Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan untuk membatalkan aturan didalam PKPU 20/2018 yang melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual kepada anak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif tahun 2019 (14/9). Putusan ini semakin memperkuat hasil laporan Corruption Perception Index (CPI) selama hampir 2 dekade terakhir tentang menguatnya praktik korupsi politik di Indonesia. Berdasarkan data CPI tahun 2017, skor Indonesia mengalami stagnasi di angka 37, skor yang juga diperolah tahun 2016. Menurut hasil riset ini salah satu problem utama yang memperlambat laju skor CPI adalah lemahnya inisiatif untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi politik, khususnya di lembaga legislatif. Senada dengan hal tersebut, berdasarkan riset Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2017 menempatkan institusi politik yakni lembaga legislatif (DPR/DPRD) dan partai politik sebagai lembaga terkorup di Indonesia.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU perlu diapresiasi karena mengambil langkah yang tepat untuk menolak pencalonan sebagai anggota legislatif terhadap individu yang pernah dipidana karena melakukan kejahatan serius, khususnya korupsi. Apa yang telah dilakukan KPU setidaknya memperlihatkan bahwa tugas penyelenggara pemilu tidak hanya sekedar mengadministrasikan proses pemilu tetapi juga memiliki kewajiban moral kepada publik untuk menghadirkan caleg yang berkualitas dan berintegritas. Kebijakan KPU seperti oase ditengah tandusnya pemberantasan korupsi politik baik dari sisi politik hukum (regulasi) maupun dalam proses peradilan pidana. Kejahatan korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa, regulasi masih memberikan ruang bagi individu yang telah terbukti tidak memiliki integritas untuk menduduki jabatan publik khususnya di lembaga-lembaga politik. Selain itu, dalam proses peradilan terhadap para koruptor masih memberikan sanksi yang rendah, belum lagi soal pemberian privilege ketika koruptor tersebut menjalani masa pidana. Pencabutan hak politik oleh pengadilan juga masih sangat sedikit, padahal terpidana korupsi yang berasal dari lembaga legislatif masih mendominasi. Problem dalam proses pemidanaan ini semakin kompleks ketika MA memberikan ruang bagi para mantan koruptor untuk dapat kembali menduduki jabatan politik melalui putusan judisial review terhadap PKPU 20/2018.
Sistem peradilan tidak mampu membuat putusan yang progresif untuk menghadapi tantangan zamannya, seperti korupsi politik yang mengakar, ungkap Dadang Trisasongko, Sekjen TI Indonesia.
Putusan MA ini sebaiknya tidak mengurangi upaya menghadirkan calon wakil rakyat yang memiliki integritas tinggi. Sebaliknya putusan ini harus dilihat sebagai tantangan baru bagi penyelenggara pemilu khususnya KPU untuk menyusun regulasi dan memastikan para mantan terpidana korupsi diketahui oleh pemilih/publik secara luas. Undang-Undang 7/2017 secara jelas menyebutkan bahwa untuk mendukung terselenggaranya pemilu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil salah satunya dengan menegakkan prinsip terbuka (pasal 3). Prinsip ini akan melindungi hak masyarakat untuk memilih calon wakilnya di parlemen yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik. Sehingga desain regulasi penyelenggaraan pemilu memang ditujukan untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas.
Untuk mendukung hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan;
1. Dengan merujuk pada hak pemilih/publik untuk mengetahui secara lengkap, jelas dan mudah diakses terhadap rekam jejak para calon anggota legislatif yang berlatar belakang mantan terpidana korupsi, maka KPU segera menetapkan aturan untuk memastikan para pemilih/publik mendapatkan haknya tersebut sesuai dengan UU tentang Pemilu maupun UU tentang Keterbukaan Informasi Publik.
2. Bagi partai politik, ini saat yang tepat untuk membuktikan komitmen anti korupsinya. Demi tercapainya hasil pemilu yang berintegritas dan sesuai dengan kesepakatan bersama (Pakta Integritas) yang telah dilakukan baik dengan KPU maupun Bawaslu untuk segera menarik dan mengganti seluruh calon anggota legislatif yang berlatar belakang sebagai mantan terpidana korupsi.
3. DPR dan pemerintah segera melakukan perbaikan terhadap paket undang-undang politik, yaitu UU tentang Partai Politik, UU tentang Pemilu, UU tentang Pilkada, dan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang lebih memiliki perspektif untuk memberantas praktik korupsi politik, baik di internal partai politik maupun di dalam jabatan-jabatan politik yang dipilih melalui proses pemilu.
4. Mengajak seluruh pemilih/publik untuk tidak memberikan pilihannya kepada calon anggota legislatif yang memiliki masalah integritas, seperti mantan terpidana korupsi.
Jakarta, 16 September 2018
Contact person;
Dadang Trisasongko, Sekjen TI Indonesia (081220212063)
Reza Syawawi, Peneliti Hukum TI Indonesia (085278373971)