Ketika korupsi terus merajalela, peran aktif masyarakat di daerah dalam gerakan antikorupsi sangat dibutuhkan. Mereka ikut mencegah dan menjadi jembatan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Di usia Indonesia menginjak 78 tahun, korupsi yang dilakukan pejabat publik masih merajalela. Para koruptor merampas uang rakyat yang seharusnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan luas seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sosial, dan lain sebagainya.
Pada 2022, Indonesia mendapatkan skor 34 dari skala 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Nilai itu mengalami penurunan empat poin dibandingkan setahun sebelumnya. Adapun capaian itu sama besarnya dengan capaian pada 2014. Penurunan paling tajam terjadi pada korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, hingga suap untuk izin ekspor – impor.
Itu menunjukkan Indonesia dalam kategori negara yang belum merdeka dari korupsi. Meskipun demikian, peran aktif masyarakat dalam gerakan antikorupsi terus digalakkan. Mereka tidak hanya berperan mencegah korupsi, tetapi juga menjadi jembatan bagi aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Salah satunya dilakukan Tasrip (54). Jabatan Tasrip sebagai Kepala Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, telah usai tahun 2018. Namun, warisannya tentang antikorupsi masih terasa. Pelajaran ini penting saat usia Indonesia 78 tahun.
Soal transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, Tasrip mengumumkan penggunaan anggaran dana desa melalui spanduk hingga media sosial. Tasrip pun mewanti-wanti aparatnya agar tidak korupsi dalam bertugas. Selama menjabat enam tahun, ia tiga kali mengganti “kabinetnya”.
“Kalau ada yang mau ‘main-main’ dengan tugasnya, saya bilang, kamu yang berhenti atau saya yang berhenti jadi kuwu (kepala desa),” ujarnya, Minggu (13/8/2023). Masyarakat desa pun dapat mengawasi dan melaporkan jika mengetahui dugaan aparat desa lalai dalam tugasnya.
Bahkan, ia pernah menolak kerabatnya yang ingin menjadi perangkat desa meskipun tidak sesuai kapasitasnya. Tasrip juga pernah mengoreksi data penerima beras miskin yang berlangsung bertahun-tahun. Padahal, penyalurannya saat itu tidak merata.
Contoh baik juga ditunjukkan masyarakat di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang mulai dibiasakan program yang mengarah pada antikorupsi. Meski baru berjalan dua bulan, tetapi langkah ini cukup membuat perangkat desa tidak kelabakan saat membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan.
“Setiap Selasa, saya adakan rembuk desa, yaitu hari untuk evaluasi terkait APBDes, pajak, dan keuangan desa. Intinya, apa kesulitan dan bagaimana detailnya, akan dibicarakan dan dikontrol di sini,” kata Kepala Desa Kedungbanteng Ariv Iskandar Fathoni (42).
Salah satu yang ditonjolkan dalam evaluasi setiap Selasa itu adalah soal penarikan pajak warga desa. Ariv meminta agar laporan pajak disampaikan secara detail untuk menghindari kecurangan atau penyelewengan pajak. Selain itu, evaluasi penggunaan anggaran desa dan perkembangan proyek di desa.
Dengan adanya evaluasi tiap Selasa itu, laporan pertanggungjawaban proyek dan kegiatan Desa Kedungbanteng pun tuntas dengan baik. Perangkat desa tidak kesulitan membuat laporan pertanggungjawaban karena syarat-syarat administrasi yang dibutuhkan sudah tertata sejak awal.
Ke depan, dalam satu semester pemerintahannya nanti, Ariv akan membuat pakta integritas di kalangan perangkat desanya. Dengan cara itu, menurut Ariv, tim yang akan diajaknya membangun desa bisa solid dan sejalan.
Tidak hanya secara individu, gerakan antikorupsi juga dilakukan sejumlah anak muda yang terdiri dari mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, hingga pegiat pers kampus dengan membentuk lembaga Kawan Aksi pada pertengahan Juni lalu. Mereka mengedukasi masyarakat terkait pemberantasan korupsi, mengawal dan memantau aktivitas di pemerintahan yang bisa menimbulkan celah korupsi.
