Dengan target capaian terbentuknya peta identifikasi evaluasi masyarakat sipil terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Baik pada dimensi independensi, sumber daya, integritas internal, penindakan, pencegahan hingga relasi dengan para pemangku kepentingan.
Transparency International Indonesia (TII) dan Lembaga Gemawan bersama Tim Percepatan Reformasi Hukum melaksanakan “Konsolidasi Masyarakat Sipil Antikorupsi di Kota Pontianak”, pada Jumat (22/09/2023).
Kegiatan yang menargetkan adanya peta identifikasi evaluasi masyarakat sipil terhadap kinerja KPK diadakan di Rumah Gesit Gemawan, Kawasan Ujung Pandang, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Dengan Menghadirkan empat (4) Pemantik Diskusi yaitu Adnan Topan Husodo, Tim Percepatan Reformasi Hukum, Alvin Nicola, Manajer Program Democratic and Participatory Governance TI Indonesia, Dr. Zulkarnaen, M.Si, Akademisi FISIP Universitas Tanjungpura, Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Gemawan, dan Sri Haryati dari Gemawan sebagai Moderator.
Peserta yang datang berlatar belakang akademisi, jurnalis, advokat, kelompok masyarakat sipil, serta mahasiswa.
Adnan Topan Husodo, Tim Percepatan Reformasi Hukum mengatakan jika berbicara tentang pemberantasan korupsi, konteks kita hari ini sebagai negara, kita mengalami regresi demokrasi. Bukan hanya KPK yang mengalami pelemahan, akan tetapi semua lembaga.
Kita berada didalam fase yang tidak baik-baik saja masalah kedua pebisnis dan politisi bersatu, padahal ini adalah dua hal yang harus dipisahkan. “Salah siapa? Tidak ada yang salah, ini adalah soal pertempuran saja, antara kita masyarakat dengan pemerintah yang sedang kuat-kuatnya,” katanya.
Banyak pelaku korupsi yang mendapat pengurangan hukuman karena adanya konflik kepentingan, Indonesia tidak mengatur konflik kepentingan didalamnya. “Pemberantasan korupsi sangat terkait dengan Neodevoplomentalis, masyarakat dianggap penyakit atau masalah demi terbentuknya pembangunan konteks pemberantasan korupsi,” jelasnya lagi.
Adnan berujar Kita masyarakat baru bergerak jika ada ledakan besar seperti pada tahun 1998 Pemberantasan korupsi atas dasar desakan masyarakat atau tuntutan (bottom up).
No Viral No Justice
“Kasus harus viral dulu baru akan ada penyelesaiannya, kuat tidaknya penyelesaian bergantung dari kekuatan masyarakat,” katanya.
Adnan menekankan korupsi tidak hanya harus dicegah, tapi harus dihentikan. “Pencegahan korupsi sudah salah by design karena salah pendekatan. Daya paksa diperlukan untuk membuat kebijakan itu berjalan. Ketika korupsi terjadi terus menerus, itu terjadi karena ada konflik kepentingan,” imbuhnya.
Konteks pemberantasan korupsi, tambah aktivis yang pernah menjadi Direktur ICW, negara dengan kompleksitas aktornya tidak memiliki kemauan politik untuk memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi yang serius acapkali membutuhkan momentum ledakan besar, bukan sporadis dan terbatas.
Adnan menyebutkan, karena pemberantasan korupsi di Indonesia berbasis desakan masyarakat, maka daya tahannya bergantung dari kekuatan masyarakat. “Masyarakat melemah, negara kuat, demokrasi terancam. Anti korupsi beririsan dengan penguatan demokrasi,” pungkas Adnan.
Zulkarnaen, Akademisi FISIP Universitas Tanjungpura menyebut korupsi adalah masalah yang rumit dan kompleks.
“Indonesia sebagai negara konstitusional sekaligus negara demokrasi, kita pahami sebelumnya bahwa penguasa tahu betul arus demokrasi. Mereka tidak bisa ditolak dan tidak bisa dilawan, maka dari itu penguasa harus tahu bagaimana cara untuk mengaturnya,” kata dia.
