Oleh Reza Syawawi Peneliti di Transparency International Indonesia
MENGUNGKAP korupsi di lembaga kehakiman memang tidak mudah. Selama ini, dalam beberapa kasus korupsi, yang diungkap biasanya hanya menyentuh pada level birokrasi pengadilan. Penegak hukum seolah kesulitan untuk mengembangkan perkara tersebut hingga sampai ke level hakim. Sudah jamak dipahami bahwa mayoritas korupsi yang terjadi di pengadilan selalu berhubungan dengan penanganan suatu perkara yang membutuhkan peran seorang hakim. Namun, di sinilah karakteristik korupsi di pengadilan, transaksi suap untuk mengatur penanganan suatu perkara didesain sedemikian, rupa agar tak menyentuh langsung si pembuat putusan yakni hakim.
Mungkin masih ingat, terungkapnya kasus korupsi di akhir 2019 yang menyeret bekas sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, yang terbukti secara bersama-sama dengan menantunya Rezky Herbiyono (RH) menerima suap terkait pengurusan perkara, putusan ini diperkuat oleh MA yang menolak permohonan kasasi yang bersangkutan. Namun, sekalipun kasus ini terkait dengan penanganan perkara, kasus ini akhirnya hanya sampai pada level sekretaris MA.Padahal, secara struktural posisi ini merupakan jabatan tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan dari kebijakan di MA.
Hasil reformasi MA?
Penetapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati (SD) sebagai tersangka, dalam kasus suap mengenai penanganan perkara perdata di MA menjadi momentum untuk membongkar bagaimana putusan pengadilan menjadi bancakan korupsi yang dimotori oleh hakim. Peran birokrasi tetap penting sebagai perantara yang mengatur alur suap sekaligus sebagai ‘pemutus’ relasi hakim dengan kasus tersebut. Sekalipun, dalam kasus SD relasi itu tampaknya agak sulit dikendalikan yang kemudian berakhir pada penetapan tersangka.
Simon Butt and Tim Lindsey (2010) dalam Judicial Mafia, The courts and state illegality in Indonesia sejak awal menyebut, jaringan korupsi dan mafia di lembaga peradilan sangat terorganisir. Butt dan Lindsey menganalisis perilaku lembaga peradilan dengan membaginya menjadi 2 jenis pelanggaran (illegality). Pertama, disebut sebagai internal illegality. Ini ditujukan kepada pelanggaran yang dilakukan hakim ketika menjalankan tugas yudisialnya. Contohnya ialah korupsi peradilan dan kurangnya independensi hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Kedua, external illegality. Hal ini terjadi ketika hakim memutuskan suatu perkara yang melanggengkan atau memberikan legitimasi kepada pihak berperkara dengan cara yang melanggar hukum. Pada situasi tertentu, external illegality ini pada akhirnya memberikan impunitas terhadap pelaku kejahatan. Kedua bentuk illegality ini tentu terkait.
Menurut Butt dan Lindsey, pascareformasi external illegality mungkin berkurang. Sebab, reformasi ketatanegaraan telah menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang mandiri sehingga tidak lagi tergantung dengan kekuasaan lain khususnya eksekutif. Namun, diyakini praktik internal illegality justru semakin menguat di internal MA.
Pascasatu dekade sejak riset ini tampaknya tidak mengalami banyak perubahan. Problem korupsi yang sudah mengakar di lembaga kehakiman tampaknya akan sulit diberantas di tengah semakin maraknya korupsi di institusi lain, baik itu di lembaga politik maupun lembaga penegak hukum lain. Sebab, harus diakui bahwa kekuasaan kehakiman tidak bisa benar-benar terpisah dari institusi negara lainnya. Bahkan, pengisian jabatan hakim agung masih memerlukan persetujuan dari lembaga politik.
Situasi ini seharusnya disadari betul oleh MA sehingga program anti korupsi diprioritaskan terhadap hal-hal strategis yang berkaitan dengan fungsi yudisial.
Namun, faktanya kasus suap dalam penanganan perkara yang melibatkan hakim dan birokrasi pengadilan pada akhirnya semakin memperkuat asumsi, bahwa reform di internal MA tidak terlalu mangkus dalam memitigasi risiko korupsi yang ada. Maka, perlu dipertanyakan sejauhmana sistem penanganan perkara di internal MA didesain untuk menjawab problem internal illegality?
MA mungkin sudah berupaya membuat sistem yang bertujuan untuk membuka proses penanganan perkara, misalnya melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Namun, apakah SIPP ini mampu mencegah pihak berperkara untuk tidak menyuap hakim dan birokrasi peradilan? Pertanyaan sederhana ini, mungkin akan tetap sulit dijawab jika menelusuri berbagai program anti korupsi yang sedang dijalankan oleh MA.
Integritas hakim Secara institusional, MA mungkin tidak cukup memiliki kekuasaan untuk menentukan kualitas hakim agung yang dipilih melalui proses politik. Namun, MA dapat menentukan kualitas hakim karier yang akan mengikuti proses pemilihan hakim agung. Apalagi, jika belajar dari kasus SD, yang bersangkutan justru berasal dari institusi MA sendiri (hakim karir). Oleh karena itu. fungsi rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan di internal MA sepatutnya juga memperhatikan aspek integritas, di samping soal kompetensi. Aspek integritas ini, juga tak sekadar menandatangani komitmen ‘pakta integritas’, tetapi merupakan sebuah proses yang tak pernah berhenti. Menyitir kembali apa yang pernah ditulis oleh Satjipto Rahardjo dalam Perang di Balik Toga Hakim (Kompas, 9 Juli 2003), bahwa secara sosiologis hakim itu cuma ada dua, yakni hakim yang mengadili perkara dengan hati nuraninya, lalu mencari aturan hukum untuk menjadi landasan dalam putusannya, kemudian tipe hakim kedua yang bila memeriksa perkara berdasarkan ‘suara perutnya’ lalu mencarikan pasal-pasal untuk membenarkan putusannya. Maka, tugas utama MA adalah memperbanyak hakim tipe pertama, sekaligus menyingkirkan hakim yang korup.
Tulisan ini telah dimuat di Harian Media Indonesia Edisi 14 Oktober 2022
Sumber: Media Indonesia