Kawan Aksi adalah akronim dari Koalisi Relawan Anti Korupsi. Sebagai lembaga baru, Kawan Aksi berkolaborasi dengan Anti Corruption Commitee Sulawesi dan Transparency International Indonesia. Kolaborasi ini bukan sekadar ikut memantau bersama, tetapi juga penguatan kapasitas.
“Sebagai langkah awal, kami akan fokus pada edukasi publik terkait pentingnya pengawasan dan pemberantasan korupsi melalui pemantauan. Yang kami harapkan akan ada objek pemantauan yang didasarkan pada beberapa indikator yang akan kami susun nantinya,” kata juru bicara Kawan Aksi Sulawesi Selatan (Sulsel), A Tenri Wuleng, Minggu (13/8/2023) di Makassar.
Kelompok pemuda yang terdiri atas mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan berbagai kelompok membentuk lembaga Kawan Aksi, Kamis (15/6/2023). Lembaga ini akan bergerak pada edukasi pemberantasan korupsi.
Langkah selanjutnya adalah memantau proses dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada lembaga pemerintahan khususnya di Sulsel. Mereka juga mengedukasi masyarakat, terutama anak muda untuk ikut bertanggung jawab dalam proses pengambilan kebijakan. Tenri menegaskan, pemuda punya peran cukup penting dalam menjemput Indonesia Emas 2045.
Lembaga antikorupsi seperti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas (Unand), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga terus aktif mengawal gerakan antikorupsi di daerah.
Pukat UGM menganggap bangsa ini belum sepenuhnya merdeka selama masih ditemukan korupsi oleh pejabat publik. Itu terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang masih rendah.
“Artinya, kita masih dalam kategori negara yang belum merdeka dari korupsi. Tanpa pemberantasan korupsi yang serius dari negara, sebenarnya rakyat masih berada dalam masa penjajahan,” kata peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, Senin (14/8/2023).
Dibentuk sejak 2005, Pukat UGM termasuk kelompok yang secara aktif mengadvokasi kebijakan berperspektif antikorupsi. Lembaga itu turut mendorong adanya revisi Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi hingga pengesahan RUU Perampasan Aset.
Selain itu, Zaenur menuturkan, langkah-langkah pencegahan korupsi ditempuh dengan menanamkan sikap integritas melalui jalur pendidikan. Namun, itu saja tidak cukup. Harus ada upaya pembenahan tata kelola negara dan perbaikan karakter secara bersama-sama.
Adapun Pusako juga terus aktif dalam penelitian bidang hukum dan mengawal gerakan antikorupsi di daerah maupun nasional. Sejalan dengan itu, Pusako juga terus menghadirkan sosok-sosok muda gerakan antikorupsi, salah satunya Haykal (24).
Setelah bergabung dengan Pusako, Haykal aktif terlibat dalam gerakan antikorupsi dan gerakan lainnya, baik di tingkat Sumatra Barat (Sumbar) maupun Nasional. Selama tahun 2019-2020, kata Haykal, banyak permasalahan dalam pembentukan atau produk legislasi. Saat pandemi Covid-19, ia bersama Pusako tetap melakukan kajian, advokasi, dan edukasi kepada masyarakat terkait pembentukan produk-produk legislasi yang diduga bermasalah dan korup.
Di tingkat Sumbar, Haykal bersama Pusako melakukan berbagai advokasi. Di Sumbar, ada koalisi Masyarakat Antikorupsi Sumbar, gabungan berbagai elemen masyarakat, antara lain Pusako, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, dan organisasi nonpemerintah (NGO) lainnya.
Masyarakat Antikorupsi Sumbar pernah mengadvokasi dugaan korupsi harga sanitasi tangan dan alat pelindung diri (APD) oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar saat pandemi Covid-19. Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan ada dua temuan pelanggaran dengan total kerugian negara sekitar Rp 4,91 miliar.
Haykal menjelaskan, budaya sungkan dan segan masih menjadi momok dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, termasuk di Sumbar. Menurutnya, kunci pemberantasan korupsi adalah integritas.
Sementara itu, ICW memanfaatkan jejaring lembaga-lembaga di daerah yang secara spesifik fokus pada antikorupsi seperti di Sumatera Barat dan Jawa Timur. Mereka terus menggalakkan gerakan antikorupsi, salah satunya melalui Sekolah Antikorupsi (Sakti).
Koordinator ICW Agus Sunaryanto mengungkapkan, Sakti merupakan upaya menumbuhkan bibit baru yang fokus pada pencegahan korupsi. Gerakan ini juga memanfaatkan jaringan di daerah seperti di Kalimantan dan Banten.
Tak hanya itu, ICW juga mendorong terbentuknya kelompok jurnalis antikorupsi dengan pendekatan investigasi. Gerakan itu sudah berjalan di Banten, Nusa Tenggara Timur (NTT), Aceh, dan Kalimantan Timur. Menurut Agus Sunaryanto, gerakan ini sangat dibutuhkan ketika aparat penegak hukum tidak optimal dalam menjalankan tugasnya.
Salah satu yang dilakukan yakni mengamati kekayaan pejabat publik melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Beberapa hasil pengawasan ada yang dilaporkan ke aparat penegak hukum, tetapi ada yang disampaikan melalui media massa atau media sosial.
ICW juga berusaha memperkuat aparat pengawas intern pemerintah (APIP) dan Inspektorat Daerah dengan berbagi instrumen pengawasan, khususnya di sektor pengadaan barang dan jasa. Namun, kata Agus Sunaryanto, upaya ini masih terkendala oleh birokrasi.
Pelibatan Masyarakat
Upaya pencegahan korupsi di daerah juga dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui pendidikan, sosialisasi, dan kampanye antikorupsi. KPK melibatkan pemengaruh (influencer) serta tokoh masyarakat dan agama dalam gerakan antikorupsi. Selain itu, KPK mempunyai desa percontohan antikorupsi.
Penyuluh antikorupsi pun terus didampingi KPK. Mereka diberdayakan oleh kepala daerah untuk memberikan penyuluhan antikorupsi. Hingga saat ini, ada 1.350 penyuluh antikorupsi di 40 forum.
Tidak hanya pencegahan, masyarakat pun dilibatkan dalam upaya penindakan. Deputi Pendidikan dan Peran serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, menuturkan, KPK mendorong para pemuda untuk melaporkan suatu peristiwa korupsi. Mereka dibekali bimbingan teknis (bimtek) untuk investigasi.
“Kalau lihat korupsi, laporkan. Jangan diam saja. Kalau lapor ke KPK minimal punya bukti awal. Untuk dapatkan bukti awal, harus lakukan investigasi. Kita ada bimtek untuk melakukan investigasi,” jelas Wawan.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi. Beberapa laporan pengawasan masyarakat dengan memanfaatkan LHKPN ditindaklanjuti ke penindakan. Sejumlah regulasi juga diperbaiki berkat laporan dari masyarakat.
Menurut Pahala, pendekatan paling efektif dalam pelibatan masyarakat yakni secara informal, bukan melalui seremonial. “Paling efektif itu informal. Kalau acara resmi, tidak ada yang mengadu. Kita datangi dan kita respons secara individu,” jelasnya.
Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus R Rahman mengatakan, perlu ada pendampingan dan penguatan masyarakat sipil dalam gerakan antikorupsi di daerah. Mereka butuh bimbingan untuk memantau proyek-proyek pemerintah. Di sisi lain, perlu transparansi khususnya dalam pengelolaan dana desa.
“(Masyarakat) harus diberikan bimbingan agar bisa memantau dan menyuarakan aspirasinya serta mengkomunikasikan pesannya,” ujarnya.
Agus Rahman menuturkan, masyarakat di daerah perlu mendapatkan pendampingan untuk bisa memperoleh bukti ketika terjadi penyalahgunaan anggaran. Bukti itu dibutuhkan dalam mengkomunikasikan dengan kepala desa, sehingga bisa menyelesaikan sendiri persoalan di daerah tersebut. Ketika jalur komunikasi tidak bisa diselesaikan, baru melibatkan aparat penegak hukum.
Sumber Berita: Kompas Id