Jakarta, 15 Februari 2019
Tahap pemberian izin usaha berbasis lahan seperti tambang, merupakan tahap yang sangat penting, karena pada tahap itu lah sesungguhnya ditentukan kepada siapa hak pengelolaan lahan diberikan oleh pemerintah. Pemerintah merupakan penjaga gerbang kekayaan sumberdaya alam, yang pengelolaannya diperuntukan bagi kesejahteraan umum.
Kasus-kasus pertambangan yang pernah terjadi telah menyebabkan kerugian negara, konflik tata batas, kerusakan lingkungan (erosi, kekeringan) dan korban nyawa. Tercatat kerugian negara sebesar Rp. 4,3 Trilyun di tahun 2018 (kasus Gubernur Sultra) dan Rp 5,8 triliun dan US$ 711 ribu di tahun 2019 (kasus Bupati Kotawaringin Timur). Kerusakan lingkungan berupa pencemaran, kerusakan bentang alam, munculnya lubang tambang, bahkan korban nyawa, data terakhir per November 2018, telah mencatat sejumlah 31 (tiga puluh satu) nyawa telah melayang. Kasus yang muncul baru-baru ini (lihat kotak dibawah), semakin menegaskan bahwa pemberian izin tambang selama ini dilakukan tidak secara transparan dan akuntabel, karena pemberian izin tidak melalui lelang dan pemberian izin tidak melalui tahapan uji tuntas/kelayakan yang benar, dimana pada uji kelayakan tersebut, diberlakukannya syarat administrasi, teknis, finansial dan lingkungan.
Transparency International Indonesia (TI-Indonesia) pada tahun 2017 pernah melakukan penelitian mengenai Penilaian Awal Resiko Korupsi Pada Pemberian Izin Pertambangan di Indonesia. Penelitian tersebut menemukan tidak kurang dari 35 resiko korupsi dan resiko korupsi ada di tiap tahap pemberian izin tambang, yaitu tahap penentuan wilayah pertambangan (WP dan WIUP/K) ada 10 risiko, tahap pelelangan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP/K) 8 risiko, dan tahap penerbitan IUP eksplorasi dan operasi ada 10 risiko, sisanya sebesar 7 risiko merupakan risiko yang ditimbulkan karena factor konteks, yaitu faktor kondisi/situasi pada saat penelitian dilakukan yang memiliki pengaruh memunculkan risiko korupsi. Hasil penelitian tersebut juga menemukan bahwa risiko korupsi terjadi ketika tidak ada pemeriksaan atas kebenaran dokumen administrasi, teknis dan financial yang diajukan oleh pemohon izin. Tidak memadainya uji kelayakan (due diligence) dan lemahnya mekanisme pencegahan, pemeriksaan, dan pengelolaan konflik kepentingan dalam proses pemberian izin, merupakan sumber utama penyebab resiko korupsi.
Belum lama ini, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perpres No 13 tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Kementrian ESDM juga sudah mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM no 1796 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan, Evaluasi serta Penerbitan perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Surat Edaran Dirjen Minerba No.16E/30/DJB/ tentang Persyaratan pelayanan Perizinan Pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Yang semuanya menguatkan bahwa pemohon izin harus melampirkan:
1. Salinan akta pendirian badan usaha
2. Profil badan usaha (NPWP), tanda daftar perusahaan (TDP) dan keterangan domisili
3. Daftar susunan direksi dan komisaris (berserta NPWP-nya),
4. Daftar pemegang saham sampai dengan perseorangan penerima manfaat akhir (Beneficial Ownership)
5. Data kontak resmi pemohon.
Namun, ketika pemohon izin mengajukan permohonan untuk hak pengelolaan lahan, dengan mencantumkan struktur perusahaan yang tidak jelas atau tersembunyi, maka pemerintah dan publik seringkali tidak memiliki cara untuk memeriksa apakah perusahaan tersebut memiliki kualifikasi teknis, financial dan rekam jejak yang baik. Hal ini dapat menimbulkan resiko korupsi yang signifikan. Pemilik izin (penerima manfaat – beneficial owner) yang tersembunyi dan lemahnya kendali atas penapisan (seleksi) integritas pemohon izin pengelolaan sumberdaya alam dapat memudahkan pihak-pihak tertentu yang korup untuk mengambil keuntungan berlebih atas sumberdaya alam, secara tidak langsung negara akan dirugikan dan rezim perizinan di sektor sumberdaya alam akan terancam.
Untuk mengembalikan mandat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dimana potensi mineral dan batubara yang dimiliki Indonesia dapat dikelola dan diusahakan secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan, maka Transparency International Indonesia, mendorong agar pemerintah:
1. Memberlakukan uji kelayakan (due diligence) kepada para pemohon izin secara lebih ketat.
2. Selalu memperbaharui dan membuka data dan informasi terkait kadaster dan pemegang izin yang ada pada situs ESDM (ESDM Onemap dan Minerba One Data Indonesia, MODI).
3. Menindaklanjuti rekomendasi Korsupgah KPK dalam penataan izin, yaitu segera mencabut izin-izin yang bermasalah dan mengumumkan nama-nama perusahaan baik yang lolos uji kelayakan CnC mau pun yang tidak lolos (dicabut).
4. Mengumumkan penerbitan izin-izin di pusat dan di daerah pada situs yang terbuka (mudah diakses publik).
5. Segera menegakan aturan tentang Penerima Manfaat (beneficial ownership).
Contoh Kasus Korupsi Tambang
Kalimantan Tengah. Pemberian izin kepada 3 (tiga) perusahaan di Kotawaringin Timur1, Kalimantan Tengah pada tahun 2010 yang melibatkan Bupati Kotawaringin Timur dan merugikan negara sebesar Rp 5,8 triliun dan US$ 711 ribu. Pemberian izin tersebut tidak dilakukan secara lelang dan tidak adanya AMDAL sebagai salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi, pada izin tersebut menunjukkan bahwa pemberian izin diberikan melalui proses yang tidak jelas, tidak ada uji kelayakan (due diligence) yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Sulawesi Tenggara. Rilis2 yang dilakukan ESDM Sultra menunjukkan bahwa terdapat 232 IUP yang sudah CnC, namun hanya 56 IUP yang beroperasi, menandakan bahwa masih adanya izin yang tidur/dormant dan temuan bahwa satu orang bisa memiliki sampai 12 IUP sekaligus menandakan bahwa proses perizinan dilakukan tanpa melalui tahapan uji kelayakan.
Contact Person: Utami NH (0816-700609)