Kejahatan ”Biasa” Bernama Korupsi

Oleh Alvin Nicola

Undang-Undang KUHP yang disahkan baru-baru ini bukan hanya mendefinisikan perbuatan korupsi, lebih dari itu turut mengubah usulan perubahan pemidanaannya. Ini mereduksi sifat khusus penanganan tindak pidana korupsi.

Dimasukkannya delik tindak pidana korupsi ke dalam Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) hanya menyisakan keuntungan hampa bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun kebijakan rekodifikasi diklaim telah dilakukan secara terbuka dan terbatas, nyatanya perubahan pada sejumlah delik ini berpotensi menimbulkan efek jera yang minim karena mereduksi sifat khusus pada penanganan tindak pidana korupsi.

Perubahan hukum pidana yang sejak awal pembahasannya menuai gejolak panjang di tengah masyarakat ini telah secara tegas mencabut lima pasal krusial dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kelima pasal tersebut meliputi Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 sebagaimana tercantum pada bab tentang ketentuan penutup Pasal 622 Ayat 1 huruf L. Sebagai gantinya, pasal-pasal itu harus mengacu ke Pasal 603, Pasal 604, Pasal 605 dan Pasal 606 di dalam UU KUHP yang disahkan pada 6 November lalu.

Berubahnya pengaturan norma-norma pemidanaan korupsi tersebut berbeda jauh dengan gagasan sebelumnya. Berulang kali pemerintah menyampaikan, delik korupsi yang akan dirumuskan hanya bersifat umum atau hanya mencakup tindak pidana pokok (core crime) yang berfungsi sebagai ketentuan penghubung (bridging articles) antara KUHP dan undang-undang di luar KUHP yang mengatur tindak pidana dalam bab tindak pidana khusus.

Namun, permasalahan muncul ketika UU KUHP yang telah disahkan saat ini bukan hanya mendefinisikan perbuatan korupsi tersebut, tetapi lebih daripada itu juga turut mengubah usulan perubahan pemidanaannya yang berdampak buruk kepada bergesernya tingkat keseriusan dan bobot kejahatan korupsi. Padahal, dalam UU Tipikor eksisting sudah terdapat aturan pidana dan sanksi materi, tetapi hal tersebut juga diatur kembali dalam UU KUHP.

Prinsip dan bobot yang berbeda itu dapat dilihat pada ancaman hukuman pokok berupa pidana badan dan denda dalam UU KUHP yang pada umumnya menjadi lebih rendah dibanding ancaman dalam UU Tipikor. Sebagai contoh, dalam Pasal 603 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor, memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun menjadi 2 tahun penjara. Tak hanya itu, denda minimalnya pun juga ikut dipangkas dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta.

Seminar bertema “Menelaah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP” yang diselenggarakan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diselenggarakan di Jakarta pada Senin (24/6/2019).

Seminar bertema “Menelaah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP” yang diselenggarakan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diselenggarakan di Jakarta pada Senin (24/6/2019).

Perubahan juga dapat dilihat pada Pasal 604 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Meskipun lama pidana badan meningkat dari satu tahun menjadi dua tahun penjara, itu tak sebanding dengan subyek hukum pelaku yang merupakan pejabat publik. Logika ini jelas bermasalah karena jika pelaku adalah pejabat publik, seharusnya hukumannya dapat diperberat karena yang bersangkutan telah melanggar sumpah jabatan dan selama ini telah menikmati fasilitas negara.

Sementara pada Pasal 610 Ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor, lama hukuman untuk penerima suap ini pun berkurang, dari lima tahun menjadi empat tahun penjara. Terkait hukuman pokok lain, UU KUHP juga memuat penurunan ancaman pidana denda dan tidak diaturnya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Selain itu pada Pasal 606 KUHP, ancaman hukuman penerima gratifikasi juga lebih ringan dibandingkan UU Tipikor karena hanya mengatur hukuman maksimal empat tahun dan tidak terdapat batas minimal. Sementara pemberi gratifikasi diancam hukuman paling lama hanya tiga tahun dan denda maksimal Rp 200 juta.

Pasal 610 Ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor, lama hukuman untuk penerima suap ini pun berkurang dari lima tahun menjadi empat tahun penjara.

