Transparency International Indonesia menemukan bahwa penanganan pandemi Covid-19 sejak 2020 di Indonesia lebih dominan pada pendekatan ekonomi dibandingkan pendekatan kesehatan masyarakat. Dalam kajiannya, ‘Kajian Pembelajaran Pandemi Covid-19’, pendekatan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pendekatan masyarakat ini sedikit banyak berpengaruh pada lonjakan kasus Covid-19 yang tidak terkontrol di dalam negeri.
Tim penulis kajian Amanda Tan mengatakan, adanya dominasi pendekatan ekonomi terlihat saat pembuat kebijakan lebih memilih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang karantina wilayah. Hal ini kata dia, bertentangan dengan pasal 7,8, dan 9 UU Karantina Wilayah. Pasal 7 menyebutkan, setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Sementara itu, pasal 8 berisi setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. “Terjadi pemilihan PSBB ketimbang karantina wilayah. PSBB ini kemudian memberikan ruang yang banyak kepada pemerintah untuk menghidupkan sektor ekonomi dan bisnis untuk terus beroperasi selama Covid-19,” kata Amanda Tan dalam acara peluncuran kajian di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (27/3/2023).
Amanda menyampaikan, dominasi pendekatan ekonomi juga tecermin ketika Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) merupakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Wakil ketua KPC-PEN pun berasal dari menteri di bidang ekonomi, yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Tak heran, fokus kebijakan pada pemulihan ekonomi nasional lebih mengarah pada pemilihan ekonomi. Hal ini juga terlihat ketika anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) banyak diarahkan untuk pemulihan ekonomi dan dukungan korporasi. “Total anggaran PEN periode 2020-2022 mencapai Rp 1.645 triliun. Anggaran PEN untuk perekonomian seperti kluster sektoral dan pemda/program prioritas, insentif usaha, UMKM, dan pembiayaan korporasi adalah anggaran terbesar,” tutur dia.
Amanda menyebut, kebijakan yang lebih mengarah pada pemulihan ekonomi membuat kasus Covid-19 di Tanah Air sulit dikontrol, sehingga terjadi lonjakan beberapa kali selama kurun waktu 3 tahun. Pada Juli tahun 2021 misalnya, terjadi lonjakan varian Delta. Amanda mensinyalir, lonjakan ini terjadi usai libur Hari Raya Idul Fitri ketika mobilitas warga meningkat akibat mudik Lebaran. “Di mana KPC-PEN mengeluarkan SE nomor 13/2021 yang memperbolehkan warga untuk mudik. Tapi kami melihat adanya celah mobilitas yang besar karena saat itu kita boleh mudik ketika kita mencantumkan beberapa prosedural tertentu,” tutur Amanda.
“Ini pun menjadi salah satu catatan bahwa lonjakan delta pada 2021 dipicu oleh kebijakan itu sendiri,” imbuhnya. Di sisi lain, vaksin Covid-19 tidak aksesibel bagi mayoritas warga. Mekanisme ‘jemput bola’ dari pemerintah tidak berjalan sehingga warga harus secara mandiri melakukan roadshow ke beberapa sentra vaksinasi untuk mendapatkan vaksin. Kemudian, terjadi ketidaksesuaian data calon penerima vaksinasi dengan kondisi sebenarnya yang dapat berdampak pada rusaknya vaksin dan pada pemborosan vaksin. Selanjutnya, merugikan anggaran negara. “Ini ter-capture oleh teman-teman Lapor Covid-19 di mana warga kesulitan mendapatkan vaksin karena mereka ditolak terus. Ketika menginput data dan juga datang ke sentra vaksinasi terdekat, harus melakukan penginputan data kembali,” jelas Amanda.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kajian TII: Penanganan Pandemi Covid-19 Dominan ke Pemulihan Ekonomi Jadi Sebab Kasus Melonjak”
Penulis : Fika Nurul Ulya
Editor : Bagus Santosa