Menghentikan politisasi atas pengadilan adalah tugas pertama negara saat ini dalam rangka memulihkan marwah pengadilan. Dan, pengadilan, terutama hakim, adalah yang paling bertanggung jawab atas marwah kelembagaannya.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU menunda penyelenggaraan Pemilu 2024 menambah pekat awan mendung yang selama beberapa tahun terakhir menyelimuti wajah peradilan Indonesia. Setelah dua hakim agung terjaring korupsi, hakim konstitusi dicopot sesuka hati, putusan pengadilan dimanipulasi, kredibilitas pengadilan kembali diuji dengan kemunculan putusan yang bukan hanya melampaui kewenangan atau salah kamar, tetapi juga sarat akan kepentingan politik.
Kepercayaan terhadap pengadilan
Kontroversi yang datang silih berganti dari dunia pengadilan jelas berimplikasi kepada kepercayaan publik terhadap lembaga yang kerap disebut benteng terakhir penegakan hukum ini. Hasil survei yang dilakukan Transparency International Indonesia bersama Litbang Kompas terhadap 1.200 responden di 34 provinsi pada kuarter akhir 2022 memberikan sedikit gambarannya.
Salah satu pertanyaan adalah seberapa percaya mereka (responden) bahwa dalam satu tahun terakhir pengadilan mampu mengambil keputusan secara adil. Atas pertanyaan ini, sebanyak 2,4 persen menjawab sangat percaya, 47,3 persen menjawab percaya, 26,6 persen menjawab tidak percaya, 1,1 persen menjawab sangat tidak percaya, sementara 22,6 persen sisanya memilih tidak menjawab atau menjawab tidak tahu.
Seperti terlihat, kepercayaan bahwa pengadilan mampu mengambil keputusan secara adil masih menjadi jawaban kebanyakan responden. Namun begitu, tingkat kepercayaan ini sedikit berada di bawah angka 50 persen, menunjukkan keharusan pengadilan untuk mulai mawas diri.
Pasalnya, jika dianalogikan elektabilitas, dengan tingkat kepercayaan ini pengadilan bisa saja “kalah” pada putaran berikutnya, dengan asumsi responden tidak tahu atau tidak menjawab saat ini beralih ke jawaban tidak percaya atau sangat tidak percaya.
Seperti terlihat, kepercayaan bahwa pengadilan mampu mengambil keputusan secara adil masih menjadi jawaban kebanyakan responden. Namun begitu, tingkat kepercayaan ini sedikit berada di bawah angka 50 persen, menunjukkan keharusan pengadilan untuk mulai mawas diri.
Pasalnya, jika dianalogikan elektabilitas, dengan tingkat kepercayaan ini pengadilan bisa saja “kalah” pada putaran berikutnya, dengan asumsi responden tidak tahu atau tidak menjawab saat ini beralih ke jawaban tidak percaya atau sangat tidak percaya.
Pencopotan hakim konstitusi Aswanto dengan alasan kerap tak sejalan dengan kehendak pembentuk undang-undang adalah contoh gamblang politisasi tersebut.
Lebih jauh, inti permasalahan di dunia pengadilan menurut persepsi responden tepat berada di jantung kekuasaan yudikatif itu sendiri, yaitu hakim. Ketika ditanyakan peluang korupsi aktor pengadilan, hakim memperoleh persepsi paling negatif dengan 24,3 persen responden menjawab peluang korupsi hakim sangat besar, 61,8 persen menjawab besar, 11,6 persen menjawab kecil, dan 2,4 persen menjawab sangat kecil. Setelah hakim, aktor pengadilan lainnya dengan peluang korupsi terbesar menurut responden (berurutan) adalah ketua pengadilan, wakil ketua pengadilan, sekretaris pengadilan, juru sita, panitera, dan petugas pengadilan lainnya.
Tampaknya, persepsi tentang besarnya peluang korupsi oleh hakim jugalah yang membentuk ekspektasi responden ketika ditanyakan harapannya untuk layanan pengadilan di Indonesia. Adil, menjadi jawaban terbanyak responden dengan persentase 25,9 persen, disusul proses yang transparan tanpa rekayasa (15,8 persen), proses lebih mudah (12,0 persen), proses cepat (9,5 persen), responsif/tanggap (5,7 persen), tidak diskriminatif (3,2 persen), tidak ada biaya tambahan (3,2 persen), lainnya (2,0 persen), dan menjawab tidak tahu/tidak menjawab (18,7 persen).
Tugas Bersama
Menjaga marwah pengadilan adalah tugas bersama yang diemban oleh negara dan masyarakat. Negara berkewajiban menciptakan iklim antikorupsi melalui serangkaian kebijakan dan memastikan pengadilan tetap apolitis, imparsial, dan independen. Sementara tugas masyarakat adalah secara aktif melakukan pengawasan partisipatif.
Sayangnya, perkembangan terakhir menyangkut Mahkamah Konstitusi justru menunjukkan adanya upaya politisasi negara atas pengadilan. Pencopotan hakim konstitusi Aswanto dengan alasan kerap tak sejalan dengan kehendak pembentuk undang-undang adalah contoh gamblang politisasi tersebut. Bahkan, politisasi ini masih berlanjut sampai pada wacana revisi UU MK untuk memberi jalan bagi DPR dan presiden mengevaluasi hakim konstitusi dan dapat memecat mereka sewaktu-waktu.
Jika politisasi semacam ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat institusi pengadilan akan kehilangan kepercayaan publik dan “roboh” sepenuhnya. Karena itu, menghentikan politisasi atas pengadilan adalah tugas pertama negara saat ini dalam rangka memulihkan marwah pengadilan.
Tentu, di atas segalanya pengadilan sendiri wajib menunjukkan integritasnya. Pengadilan tak boleh mengumpankan diri untuk pragmatisme politik sebagaimana kini menjadi dugaan banyak orang pasca keluarnya putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024. Dugaan ini menjadi wajar karena, di samping janggalnya konstruksi hukum putusan, wacana penundaan pemilu telah berulang kali disuarakan sejumlah politikus dan menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap kelangsungan demokrasi Indonesia.
Pengadilan, terutama hakim, jelas adalah yang paling bertanggung jawab atas marwah kelembagaannya sendiri. Mengutip ungkapan amat terkenal dari Benjamine N Cardozo dalam The Nature of Judicial Process (1921), ”in the long run, there is no guarantee of justice, except the personality of the judge” (dalam jangka panjang, tidak ada jaminan atas keadilan, kecuali kepribadian hakim itu sendiri).
Ungkapan tersebut terasa sepenuhnya benar, untuk profesi yang kerap dipandang sebagai wakil Tuhan dan membawa nama Tuhan di setiap putusannya ini. Tanpa integritas hakim dan pengadilan, keadilan hanya sekadar menjadi basa-basi.
Sahel Muzzammil, Peneliti Transparency International Indonesia
Artikel ini telah di tayangkan di harian Kompas edisi 15 Maret 2023