Jakarta, 18 Oktober 2022
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Jum’at, 14 Oktober 2022 menyatakan 18 partai politik lolos verifikasi administratif sebagai peserta pemilu tahun 2024. Dalam pengumuman bernomor 09/PL.01.1-Pu/05/2022 tersebut, 9 partai politik di antaranya adalah partai politik lama hasil pemilu 2019 yang mendapatkan kursi di DPR RI. Ada juga partai politik yang pernah menjadi peserta pemilu 2019 yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda). Sisanya ada 6 partai politik lain yakni Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Buruh dan Partai Ummat. Tahapan ini menjadi sangat penting dalam rangkaian untuk menentukan partai peserta pemilu 2024. Secara normatif, persyaratan bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu di dalam UU 7 Tahun 2017 memuat; (1) memiliki status badan hukum, (2) memiliki kepengurusan di tingkat pusat dan daerah sesuai ketentuan, (3) Kepengurusan di tingkat pusat diisi minimal 30% oleh perempuan, (4) memiliki anggota dengan jumlah tertentu, (5) memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai tahapan pemilu berakhir, (6) mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar parpol kepada KPU, dan (7) menyerahkan nomor rekening dana kampanye.
Hak dan Kewajiban Partai Politik
Menjadi peserta pemilu adalah hak utama bagi partai politik di antara hak-hak lainnya yang disebutkan didalam undang-undang tentang partai politik (Pasal 12 UU 2/2008). Hak untuk mengikuti pemilu tersebut meliputi pemilu untuk memilih presiden/wakil presiden, pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, serta pemilu kepala daerah. Pemberian hak tersebut seharusnya juga diikuti dengan mekanisme untuk memastikan partai politik memenuhi kewajibannya sesuai undang-undang. Dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ada 11 (sebelas) kewajiban partai politik. Jika ditelusuri, pemenuhan syarat bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu tidak sepenuhnya mengafirmasi pemenuhan kewajiban partai politik sebagai sebuah organisasi. Di dalam undang-undang pemilu, pemenuhan syarat yang relevan dengan kewajiban partai politik secara eksplisit hanya menyangkut soal kepengurusan/keanggotaan dan memiliki rekening dana kampanye. Padahal ada kewajiban lain yang bernilai administratif sekaligus substansial terkait institusi partai politik. Kewajiban tersebut adalah “membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat” (Pasal 13 huruf h UU Partai Politik).
Dari 18 partai politik yang dinyatakan lolos secara administratif oleh KPU, bisa dipastikan tidak satupun partai politik yang memenuhi kewajiban secara utuh terkait keuangan partai politik. Berdasarkan penelusurun TI Indonesia yang dimuat dalam kanal www.kamubersihakupilih.id, mayoritas partai politik, khususnya partai politik yang memiliki kursi di DPR hanya mempublikasikan laporan keuangan yang berasal dari negara (banpol) yakni Gerindra, PDIP, PKS, Demokrat, Nasdem, dan PAN. Bahkan ada 3 partai politik parlemen yang sama sekali tidak mempublikasikan laporan keuangan yang berasal dari negara (Golkar, PPP, PKB).
Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan
Sebagai badan publik, keterbukaan keuangan seharusnya menjadi barometer akuntabilitas institusional. Melalui laporan keuangan akan tercermin seluruh aktivitas partai politik yang dilakukan secara rutin dan periodik. Sehingga melalui keterbukaan keuangan, publik dapat mengetahui bagaimana partai politik dijalankan. Keputusan-keputusan strategis yang diambil oleh partai politik sebetulnya mencerminkan bagaimana partai politik mengelola keuangannya. Jamak dipahami bahwa tertutupnya partai politik terkait aktivitas keuangannya disebabkan oleh kuatnya pengaruh elit dan pemodal tertentu dalam pengelolaan partai politik.
Problem laten dalam institusi partai politik inilah yang menyebabkan sulitnya memberantas korupsi terutama di sektor politik. Jika ditelusuri selama 3 tahun terakhir (2019 – 2021) ada kecenderungan problem korupsi politik justru semakin menguat dalam sistem politik Indonesia. Jika membaca laporan Corruption Perception Index (CPI) sejak tahun 2019 hingga 2021 dapat diketahui bahwa ada kecenderungan indikator penyusun CPI yang mengalami penurunan secara dramatis adalah indikator yang terkait dengan sistem politik dan demokrasi. Indikator tersebut misalnya adalah Varieties of Democracies Project (Vdem), PRS International Country Risk Guide, Bertelsmann Foundation Transformation Index (BFTI), dan PERC Asia Risk Guide.
Upaya pemerintah dalam memperbaiki sektor politik hanya terlihat dari kenaikan anggaran bantuan keuangan kepada partai politik melalui PP Nomor 1 Tahun 2018. Namun kenaikan bantuan tersebut tidak diikuti dengan memperkuat akuntabilitas dan transparansi keuangan partai politik. Kewajiban pelaporan dan keterbukaan kepada publik hanya menyasar pada keuangan yang berasal dari negara. Padahal UU tentang Partai Politik sangat jelas memberikan kewajiban pelaporan keuangan secara menyeluruh. Dari aspek kelembagaan pengawasan, pemerintah dalam hal ini juga abai terhadap pengawasan yang diberikan oleh undang-undang. Pasal 47 ayat (2) UU Partai Politik secara jelas menyebutkan memberikan “sanksi administratif” kepada partai politik jika tidak membuat pembukuan, tidak memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta tidak terbuka kepada masyarakat.
Ada dua kondisi yang membuat sulit berharap terjadinya perbaikan dalam sistem politik pasca pemilu 2024. Pertama, tahapan penyelenggaraan pemilu tidak cukup sebagai sarana untuk menyuguhkan kualitas partai politik yang layak dipilih oleh publik. Penyelenggara pemilu juga tak cukup punya gagasan untuk mendesain suatu mekanisme agar partai politik yang dinyatakan sebagai peserta pemilu adalah partai politik yang akuntabel dan transparan, misalnya dalam hal tata kelola keuangan. Kedua, pemerintah mengabaikan fungsinya sebagai pengawas dan fasilitator untuk memperkuat institusi partai politik. Kenaikan bantuan keuangan pada satu sisi memang dibutuhkan agar partai politik tidak lagi bergantung pada sumber keuangan tunggal. Namun kenaikan bantuan keuangan seharusnya memperkuat upaya pemerintah untuk memaksimalkan fungsinya dalam hal pengawasan dan fasilitasi khususnya dalam hal akuntabilitas dan transparansi keuangan partai politik.
CP; Sahel Muzammil (smuzammil@transparansi.id)