 (tiga) indikator yang menjadi bagian penyusun dari IPK mengalami stagnasi di mana salah satunya adalah yang terkait dengan penegakan hukum (Economist Intelligence Unit, PERC Asia dan World Justice Project – Rule of Law Index). Indikator yang terkait penegakan hukum dan korupsi politik mengalami stagnasi, bahkan penurunan. Hal inilah yang memperkuat pandangan bahwa korupsi politik dan penegakan hukum masih belum ada perbaikan yang signifikan.
  2. Kenaikan IPK Indonesia 2021 justru bersumber dari indikator ekonomi yakni Global Insight naik 12 poin; World Economic Forum EOS naik 7 poin; IMD World Competitiveness Yearbook naik 1 poin. Paket kebijakan ekonomi dan munculnya UU Cipta Kerja yang memberikan kelonggaran pada proses perizinan dan insentif perpajakan justru yang menjadi pengungkit utama. Sehingga paket debirokatisasi, deregulasi hingga resentralisasi perlu dikaji-ulang jika dikaitkan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
  3. Di sektor politik hampir tidak ada jejak perbaikan yang dilakukan oleh Presiden. Dalam IPK Indonesia 2021, indikator Political Risk Service (PRS) turun 2 poin dan Varieties of Democracy (V-Dem) turun 4 poin. Kedua indikator ini secara garis besar memberikan penilaian tentang korupsi dalam sistem politik Indonesia. Penilaian ini tidak terlepas dari semakin maraknya kasus korupsi yang melibatkan politisi dan pelemahan terhadap institusi penegak hukum (KPK) melalui berbagai kebijakan politik (perubahan UU KPK) yang diinisiasi oleh Presiden dan parlemen (DPR). Presiden dalam hal ini selalu memunculkan kontradiksi, pada satu sisi Presiden senantiasa menyampaikan semangat untuk memperkuat KPK, tetapi di sisi lain Presiden seolah tidak dapat mengontrol setiap kebijakan politik yang justru melemahkan kelembagaan KPK. Secara politik kekuasaan Presiden hampir tak bisa dihalangi sebab mayoritas partai politik di parlemen adalah pendukung politik Presiden. Akibatnya Presiden seperti mengalami kegamangan dalam menentukan kebijakan politik pemberantasan korupsi.
  4. TII dalam hal ini kembali mengingatkan kepada Presiden bahwa situasi demokrasi dan pemberantasan korupsi harus berjalan seiringan dan tak bisa ditawar lagi. Sehingga orientasi pemberantasan korupsi bukan sekadar untuk melayani investasi dan pertumbuhan ekonomi belaka. Pemulihan ekonomi yang sedang digaungkan seharusnya bisa lebih cepat dilakukan jika Presiden serius untuk memperbaiki penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Senada dengan itu Presiden tentu tidak punya beban politik (elektoral) jika mengambil kebijakan yang nanti dikhawatirkan merugikan kelompok politik pendukungnya. Upaya reformasi terhadap kelembagaan politik khususnya partai politik dan parlemen seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan agar situasi ekonomi yang sedang dalam masa sulit ini tidak diganggu oleh kepentingan politik jangka pendek.

Kontak Media:
Dzatmiati Sari – +62 821-1476-0440, dsari@transparansi.id

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5 Rt1/4 Pejaten Barat
Pasar Minggu – Jakarta Selatan 12510
No Tlp : 021 – 2279 2806, 021 – 2279 2807

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *