Sejak beberapa waktu lalu Pemerintah menegaskan bahwa konsep ekonomi biru merupakan salah satu wujud komitmen pada peningkatan perekonomian berbasis kelautan-perikanan. Selain konsep ekonomi biru, hadirnya berbagai aturan dan rencana pemerintah seperti digitalisasi berbagai instrumen pengawasan di tempat pendaratan ikan, terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, dan berbagai aturan turunan seperti perikanan terukur berbasis kuota digadang-gadang sebagai pendukung perekonomian dan salah satu cara untuk mencegah terjadinya ruang-ruang gelap untuk memuluskan jalannya korupsi. Berbagai aturan dan rencana tersebut seharusnya menjadi contoh aturan yang mendukung tata kelola kelautan dan perikanan yang adil dan berkelanjutan. Sayangnya, dinamika pro dan kontra aturan-aturan ini masih bergulir, menandakan tata kelola kelautan dan perikanan di Indonesia masih menyimpan beberapa persoalan yang harus segera dibenahi para pemangku kepentingan.
Transparency International (TI) Indonesia sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang berfokus dalam riset dan advokasi peningkatan tata kelola pemerintah dan korporasi, berupaya untuk terus mengembangkan prinsip antikorupsi, anti penghindaran pajak, dan mencegah kebocoran perdagangan di sektor kelautan dan perikanan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. TI Indonesia bersama masyarakat sipil berkomitmen untuk mengawal isu antikorupsi dan transparansi dalam tata kelola sektor kelautan dan perikanan. Langkah awal komitmen ini dimulai dengan mengkaji transparansi arah kebijakan pemerintah melalui ekonomi biru serta melakukan konsolidasi bersama jaringan masyarakat sipil yang fokus di isu-isu tata kelola perikanan pada 20 Maret 2023 di Jakarta. Dalam diskusi ini juga menghasilkan komunike bersama masyarakat sipil yang berisikan point-point rekomendasi diantaranya:
Pemerintah dan/atau Regulator
- Tata kelola kelautan-perikanan berbasis ekonomi biru yang penerjemahannya bukan sekadar menggunakan kacamata pertumbuhan ekonomi, tetapi juga fokus pada pemerataan, keberpihakan pada masyarakat, dan berasaskan keberlanjutan bagi lingkungan dan ekonomi yang inklusif.
- Monitoring, pengawasan, dan penegakkan hukum, dari perizinan hingga evaluasi implementasi kebijakan ekonomi biru– dan peka terhadap kearifan lokal.
- Transformasi digital dan teknologi (interoperabilitas dan integrasi data, kecerdasan buatan, dan sebagainya) perlu menjadi perhatian KKP untuk integrasi data yang mutakhir– hal paling dasar untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas K/L terkait.
- Harmonisasi dan formulasi kebijakan ekonomi biru ala pemerintah yang kolaboratif, dari Kementerian di level pusat hingga pemerintah provinsi dan pelaksana teknis di daerah agar kebijakan ekonomi biru ini masih dalam koridor yang benar.
- Pelibatan masyarakat yang partisipatif dalam perumusan aturan dan turunan kebijakan agar aturan yang ada berpihak pada masyarakat, tidak sekadar kepentingan nelayan dan pengusaha skala besar.
- Keresahan masyarakat dan nelayan kecil tentang berbagai hal tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan aturan all-in-one. Perlu pendekatan yang adaptif dan berangkat dari kondisi riil lingkungan serta memperhatikan hak dan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat Sipil
- Mengawal Pemerintah dalam implementasi kebijakan ekonomi biru yang berpihak pada masyarakat dan nelayan tradisional/kecil.
- Menjalankan pengawasan yang ketat kepada pemerintah dalam proses monitoring dan penegakan hukum terkait tata kelola kelautan dan perikanan.
- Advokasi penerjemahan ekonomi biru yang sifatnya tidak hanya definisi normatif, tetapi kembali pada definisi yang kebijakan ekonomi biru yang adil dan tidak berujung pada pertumbuhan biru dan perampasan ruang.
- Kerja-kerja kolaborasi yang tidak hanya sebatas di ruang-ruang tertutup, tetapi masyarakat sipil juga perlu turun ke lapangan untuk merangkul dan melihat realita yang ada.