Yayasan Samahita dan TI Indonesia Jaring Aspirasi Soal Perempuan dan Politik, Edukasi Women Support Women

PIKIRAN RAKYAT – Jelang Pemilu 2024, Yayasan Samahita Bersama Kita dan Transparency International Indonesia (TII) berinisiatif untuk menghadirkan diskusi publik bertajuk Perempuan Menggugat: Perempuan di Tahun Pemilu 2024 pada hari ini, Rabu, 31 Januari 2024. Dalam acara tersebut, banyak isu-isu menarik yang relevan, yang dibahas.

Tak hanya soal perempuan, diskusi tersebut juga membahas kelompok disabilitas yang dikaitkan dengan demokrasi dan politik. Secara keseluruhan, sejumlah isu yang dibahas di antaranya adalah women support women (perempuan dukung perempuan), pemenuhan hak-hak disabilitas, dan keterwakilan suara disabilitas di kursi legislatif.

Terkait dengan women support women, dalam diskusi tersebut dibahas bahwa konteks dari women support women bukan hanya soal memilih siapa saja yang penting perempuan, tetapi juga gagasannya. Salah satu narasumber, Wiwi Hartanti yang merupakan caleg DPRD Kota Bandung dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan bahwa dalam menentukan pilihan caleg, masyarakat biasanya memikirkannya dengan sangat sederhana. “Soal narasi maskulin dalam aturan atau raperda, (memang) butuh keilmuan. Hal itu juga harus dibekali kepada anggota legislatif,” katanya, menjawab pertanyaan peserta, Rabu, 31 Januari 2024.

Sementara, satu narasumber lain, Vanya Vibilla yang merupakan caleg DPRD Kabupaten Bandung dari PDIP mengatakan banyak pemilih yang belum terpikirkan bahwa memilih caleg juga harus berdasarkan gagasannya. “Kita harus memberikan contoh perempuan dukung perempuan, kita bisa harus memberikan cerminan perempuan yang dekat dengan masyarakat. (Kita bisa lakukan) pendekatan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat,” ujarnya.

Senada dengan Vanya, narasumber lain yang merupakan caleg DPRD Kota Bandung dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Gina Mardiana menyebut women support women juga harus diwujudkan dengan adanya edukasi untuk masyarakat. “Kita perlu mengetahui siapa caleg yang akan kita pilih, keberpihakannya, concern-nya terhadap perempuan, sehingga perda yang dihasilkannya pun sesuai. Masyarakat perlu edukasi mengenai hal itu,” ucapnya.

Kuota Kursi di Parlemen untuk Kelompok Disabilitas

Acara tersebut juga dihadiri oleh akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Dr. Indraswari. Saat itu, Indraswari secara khusus menjawab pertanyaan dari peserta diskusi soal kuota kursi di parlemen untuk kelompok disabilitas. Ia setuju dan mendorong adanya kuota kursi bagi kelompok disabilitas untuk mewakilkan suara disabilitas. “Kuota kan affirmative action karena ada kelompok tertinggal dalam berbagai aspek hingga harus ada perlakuan khusus. Harapannya dengan semangat inklusi, seharusnya tidak ada seorang pun yang tertinggal,” tuturnya. “Mungkin perlu ada satu kebijakan khusus untuk mendorong disabilitas atau kelompok minoritas untuk duduk di parlemen agar suara bisa lebih terdengar dan terakomodasi,” katanya melanjutkan.

Seirama dengan Indraswari, Wiwi menilai bisa saja kuota kursi di parlemen bagi kelompok disabilitas itu terwujud, tetapi memang akan ada pengaruh dari paradigma dan kepentingan politik. “Yang sangat dibutuhkan, solusi yang sangat diharapkan, adanya tiga komponen (legislatif, yudikatif, eksklusif) untuk memenuhi kebutuhan hak disabilitas,” ujarnya.***

Sumber: PIkiran Rakyat
Download kertas posisi di sini