Korupsi ”Wakil Tuhan”

Korupsi di institusi MA tak bisa dilepaskan dari lemahnya integritas hakim agung, terutama di level pimpinan MA.

”Jika dahulu orang harus mencari seorang hakim yang korup dengan lentera, sekarang ia harus menggunakan lentera itu untuk mencari hakim yang jujur.” Kutipan ini dimuat dalam buku Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung (2012).

Pompe secara anonim mengutip salah seorang hakim agung tahun 1980-an yang menyampaikan bahwa semakin sulit bagi seorang hakim mempertahankan integritasnya. Jumlah hakim yang jujur kian merosot dan hakim semacam itu terancam dikucilkan.

Studi Pompe tersebut tentu semakin relevan di tengah situasi korupsi yang menghantui salah satu puncak kekuasaan kehakiman. Di antaranya, belum lama berselang, kasus korupsi yang melibatkan bekas Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.

Juga kasus korupsi yang melibatkan aparatur pengadilan. Salah satunya dilakukan oleh bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan.

Belakangan, di tengah tuntutan kesejahteraan yang sedang diperjuangkan oleh para hakim, Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim terkait dugaan gratifikasi (23/10/2024).

Terakhir, tiga hakim yang memutus bebas terdakwa Ronald Tannur (RT) dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan korban tewas ditangkap dengan dugaan menerima suap sekitar Rp 20 miliar.

Menyusul itu, ditangkap pula Zarof Ricar (ZR), bekas pejabat tinggi MA, yang jadi perantara antara pengacara RT, Lisa Rahmat (LR), dan hakim yang menangani kasasi kasus itu. LR menjanjikan uang Rp 5 miliar untuk hakim, sementara ZR mendapat bayaran Rp 1 miliar.

Kasus-kasus tersebut tentu saja akan menjadi pertaruhan bagi Ketua MA Sunarto yang baru dilantik pada 22 Oktober 2024. Korupsi di MA tentu tak boleh dilihat hanya dari aspek rendahnya kesejahteraan karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh hakim dengan tingkat kesejahteraan sangat baik.

Hakim yang ditangkap di Surabaya, berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disampaikan ke KPK per 31 Desember 2023, memiliki harta miliaran rupiah. Mereka adalah ED Rp 8.204.000.000, HH Rp 6.716.586.892, dan M Rp 1.316.900.000.

Tiga hakim PN Surabaya yang ditangkap Kejaksaan Agung RI, Erintuah Damanik (tengah), Mangapul (kiri), dan Heru Hanindyo tiba untuk ditahan di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Timur, Kamis (24/10/2024) dini hari.

Perekrutan

Seumpama ikan yang busuknya dimulai dari kepala, maka korupsi di institusi MA tak bisa dilepaskan dari lemahnya integritas hakim agung, terutama di level pimpinan MA.

Kondisi ini juga tak berdiri sendiri, ada rangkaian peristiwa yang menyebabkan korupsi di institusi pengadilan sulit diberantas. Salah satu yang paling utama adalah problem dalam proses perekrutan hakim.

Dalam konteks hakim agung, misalnya, proses seleksi pada kenyataannya terlalu bergantung pada proses politik di DPR yang sarat kepentingan politis. Belum lama ini kita mendengar DPR menolak 12 calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial (28/8/2024).

Keberadaan Komisi Yudisial (KY) dalam seleksi ini agaknya sangat mudah dipatahkan oleh proses politik di DPR. Di masa lalu, situasi yang sama digambarkan oleh Pompe bahwa lemahnya kepemimpinan di MA disebabkan proses perekrutan yang terlalu condong pada cabang kekuasaan eksekutif sehingga cenderung akomodatif.

Di tingkat bawah, seleksi terhadap para hakim tingkat pertama juga menghadapi tantangan. Usulan meninjau ulang mekanisme pengangkatan hakim yang selama ini didominasi jalur PNS perlu dipertimbangkan (Kompas.id, 23/10/2024).

“Tanpa WBS yang kredibel, dilema etis akan terus terjadi karena tak ada proteksi yang diberikan kepada pelapor”.

Sebagai perbandingan, studi yang dilakukan Dahrendorf, seperti dikutip Alm Satjipto Rahardjo dalam tulisan mengenai hakim di Jerman, menemukan bahwa para hakim merupakan hasil dari suatu pola pendidikan dari generasi sebelumnya, yakni mereka yang berasal dari kalangan pegawai negeri.

Studi itu menafsirkan bahwa inilah yang menyebabkan konservatisme politik para hakim yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokratis.

Proses seleksi hakim tingkat pertama ini juga perlu meninjau ulang Putusan MK No 43/PUU-XIII/2015 yang menganulir peran KY dalam seleksi hakim tingkat pertama dengan berlindung di balik independensi kekuasaan kehakiman. Putusan bermula dari permohonan pengujian UU No 49/2009 ke MK oleh beberapa hakim agung, yakni Imam Soebechi, Suhadi, Abdul Manan, Yulius, dan Burhan Dahlan, serta panitera MA Soeroso Ono.

Menurut penulis, nuansa superioritas MA terhadap KY terlalu tampak dalam pengujian UU ini. Sebagaimana halnya rekomendasi KY yang sering kali diabaikan oleh MA. Padahal, keterlibatan pihak eksternal, termasuk KY, dalam proses seleksi justru menjadi nilai tambah untuk memperkuat aspek-aspek integritas para hakim.

Poster kecaman dalam unjuk rasa Keadilan untuk Dini Sera di depan Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (29/7/20240). Foto: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pengawasan dan perlindungan

Dalam sebuah forum tertutup, salah satu sumber pernah mengatakan, korupsi di lingkungan pengadilan, khususnya hakim, pada dasarnya diketahui sejawat sesama hakim, bahkan termasuk aparatur pengadilan. Hanya saja, sulit membuktikan adanya perbuatan itu.

Hal ini mengindikasikan lemahnya pengawasan oleh MA terhadap hakim dan aparatur pengadilan. Di sinilah pentingnya memperbarui fungsi whistle-blowing system (WBS) untuk memfasilitasi setiap pengaduan, khususnya dari internal MA.

Tanpa WBS yang kredibel, dilema etis akan terus terjadi karena tak ada proteksi yang diberikan kepada pelapor.

Apalagi yang dilaporkan adalah level pimpinan yang memiliki pengaruh kuat di institusi MA. Dari sisi eksternal, perlindungan tentu juga perlu dipastikan terhadap hakim sesuai dengan tingkat risiko perkara yang ditanganinya.

Perlindungan ini tak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga mitigasi terhadap praktik suap/korupsi. Ini berpotensi terjadi pada kasus yang melibatkan elite atau aktor negara, pebisnis, dan orang dengan pengaruh tertentu.

Menyitir kembali apa yang pernah ditulis Satjipto Rahardjo dalam ”Perang Dibalik Toga Hakim”, sudah saatnya menghentikan hakim-hakim yang jika memeriksa perkara mendengarkan ”suara perutnya” lebih dulu, baru mencarikan pasal-pasal untuk membenarkannya.

Ini bukan untuk mengerdilkan keberadaan hakim-hakim yang masih menggunakan suara dan nuraninya dalam memutus perkara. Mereka tetap harus didorong menyuarakan ketidakberesan dalam institusinya.

Reza Syawawi, Peneliti di Transparency International Indonesia
Artikel ini telah terbit di Harian Kompas ID Edisi, Rabu 30 Oktober 2024