CPI 2018: KORUPSI DAN KRISIS DEMOKRASI
Jakarta, 29 Januari 2019 – Hari ini Transparency International kembali merilis Corruption Perception Index yang ke-23 untuk tahun pengukuran 2018. CPI 2018 mengacu pada 13 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Penilaian CPI didasarkan pada skor. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Pada CPI 2018 ini mengungkapkan bahwa terjadi dekadensi /kemerosotan dalam upaya pemberantasan korupsi oleh sebagian besar negara. Lebih dari 2/3 negara yang disurvei berada di bawah skor 50 dengan skor rata-rata global 43. Sejak 2015, rerata skor CPI secara global mengalami stagnasi di angka 43.
Temuan ini diungkapkan oleh Patricia Moreira, Direktur Pelaksana Transparency International di Berlin hari ini. “Kegagalan sebagian besar negara untuk mengendalikan korupsi telah terbukti berkontribusi pada krisis demokrasi di seluruh dunia.”, kata Moreira.
Indonesia untuk kesekian kalinya juga turut serta menjadi salah satu negara yang dinilai. “CPI Indonesia tahun 2018 berada di skor 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Angka/skor ini meningkat 1 poin dari tahun 2017 lalu. Hal ini menunjukkan upaya positif antikorupsi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik itu Pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi, kalangan bisnis dan juga masyarakat sipil.” ungkap Wawan Suyatmiko, Peneliti Transparency International Indonesia.
Terdapat dua sumber data yang menyumbang kenaikan CPI Indonesia di tahun 2018. Yakni Global Insight Country Risk Ratings dan Political and Economy Risk Consultancy. Sementara itu, lima dari sembilan indeks mengalami stagnasi, yakni World Economic Forum, Political Risk Service, Bertelsmann Foundation Transformation Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, World Justice Project – Rule of Law Index. Sedangkan dua mengalami penurunan yakni IMD World Competitiveness Yearbook dan Varieties of Democracy.
“Peningkatan terbesar dikontribusikan oleh Global Insight Ratings dengan peningkatan sebesar 12 poin dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini dipicu oleh lahirnya sejumlah paket kemudahan berusaha dan sektor perizinan yang ramah investasi. Sedangkan penurunan terbesar dikontribusikan pada IMD World Competitiveness dengan penurunan sebesar 3 poin. Penurunan skor ini dipicu oleh makin maraknya praktik korupsi dalam sistem politik di Indonesia.” tambah Wawan.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, analisis silang data antara tren korupsi dengan demokrasi di seluruh dunia mengungkapkan bahwa korupsi merupakan virus yang merusak demokrasi. “Korupsi terbukti telah mendorong demokrasi untuk menghasilkan lingkaran setan, di mana korupsi merusak lembaga demokrasi tersebut. Sistem politik dan demokrasi harus diperbaiki untuk kebal dari korupsi. Sehingga akan menghasilkan demokrasi yang berkualitas.” ujar Dadang.
“Dari CPI 2018, dapat dilihat bahwa, peningkatkan secara signifikan kemudahan berbisnis memang akan meningkatkan skor CPI. Namun memutus relasi koruptif antara pejabat negara, pelayan publik, penegak hukum dan pebisnis menjadi salah satu kontribusi yang paling berdampak dalam mengurangi korupsi. Di sisi lain, pembenahan lembaga-lembaga politik harus dilakukan secara sungguh-sungguh.” tambah Dadang.
Sementara itu, Felia Salim, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia menyatakan bahwa semua eksponen gerakan antikorupsi harus seiring sejalan dalam upaya memberantas korupsi. ”Korupsi berkembang pada fondasi demokrasi yang lemah. Sehingga penguatan fondasi demokrasi, melalui penghargaan terhadap hak-hak politik warga tidak bisa ditawar-tawar lagi. Negara-negara yang demokrasinya keropos, di mana hak-hak politik warganya diabaikan, justru menjadi lahan subur bagi praktik korupsi politik. Jadi, membangun demokrasi yang lebih bermartabat, di mana hak-hak politik rakyat diakui dan dilindungi, akan meningkatkan efektivitas kontrol terhadap korupsi. ” ungkap Felia Salim.
Untuk membuat kemajuan nyata melawan korupsi dan memperkuat demokrasi, Transparency International bersama Transparency International Indonesia menyerukan kepada:
- Presiden dan Pemerintah
a. Memperkuat integritas lembaga-lembaga yang bertanggungawab pada pelayanan publik, pengawasan internal dan penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, lembaga pemasyarakatan).
b. Menutup kesenjangan antara regulasi dengan praktik penegakan hukum antikorupsi.
c. Mendukung dan melindungi masyarakat sipil dan media yang bebas dari tekanan dan ancaman pada pengungkapan korupsi.
d. Ikut menjaga dan melindungi independensi KPK dalam menjalan fungsi penegakan hukum. - DPR dan Partai Politik
a. DPR, Parpol dan politisi harus menempatkan dirinya bukan sebagai beban dalam pemberantasan korupsi dan justru menjadi bagian penting dalam menjalankan semua agenda antikorupsi untuk menciptakan politik dan demokrasi yang bermartabat.
b. Mendukung sepenuhnya upaya pemberantasan korupsi secara politik, dengan mengurungkan segala kebijakan legislasi yang tidak berpihak pada penguatan gerakan antikorupsi dan sebaliknya harus aktif mengembangkan dan mendorong penguatan regulasi anti korupsi yang lebih progresif. - Komisi Pemberantasan Korupsi
a. Terus mempertahankan independensi kelembagaannya sebagai lembaga penegak hukum sebagaimana diamanatkan oleh Prinsip-Prinsip Jakarta tentang Badan-Badan Anti Korupsi se-Dunia tahun 2012.
b. Membangun peta jalan yang komprehensif dan bersinergi dalam melaksanakan peta jalan tersebut dengan berbagai pihak, terutama dalam hal penindakan dan pencegahan korupsi yang terintegrasi.
c. Penguatan kelembagaan melalui optimalisasi rencana strategis, anggaran dan peningkatan kemampuan serta memberikan proteksi kepada personelnya - KPU dan Bawaslu
a. Di tahun politik 2019, di mana akan berlangsung Pemilu serentak, KPU dan Bawaslu wajib tidak memberikan toleransi pada perilaku korupsi kepada para peserta Pemilu dan memberikan pendidikan politik dan demokrasi yang berintegritas kepada masyarakat. - Kalangan Swasta
a. Terus mengembangkan sistem antikorupsi secara internal dan menerapkan sistem kepatuhan pada sistem antikorupsi tersebut dengan menerapkan standar bisnis yang bersih, berintegritas dan antikorupsi. - Masyarakat sipil dan Media
a. Secara aktif memperjuangkan jaminan kebebasan politik (hak atas informasi publik, hak untuk berpartisipasi dan hak untuk berekspresi).
b. Secara aktif melakukan pengawasan terhadap proses-proses regulasi dan pembuatan kebijakan publik, khususnya yang terkait dengan pengalokasian sumber daya publik, misalnya di proses perencanaan dan penganggaran pembangunan, pengadaan barang dan jasa pemerintah, perizinan usaha dan kuota perdagangan.
c. Melakukan pendidikan anti korupsi untuk masyarakat luas dan mempromosikan upaya pencegahan korupsi yang dilakukan di berbagai bidang.
Narahubung: - Wawan Suyatmiko (Peneliti TI Indonesia) – 0812 1339 4576
- Dadang Trisasongko (Sekjen TI Indonesia) – 0812 2021 2063