Begitu pun rumusan pasal terkait pencucian uang. Dalam kodifikasi KUHP teranyar, pemerintah dan parlemen mengubah ketentuan Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ke dalam Pasal 607 dan Pasal 608, di mana ancaman pidana dan denda diturunkan menjadi maksimal hanya 15 tahun penjara dari 20 tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar dari yang sebelumnya Rp 10 miliar. Padahal, diketahui bersama, kebanyakan pelaku pencucian uang adalah koruptor yang berupaya menyembunyikan hasil kejahatannya. Situasi ini diperburuk karena negara terus mengurungkan niat mengesahkan RUU Perampasan Aset.

Beleid lain yang bermasalah berkaitan dengan kejahatan korporasi. Dalam UU ini, rumusan kejahatan yang diatur berpotensi menghambat proses penyelidikan. Hal ini karena dalam salah satu pasalnya, pelaku yang dapat dijerat hanyalah orang yang memiliki jabatan fungsional dalam struktur perusahaan. Padahal, faktanya, sering kali tindak pidana ini dilakukan secara kolektif, yang juga melibatkan pegawai non-struktural sebagai proksi dari praktik koruptif itu sendiri.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/3S2Z33sZjP6qvk0Nk7_3D4dFN9o=/1024x767/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F15%2F43984798-1fbb-4de4-9267-e00e7981d4a6_jpg.jpg

Sangat bermasalah

Dari perubahan-perubahan norma di atas tampak bahwa sejumlah delik korupsi di dalam UU KUHP sangat bermasalah yang justru semakin menihilkan efek jera. Sejumlah pengaturan dari kodifikasi hukum ini pun pada gilirannya juga akan berpotensi menghambat kerja penegak hukum, terutama pada kinerja KPK dan pengadilan tipikor dalam upaya memerangi korupsi. Perubahan signifikan pada sejumlah rumusan berimplikasi besar, terutama bagi kebingungan aparat penegak hukum dalam penerapannya.

Setelah diatur dalam UU KUHP, kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang tercantum di UU KPK menjadi kehilangan makna. Artinya, tak mengherankan apabila ke depan proses penegakan hukum tindak pidana korupsi hanya akan dapat dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian karena keduanya masih mendapatkan kewenangan menangani kasus korupsi dari aturan lain selain UU Tipikor.

Selain menghambat kerja KPK, proses memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi pun berpotensi hanya akan dapat diadili di pengadilan umum. Dampak ini terjadi karena kewenangan pengadilan tipikor hanya diatur di UU Tipikor. Padahal, jamak diketahui, kinerja pengadilan umum ketika menangani perkara tindak pidana korupsi justru sering kali mengecewakan. Berulang kali, publik diperlihatkan pengadilan kerap memproduksi putusan yang ”ramah” terhadap koruptor.

Dua dampak problematik ini—substansi pidana dan kelembagaan—dari berubahnya paradigma pemidanaan di atas semakin memperburuk kondisi yang tidak kondusif bagi pemberantasan korupsi. Padahal, jika dilihat pada urgensinya saat ini, revisi UU Tipikor untuk segera menyesuaikan pengaturan delik korupsi UNCAC lebih dibutuhkan alih-alih memasukannya ke dalam kitab pidana.

Bukan tak mungkin, skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia yang diterbitkan Transparency International ke depan akan menurun dan semakin mencederai citra buruk komitmen penegakan hukum pemerintah di fora internasional. Situasi ini tentu berdampak serius bagi target ambisius pemerintah untuk mendatangkan Rp 1.400 triliun investasi luar negeri di tahun depan.

Walhasil, tidak berlebihan rasanya jika masyarakat menilai bahwa rekodifikasi KUHP yang ikut mengatur delik korupsi ini merupakan pintu masuk untuk kembali membongkar UU KPK dan juga Pengadilan Tipikor dalam waktu dekat. Asumsi itu perlu dijawab secara serius oleh pemerintah dan parlemen. Namun, paling tidak, dengan ancaman pidana yang semakin rendah dalam UU KUHP, sulit membayangkan penegakan hukum tindak pidana korupsi akan menghasilkan efek jera maksimal di masa mendatang.

Alvin Nicola, Peneliti Transparency International Indonesia

Tulisan ini telah dimuat di Kompas ID edisi 19 Desember 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *