Katakan Bahwa Oposisi Diperlukan

Oleh Sahel Muzzammil, Peneliti Transparency International Indonesia

Ketiadaan oposisi memperhadapkan pemerintah dan masyarakat secara diametral. Suara berbeda yang seharusnya diartikulasikan oleh kelompok oposisi di parlemen justru diartikulasikan oleh massa di medsos dan di jalanan.

Apakah Pemilu 2024 akan membawa banyak perubahan dalam lanskap politik Indonesia? Apakah pemerintahan baru yang akan terbentuk nanti akan mewarisi watak politik pemerintahan saat ini, khususnya dalam memaknai kehadiran oposisi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tebesit di benak saya setelah membaca ulang tulisan cemerlang Herlambang P Wiratraman berjudul ”Mahkamah Kartel” yang dimuat Kompas pada 12 Desember 2022. Tulisan tersebut dibuka dengan mengutip ungkapan Presiden Joko Widodo bahwa di Indonesia tidak ada yang namanya oposisi seperti di negara-negara lain. Dari sana ulasan berlanjut kepada bagaimana kartelisasi politik terjadi, yang pada gilirannya turut merusak Mahkamah Konstitusi.

Memang, sebagaimana ditunjukkan oleh Herlambang P Wiratraman, pandangan bahwa di Indonesia tidak perlu ada oposisi terbukti merupakan awalan yang berbahaya. Bukan hanya itu akan menumpulkan fungsi pengawasan yang dimiliki parlemen, melainkan juga akan melumpuhkan fungsi check and balances secara menyeluruh, termasuk oleh lembaga kehakiman atau kelembagaan lainnya yang seharusnya independen dari pengaruh politik.

Sebab itu, mereka yang berhasrat menjadi orang nomor satu harus dituntut untuk menunjukkan sikap yang clear terhadap kehadiran oposisi. Apabila yang tampak adalah antipati, maka ada satu alasan untuk beralih pada pilihan lain.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera memberikan pidato pilitik saat penutupan Rapat Kerja Nasional 2021 di Jakarta, Kamis (18/3/2021). PKS menegaskan sikapnya sebagai partai oposisi.

Absennya oposisi

Dan Slater (2018) pernah menulis bahwa absennya oposisi di Indonesia, terlepas dari dua faktor yang lazim menjadi penyebab gagalnya oposisi di negara-negara lain: pertama, keberadaan partai tunggal yang dominan; kedua, gagalnya partai-partai baru untuk mengatasi hambatan masuk. Indonesia tidak memiliki partai yang dominan dan tidak kekurangan partai-partai yang siap menjadi oposisi politik.

Lain sama sekali, penyebab gagalnya kemunculan oposisi di Indonesia adalah pembagian kekuasaan yang ”terlalu bebas”, yaitu praktik pembangunan koalisi yang sangat fleksibel di mana partai-partai saling berbagi kekuasaan eksekutif setelah pemilihan berlangsung, bahkan ketika mereka masing-masing mewakili segmen pemilih atau konstituen yang berbeda. Akibatnya, tidak ada ”akuntabilitas vertikal” dan responsivitas kebijakan yang memadai dari politisi terhadap pemilih.

“Penyebab gagalnya kemunculan oposisi di Indonesia adalah pembagian kekuasaan yang ’terlalu bebas’, yaitu praktik pembangunan koalisi yang sangat fleksibel.”

Apa yang oleh Dan Slater disebut kartelisasi partai khas Indonesia ini, lebih dari tanggung jawab siapa pun terutama bergantung kepada kehendak presiden. Dalam hal ini, pola pembagian kekuasaan presidenlah yang akan menentukan hadir atau absennya oposisi.

Ketika presiden terbuka untuk berbagi kekuasaan dengan pihak-pihak yang menentangnya dalam pemilu (Dan Slater menyebutnya dengan pola resiprositas), maka kehadiran oposisi menjadi tak pasti. Sebaliknya, jika presiden secara strategis menolak untuk berbagi kekuasaan dengan partai-partai yang menentangnya dalam pemilu (pola kemenangan), maka kehadiran oposisi menjadi tak terhindarkan.

