Pelemahan terhadap institusi KPK menjadi rangkaian pembusukan terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk pascareformasi.
Penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus korupsi adalah antiklimaks dari wacana penguatan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi yang kerap digaungkan Presiden Joko Widodo. Sejak revisi UU KPK bergulir, Presiden sudah terlihat gamang walau pada akhirnya revisi dibahas dalam waktu singkat dan disetujui bersama Presiden dan DPR.
Penetapan ini juga tak direspons secara berlebihan oleh publik, pun oleh Presiden sendiri. Kepemilikan publik yang kuat terhadap KPK selama bertahun-tahun sebelum adanya revisi UU kali ini terasa sangat hambar. Tak ada lagi ”rantai manusia” yang berupaya melindungi KPK dari segala ancaman dan kriminalisasi.
Presiden pun hanya merespons secara formal penetapan tersangka tersebut dengan memberhentikan dan mengangkat ketua baru KPK.
Pelemahan terhadap institusi KPK menjadi rangkaian dari pembusukan terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk pascareformasi. Ini menjadi penanda semakin menguatnya praktik korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan yang disebabkan melemahnya institusi independen yang mengawasi kekuasaan.
Pelemahan terhadap institusi KPK menjadi rangkaian dari pembusukan terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk pascareformasi.
Kendala konstitusional
Secara hukum, ada dua kendala utama yang menyebabkan KPK sulit kembali menjadi badan antikorupsi yang independen. Pertama, UU No 19/2019 tentang Revisi UU KPK masih berlaku dan belum dicabut atau direvisi kembali.
Tampaknya Presiden dan DPR tak akan merevisi UU itu mengingat tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung. Kecuali Presiden tiba-tiba menyadari kekeliruan atas revisi UU KPK dan mengeluarkan perppu.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 36/PUU- XV/2017 masih dianggap berlaku dan belum pernah dikoreksi. Putusan ini menjadi pangkal bala yang menjadi rujukan hukum satu-satunya oleh Presiden dan DPR ketika merevisi UU KPK.
Hal ini tergambar jelas dalam Penjelasan Umum UU No 19/2019 yang mengutip putusan MK. Putusan MK ini memberi tafsir dalam pertimbangan hukumnya bahwa keberadaan KPK adalah bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif. Tafsir inilah yang kemudian digunakan Presiden dan DPR dalam revisi UU yang merusak independensi KPK.
Tafsir ini diterjemahkan dalam berbagai bentuk, misalnya alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) dengan kedok tes wawasan kebangsaan (TWK). Padahal, ini menjadi cara untuk menyingkirkan pegawai KPK yang kritis terhadap penyimpangan di KPK, terutama yang dilakukan pimpinan KPK. Secara politik pun sudah cukup terlihat bagaimana Presiden menempatkan institusi KPK sebagai ”bawahan”-nya.
Dalam situasi semacam ini, perlu ada upaya konstitusional untuk mengoreksi putusan MK No 36/PUU-XV/2017 melalui pengujian ulang terhadap UU KPK yang baru. Pengujian ini didasarkan pertimbangan bahwa pasca-perubahan UU KPK justru kian tak independen, kinerja makin buruk, ada indikasi KPK dijadikan alat kekuasaan; serta penyalahgunaan kekuasaan dan dugaan korupsi oleh Ketua KPK.
Apalagi jika ditelusuri dalam putusan MK itu ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang sangat tajam karena empat dari sembilan hakim konstitusi menyebut bahwa sebelum putusan No 36/PUU-XV/2017, telah banyak putusan MK terdahulu yang keseluruhannya jelas menuju satu kesimpulan yang sama: KPK bukan termasuk cabang kekuasaan eksekutif.
Jika dikaitkan dengan konstelasi yang saat ini terjadi di MK, ada kemungkinan upaya pengujian ulang terhadap revisi UU KPK sangat layak untuk dilakukan.
Ilusi
Usia pemerintahan Jokowi hanya tinggal menghitung bulan. Oktober 2024 akan ada presiden dan wakil presiden baru. Agak sulit berharap kepada Jokowi untuk mengusung kembali isu penguatan KPK di sisa masa jabatannya. Yang paling strategis adalah melihat dan menilai bagaimana gagasan dari ketiga pasangan capres-cawapres dalam memandang KPK.
Secara umum, ”aroma” yang hampir sama muncul dari visi-misi yang disampaikan kepada KPU adalah penguatan KPK. Sekalipun ada yang menyebut ”mengembalikan peran KPK dalam pemberantasan korupsi yang independen”. Pernyataan ini sebenarnya juga tak cukup kuat sebab problem independensi KPK disokong instrumen hukum bernama UU.
Yang paling strategis adalah melihat dan menilai bagaimana gagasan dari ketiga pasangan capres-cawapres dalam memandang KPK.
Yang jelas, tak ada satu pun pasangan calon yang secara tegas mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya akan mencabut atau setidaknya merevisi kembali UU KPK untuk mengembalikan kedudukan KPK sebagaimana sebelum adanya revisi UU. Hal ini mengindikasikan bahwa secara politik hampir semua pasangan calon didukung partai politik yang menjadi aktor dalam perubahan UU KPK di DPR.
Ada hambatan politik yang cukup kuat dalam mengembalikan kedudukan KPK yang independen tersebut.
Namun, jika dikalkulasi, publik sebenarnya bisa menentukan sendiri pasangan calon mana yang memiliki hambatan politik paling besar hingga paling kecil jika gagasan revisi kembali terhadap UU KPK dilakukan. Karena itu, masa depan KPK sebenarnya ditentukan pilihan politik pemilih melalui proses pemilu. Jika publik (kembali) salah dalam memilih, penguatan KPK hanya akan menjadi sebuah ilusi.
Reza Syawawi, Peneliti di Transparency International Indonesia
Tulisan ini telah di publikasikan di Harian Kompas 19 Desember 2023 06:31 WIB