Dikatakan Zulkarnaen, keputusan KPK menjadi konvensional, karena diputuskan oleh DPR RI. Jadi harus dikawal karena kedudukannya paling tinggi, karena merupakan wakil rakyat.
Kita harus memahami pasal-pasal hukum agar keputusan dan kebijakan yang dibuat mengena dan tepat sasaran. “Apakah MK sekarang steril dari kepentingan penguasa? MK dalam konteks-konteks terkait dengan konsep kekuasaan perlu dipertanyakan,” ujarnya.
Partai politik, paparnya, adalah gerbang utama dalam dimensi demokrasi. Politik sebagai panglima untuk memimpin menuju demokrasi. “Siapapun yang menjadi penguasa akan sulit melakukan korupsi jika dikawal dengan ketat,” timpalnya.
Ditempat yang sama, Alvin Nicola, Manajer Program Democratic and Participatory Governance TI Indonesia menyampaikan cerita tentang demokrasi yang dikorupsi. “Harapan kita sempat terbakar saat mendengar fakta-fakta yang ada, tapi kita tidak boleh menyerah dan harus tetap semangat. Kebutuhan dan urgensi utama saat ini adalah penguatan masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi,” ungkapnya.
KPK cenderung mengabaikan akar masalah, dan yang sering diabaikan yaitu integritas penegakan hukum dan integritas politik. Sekarang, imbuh Alvin, kita digiring kepada hal-hal yang receh, dan berusaha di hari ini muncul politik pesanan.
“KPK juga berpotensi digunakan untuk kepentingan politik, padahal penting untuk membongkar the untouchables. Proses alih status telah dilakukan diluar prinsip negara hukum, Indonesia semakin dikucilkan komitmen pemberantasan korupsinya dalam forum-forum interasional,” ujarnya lagi.
Ia memaparkan kehadiran Perpres 54/2018 belum membuahkan hasil yang signifikan bagi pembenahan iklim pencegahan korupsi. “Aksi pencegahan korupsi di dalam Stranas PK yang dipantau masyarakat sipil masih membutuhkan upaya lebih keras untuk mencapai tingkat dampak (impact),” katanya.
Paradigma kebijakan yang cenderung bermain di pinggiran serta didominasi pendekatan yang teknokratik-administratif berakibat pada tak tersentuhnya masalah utama korupsi itu sendiri, yaitu korupsi politik.
Sehingga Stranas PK seakan hanya bekerja untuk merespon korupsi kecil (petty corruption). “Pendekatan ini seakan menutup mata masifnya upaya akumulasi kekuasaan (power accumulation) dan perluasan kekuasaan (power extension) di sisi yang lain,” urainya.
Sementara itu, Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Gemawan mengajak forum untuk berefleksi atas gerakan antikorupsi yang telah dilakukan selama ini.
“Kita harus menempatkan posisi kita dengan benar agar dapat bergerak dengan tepat untuk menghentikan korupsi yang terjadi,” terangnya.
Ia menekankan perlunya beberapa hal dalam gerakan antikorupsi, yakni asset-based thingking, tidak terpaku hanya pada satu solusi (no blanked solution), serta komunikasi strategis.
Story Telling Movement
“Story telling itu penting dalam gerakan pemberantasan korupsi,” tegasnya. Dengan cara ini, Laili menuturkan, cerita yang disampaikan dapat menggerakkan hati pendengar untuk ikut melakukan aksi-aksi antikorupsi.
“Melalui story telling, kita harus mulai mengampanyekan bahwa Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Realitas dilapangan berbanding terbalik yang terlihat dipermukaan,” tambahnya.
Laili menambahkan, Gemawan saat ini sedang mengidentifikasi inovator-inovator di tingkat lokal agar menjadi aktor-aktor perubahan. “Kami ingin banyak pihak terlibat dalam gerakan perubahan,” harapnya. (Tim liputan)
Sumber: Kalbarnews