SEBUAH lelucon sering dilontarkan tentang pemerintahan terbuka. Dua kata ini, pemerintah dan terbuka, tidak bisa disandingkan.
Pemerintah lazim bekerja dengan logikanya sendiri: dalam ranah yang tertutup dan tidak ingin dikontrol. Sementara itu, warga menuntut keterbukaan, keterlibatan politik, dan integritas pemerintah dalam menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas dan bebas dari korupsi. Nyatanya Open Government Partnership (OGP) yang baru saja melangsungkan pertemuan tahunan, 30 Oktober-1 November 2013, di London, kini menjadi inisiatif yang berkembang pesat. Dari hanya delapan negara pendiri pada September 2011, kini 61 negara bergabung mendorong pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatoris.
Pertanyaannya, bagaimana OGP dapat mendorong pemerintah yang terbuka?
Kemitraan setara OGP merupakan sebuah kerangka kerja tata pemerintahan yang unik karena sejak awal menegaskan pentingnya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil. Pengambilan keputusan dan kontrol program-program pemerintah harus dilakukan secara partisipatoris sehingga komitmen atas keterbukaan mereka bukan sekadar jargon.
Di tingkat global, kemitraan sejajar ditunjukkan dengan adanya wakil masyarakat sipil sebagai satu dari dua co-chair OGP. Wakil masyarakat sipil juga duduk dalam panitia acara memandu arah dan pengembangan OGP.
Di tingkat nasional dibentuk tim-tim kerja sama antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Setiap negara anggota juga wajib menjalani mekanisme peninjauan independen (umumnya oleh unsur masyarakat sipil) untuk mengukur implementasi komitmen negara dalam kurun waktu yang ditetapkan. Realitasnya, kendala waktu dan cara bekerja yang konvensional membuat hubungan kemitraan tidak selalu mencerminkan semangat kesetaraan. Kolaborasi pemerintah dengan masyarakat sipil masih berlangsung terbatas, khususnya dalam menjalankan komitmen negara anggota.
Di Meksiko dan Inggris, misalnya, perumusan rencana aksi pertama berlangsung kejar target sehingga gagal menyerap proposal masyarakat sipil. Baru pada rencana aksi kedua, kedua negara mulai membuka ruang konsultasi yang memadai. Pemerintah juga masih berbicara melalui medium dan kanal yang menurut mereka relevan, seperti jajak pendapat, lokakarya, dan semacamnya. Pemerintah Ukraina menyelenggarakan diskusi terbatas kepada ornop yang sering jadi mitranya. Di Indonesia, meski pemerintah sudah mengupayakan 31 kali diskusi grup fokus di sejumlah provinsi, beberapa kompetisi gagasan/aksi terasa masih formalistik dan hanya menjangkau elemen masyarakat tertentu.
Sebaliknya, masyarakat sipil cenderung belum memanfaatkan ruang partisipasi secara optimal. Kelompok yang sudah lama bergerak dalam isu hak sipil, antiko- rupsi, dan pembangunan masih curiga terhadap agenda di balik OGP. Ada tensi antara tetap menjadi watchdog dan terlibat aktif dalam proses yang berjalan.
Di Moldova, pemahaman terhadap OGP yang rendah membuat masyarakat sipil hanya menjadi stempel bagi agenda yang disodorkan pemerintah. Di Ghana, meski OGP dirasa sangat penting, partisipasi masyarakat sipil masih rendah dalam beberapa konsultasi.
Strategi keterbukaan
OGP menjadikan masyarakat sipil tujuan akhir dan pemangku kepentingan utama. Perumusan isu prioritas OGP harus lebih serius dan terlembaga. Setidaknya tiga strategi yang dapat digunakan menjamin OGP.
Pertama, menyelenggarakan konsultasi publik yang luas dan berkala. OGP dapat menyelenggarakan people summit (nasional) dan people forum (regional). Perhelatan ini mengidentifikasi agenda masyarakat sipil hingga merumuskan shadow action plan untuk rencana aksi berikutnya. People summit/forum diperlukan karena persoalan sektoral dan regional di Indonesia beragam.
Kedua, mengembangkan infrastruktur demokrasi berbasis teknologi komunikasi dan informatika untuk menjaring harapan dan gagasan warga secara cepat dan murah. Tak ada alasan mengabaikan infrastruktur ini bagi daerah tertinggal karena sudah menjadi bagian dari instrumen partisipasi dan kontrol.
Ketiga, merevitalisasi musyawarah perencanaan pembangunan. OGP tinggal memastikan bahwa usul dan umpan balik warga tidak terpotong agenda birokrat dan politikus. OGP dapat mulai dengan mengawal suara rakyat minimal di tingkat kabupaten/kota, tahap yang biasanya aspirasi warga dibuang.
Pada akhirnya momentum OGP harus dilihat sebagai investasi menuju demokrasi partisipatoris. Kita tidak ingin OGP berakhir seperti banyak inisiatif global lain yang bersifat elitis dan tak berarti bagi rakyat. Keterbukaan tidak cukup hanya dengan komitmen, tetapi juga strategi dan cara yang benar. Tanpa itu, pemerintahan terbuka akan tetap jadi ilusi.
Ilham B Saenong, Direktur Program Transparency International Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003041000
Kompas Cetak, November, 2013