Sejak pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung, kecenderungan presiden membagi kekuasaan lebih mendekati pola resiprositas ketimbang pola kemenangan. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, ada PDI-P sebagai partai besar di luar pemerintahan, tetapi secara persentase tidak pernah cukup untuk menjadi oposisi efektif.

Sementara itu, pada awal periode pertama Presiden Jokowi kehadiran oposisi tampak menjanjikan, tetapi tidak bertahan lama setelah sebagian partai anggota Koalisi Merah Putih (koalisi partai oposisi) turut bergabung ke dalam kabinet Presiden. Pada periode kedua Presiden Jokowi, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menjadi lawan (Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno) bahkan turut bergabung ke dalam kabinet.

Capres-cawapres nomor urut 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, bersama petinggi partai yang masuk dalam Koalisi Merah Putih menjawab pertanyaan wartawan usai Deklarasi Koalisi Merah Putih Permanen di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin (14/7/2014). Koalisi ini diikuti oleh tujuh partai politik yang mengusung pasangan Prabowo-Hatta sebagai capres.

Masyarakat versus pemerintah

Ada sejumlah catatan bisa diberikan sebagai dampak dari ketiadaan oposisi politik. Untuk mempersingkat, di sini akan disebutkan dua. Pertama, oleh karena uraian di atas dilihat sebagai kartelisasi, maka perwujudan politik kartel yang sempurna akan menjadi ujung, yaitu makin bergantungnya partai-partai kepada keuangan negara, makin jauhnya mereka dari masyarakat dan kepentingannya, serta makin menyatunya mereka sebagai sebuah kelompok yang memiliki persamaan kepentingan: yakni mengamankan sumber keuangan bersama dari negara (Katz dan Mair, 1996).

Kedua, sebagaimana diungkapkan Dan Slater, tidak ada ”akuntabilitas vertikal” dan responsivitas kebijakan yang memadai dari politisi terhadap pemilih. Dampak ini sesungguhnya adalah yang paling terasa selama tahun-tahun terakhir, di mana sejumlah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintah dan DPR kerap menuai penolakan masif dari masyarakat. Sebut saja, revisi UU KPK, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, dan yang terakhir UU KUHP. Seluruh proses ini selalu diikuti gejolak demonstrasi, bahkan turut menelan korban jiwa (tercatat ada lima orang korban jiwa dalam aksi #ReformasiDikorupsi, 2019).

“Tidak ada ’akuntabilitas vertikal’ dan responsivitas kebijakan yang memadai dari politisi terhadap pemilih”.

Pada intinya, ketiadaan oposisi akhirnya memperhadapkan pemerintah dan masyarakat secara diametral. Suara berbeda yang seharusnya diartikulasikan oleh kelompok oposisi di parlemen justru diartikulasikan oleh massa di media sosial dan di jalanan melalui demonstrasi.

Kendati ini merupakan wujud kebebasan berekspresi, selalu ada potensi keonaran di sini yang secara ironis sebenarnya ditakuti oleh pemerintah. Terbukti, keonaran menjadi unsur dalam delik terkait demonstrasi di KUHP baru. Selain itu, rujukan untuk menyalurkan ketidakpuasan melalui MK juga terbukti sebatas basa-basi, setelah dipertontonkan bahwa hakim dapat dicopot dengan alasan putusannya kerap bertentangan dengan kehendak pembentuk undang-undang.

2024 dan paradigma baru

Pemahaman bahwa kehadiran oposisi tidak dibutuhkan dalam politik Indonesia adalah pemahaman keliru yang wajib ditinggalkan. Masyarakat harus diyakinkan bahwa sebagaimana pilihan elektoral mereka yang beragam, pikiran mereka yang berbeda nanti juga akan tergambar dalam konfigurasi pemerintahan.

Para calon presiden (dan calon wakil presiden) yang akan berlaga di panggung politik 2024, adalah yang paling bertanggung jawab untuk membawa proposal ini. Bahkan, sama sekali tak berlebihan jika kehadiran oposisi di Indonesia menjadi satu tema yang turut diperdebatkan dalam forum debat capres-cawapres yang difasilitasi penyelenggara pemilu. Dengan cara ini, mudah-mudahan publik dapat melihat bahwa Pemilu 2024 bukan merupakan siklus lima tahunan untuk mengulang kekecewaan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *