Banyak Gratifikasi Terjadi, Integritas Lembaga Peradilan Dinilai Merosot

Banyaknya aparatur peradilan yang terjerat kasus hukum membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan merosot. Kemerosotan ini kemudian menjadi pembahasan dalam Seminar Nasional yang berlangsung di Auditorium Al Jibra Universitas Muslim Indonesia Makassar, Senin (12/6/2023).

Seminar Nasional yang diselenggarakan atas kerja sama Transparency International Indonesia (TII), Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), dan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) tersebut, tepatnya mengangkat tema “Penguatan Partisipasi Publik dalam Meningkatkan Integritas Peradilan”.

Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal TII dalam kesempatannya memaparkan bahwa gratifikasi merupakan praktik korupsi yang paling mendominasi. Gratifikasi yang dimaksud dapat berupa permintaan uang, hadiah barang, atau diskon.

“Praktik permintaan sejumlah uang oleh petugas pengadilan perlu dibersihkan,” kata Danang.

“Mayoritas responden menilai biaya di luar biaya resmi menyalahi aturan dan tidak wajar, dan pemberian sejumlah uang tersebut dianggap sebagai perilaku korup,” Danang menambahkan.

Demikian juga diungkapkan Dekan Fakultas Hukum UMI Prof. La Ode Husein. Pada seminar tersebut, ia menegaskan bahwa prinsip dasar harus mampu dipegang hakim diantaranya independensi, ketidakberpihakan, integritas, kejujuran, dan kompetensi.

Sementara Azwar Mahis, Koordinator Penghubung Komisi Yudisial (KY) Sulawesi Selatan, menjabarkan bahwa KY adalah lembaga yang cukup kuat untuk mengawasi perilaku etik hakim.

Menurutnya, cukup banyak efek yang diberikan oleh KY, seperti pemberian sanksi bagi hakim yang tidak profesional dan melanggar etik.

Namun demikian, lanjut Azwar, di balik efek positif tersebut, KY masih lemah secara kewenangan dan daya yang terbatas.

“Dengan SDM yang minim, KY berusaha agar kewenangan tetap dimaksimalkan, misalnya dengan memprioritaskan pemantauan sidang hanya untuk beberapa kasus yang cukup menyita perhatian publik,” tutur Azwar.

Berbeda dengan Ketua Yayasan Pemerhati Perempuan Sulawesi Selatan Aflina Mustafaina. Dalam kesempatannya, ia mengatakan integritas peradilan juga diukur berdasarkan aksesibilitas peradilan terhadap perempuan.

Aflina menilai peradilan Indonesia cukup bias gender. Hal ini tercipta akibat diskriminasi sistemik yang terus terjadi pada perempuan yang mengakses peradilan.

“Tidak ada evaluasi berarti dari pemerintah untuk mengurangi hal ini, paling tidak mengubah cara pandang hakim agar mempunyai pemahaman gender yang proporsional,” ungkap Aflina.

Anggareksa PS, pegiat Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) mengungkapkan bahwa dalam Seminar Nasional ini, selain mengundang sejumlah panelis di atas, seminar ini awalnya juga mengundang Ketua Pengadilan Negeri Makassar untuk memaparkan strategi penguatan integritas peradilan.

Menurutnya, pemaparan ini sangat berguna bagi publik untuk mengetahui niat perbaikan institusi peradilan yang dinilai buruk. Terlebih lagi, kata dia, banyaknya aparatur peradilan yang terjerat kasus korupsi sehingga membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan terus merosot.

“Namun, dalam diskusi ini, Ketua Peradilan Negeri Makassar tidak menghadiri undangan seminar ini, tanpa alasan yang jelas,” Anggareksa mengungkapkan.

Sumber: Liputan 6.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *