Kala Media ‘Gagal Fokus’ Mewartakan Korupsi

Oleh  Afina Zahra Fatharani – Kawula Muda Antikorupsi Transparency International Indonesia

Nasib pemberantasan korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pasalnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia menunjukan bahwa Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115. Selain karena penegakan hukum yang lemah, ada peran media yang absen dalam memberikan pendidikan antirasuah.

Baru-baru ini kasus dugaan korupsi gratifikasi dan pemerasan di Kementerian Pertanian dengan terdakwa Syahrul Yasin Limpo (SYL) menjadi topik utama media massa. Kasus yang juga melibatkan aliran dana suap ke Firli Bahuri selaku mantan pimpinan KPK tak luput dari perhatian publik. Namun dibalik kasus utama tersebut, ditemukan judul berita seperti “Sosok Biduan di Kasus Korupsi SYL: Nayunda Nabila Punya Pendidikan Mentereng”, dan “Menguak Kekayaan Indira Chunda, Putri Eks Mentan SYL yang Beli Skincare dari Anggaran Kementan”.

Selain itu, kasus dugaan korupsi tata niaga PT Timah Tbk yang melibatkan16 orang tersangka termasuk Harvey Moeis juga menjadi topik utama media massa karena berpotensi merugikan negara hingga Rp 271 triliun. Seperti kasus SYL, ditemukan juga judul-judul berita seperti “Peramal Ungkap Nasib Pernikahan Sandra Dewi dengan Harvey Moeis” dan “Kemana Koleksi Tas Mewah Sandra Dewi? Istri Harvey Moeis Pakai Tas Murah Saat Pemeriksaan Kejagung”.

Alih-alih pemberitaan korupsi secara sistemik, pemberitaan dengan judul-judul tersebut jauh lebih mendapat perhatian di masyarakat. Lantas, apa penyebab media menggunakan ide tersebut dan apa efeknya?

Politik Sebagai Hiburan

Elisabeth Kramer, Peneliti dari Department Of Indonesian Studies, University Of Sydney, lewat jurnal berjudul “When News Becomes Entertainment: Representations of Corruption in Indonesia’s Media and The Implication of Scandal“, menjelaskan bahwa pemberitaan politik di media yang banyak dijadikan topik hiburan ‘gosip’ diibaratkan pedang bermata dua, yakni di satu sisi meningkatkan kesadaran publik akan kasus korupsi, di sisi lain justru terbawa pemberitaan yang ‘dramatis’ dan ‘sensasional’ dibanding pemberitaan yang ‘institusional’ dan ‘sistemik’ mengenai budaya korupsi di Indonesia.

Elisabeth merumuskan tiga bentuk utama pelaporan berita yang bertujuan untuk memancing keingintahuan dan intrik dari konsumen media, yakni: ‘skandalisasi’, ‘opera sabun’ dan ‘pelaporan dangkal’. Lewat cara-cara pelaporan tersebut, media cenderung mempromosikan informasi mengenai urusan personal daripada mendorong pemahaman yang lebih dalam mengenai alasan politis dan struktural yang mendasari masifnya kasus korupsi di Indonesia.

Meskipun skandal pemberitaan media sering didasarkan pada sensasionalisme, skandal tersebut tetap dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran publik (Lull & Hinerman dalam Kramer, 2013). Skandal adalah manifestasi dari ‘politics of shaming’ yang tidak hanya dapat merusak reputasi individu, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun ada aturan hukum secara formal, aturan moral tak tertulis tetap berlaku di masyarakat. (Tumber & Waisbord, dalam Kramer, 2013).

Sayangnya, meski pemberitaan skandal tetap memiliki efek positif, media justru beraksi ‘memancing di air keruh’. Ketika media berambisi memenuhi target engagement yang tinggi, berita skandal korupsi dieksploitasi untuk meningkatkan jumlah klik audiens, sehingga meningkatkan keuntungan perusahaan. Media yang menggunakan strategi ‘politik sebagai hiburan’ secara terus menerus, dinilai berbahaya karena kasus korupsi digunakan untuk menarik perhatian yang tidak mengarah pada kebenaran, pengungkapan, atau kedalaman liputan. Jika fokus media hanya sekadar menarik minat pembaca dan bukan pada pemberitaan ‘kebenaran’, maka ia tidak lagi memenuhi peran kepentingan publik.

Berefleksi dari kasus Biduan SYL dan Sandra Dewi, pemberitaan kasus korupsi yang mengarah pada urusan personal juga bisa dilihat dari kasus terdahulu. Kasus Angelina Sondakh, Nunur Nurbaeti, Miranda Goeltom, dan Malinda Dee dinormalisasi penggambarannya sebagai ibu-ibu sosialita, penggemar operasi plastik, maupun sebagai janda. Fokus tersebut tidak relevan terhadap kasus korupsi yang seharusnya dibahas secara sistemik.
Pesan yang disampaikan dalam pemberitaan seperti itu, berdampak pada minimnya pengaruh media dalam mengubah pola pikir masyarakat terhadap korupsi. Penggambaran kasus sensasional gagal menyampaikan pesan bahwa korupsi telah berdampak nyata bagi publik. Masyarakat menjadi kurang kritis karena ketidakjelasan pemberitaan media, dan akhirnya gagal mengawal kasus korupsi hingga tuntas.

Sudah seharusnya media memberitakan kasus korupsi secara substantif yang berpihak pada keadilan. Kala eksekutif, legislatif, dan yudikatif kian ringkih diterpa kepentingan kekuasaan. Kehadiran pers sebagai pilar yang kerap terseok-seok beridiri tegak itu menjadi penanda bahwa harapan Indonesia yang bebas korupsi masih ada.

 

===========

Referensi
[1] Prasetyo, G. (2024, April 30). Sosok Biduan di Kasus Korupsi SYL: Nayunda Nabila Punya Pendidikan Mentereng. Retrieved from: https://www.suara.com/news/2024/04/30/181727/sosok-biduan-di-kasus-korupsi-syl-nayunda-nabila-punya-pendidikan-mentereng

[2] Darmawan, Z. (2024, 6 Mei). Menguak Kekayaan Indira Chunda, Putri Eks Mentan SYL yang Beli Skincare dari Anggaran Kementan. Retrieved from: https://siap.viva.co.id/news/7140-menguak-kekayaan-indira-chunda-putri-eks-mentan-syl-yang-beli-skincare-dari-anggaran-kementan

[3] ARM. (2024, 3 Mei). Peramal Ungkap Nasib Pernikahan Sandra Dewi dengan Harvey Moeis. Retrieved from: https://www.insertlive.com/hot-gossip/20240502220222-7-336956/peramal-ungkap-nasib-pernikahan-sandra-dewi-dengan-harvey-moeis

[4] Murhan. (2024, 4 April). Kemana Koleksi Tas Mewah Sandra Dewi? Istri Harvey Moeis Pakai Tas Murah Saat Pemeriksaan Kejagung. Retrieved from: https://banjarmasin.tribunnews.com/2024/04/04/kemana-koleksi-tas-mewah-sandra-dewi-istri-harvey-moeis-pakai-tas-murah-saat-pemeriksaan-kejagung.

[5] Kramer, E. (2013). When news becomes entertainment: Representations of corruption in Indonesia’s media and the implication of scandal. Media Asia Volume 40, –