Narasi besar pemberantasan korupsi pada periode kedua masa pemerintahan Presiden Jokowi akhirnya tersingkap sebagai pepesan kosong setelah dua kali pada periode ini Indonesia mencatatkan kemerosotan skor dalam Corruption Perception Index (CPI). Pertama, pada 2020 skor Indonesia merosot 3 poin dari 40 ke 37; kedua, pada 2022 skor Indonesia merosot lagi 4 poin dari 38 ke 34 (Transparency International, 2023). Praktis, hanya dalam tiga tahun periode kedua masa pemerintahan Presiden Jokowi Indonesia telah kehilangan 6 poin CPI, menjadikan ini kemerosotan terparah sepanjang 20 tahun terakhir.
Membaca laporan terbaru CPI menunjukkan bahwa sejumlah narasi pemberantasan korupsi periode ini –seperti revisi UU KPK yang digadang-gadang dapat memperkuat kelembagaan KPK, pemberantasan korupsi yang akan lebih bertumpu pada pencegahan daripada penindakan, dan seterusnya– sebenarnya tidak lebih dari sekadar simulakra alias realitas semu. Tidak satu jengkal pun pada periode ini situasi pemberantasan korupsi menjadi lebih baik.
Jika saat ini prioritas Presiden adalah meninggalkan legacy, paling tidak dari sisi pemberantasan korupsi, tampak lebih meyakinkan bahwa yang akan tertinggal justru adalah catatan-catatan kegagalan.
Kutukan Periode Kedua
Dalam soal pemberantasan korupsi, Presiden Jokowi seolah tengah menghadapi “kutukan periode kedua”, sebuah terminologi yang dalam wacana politik Amerika Serikat menggambarkan kecenderungan kekacauan yang dihadapi oleh hampir tiap presiden di periode keduanya. Perbedaannya, jika dalam konteks politik Amerika periode kedua presiden cenderung ditandai oleh sikap parlemen yang lebih kritis, dalam kasus Presiden Jokowi yang terjadi adalah sebaliknya.
Presiden Jokowi memiliki dukungan yang surplus dari DPR (lebih dari 80% proporsi kursi DPR dikuasai partai politik pendukung Presiden), hanya saja dukungan itu tidak pernah relevan dalam agenda pemberantasan korupsi –kalau bukan malah menyanderanya.
Terkecuali Presiden Jokowi memiliki agenda tersendiri di balik melemahnya pemberantasan korupsi, satu penjelasan yang mungkin untuk membahasakan ulang “kutukan” pada periode ini adalah simultanitas dua hal. Pertama, terlalu kuat atau tak terkendalinya pengaruh “penunggang gelap” dalam politik hukum pemberantasan korupsi; kedua, terlalu lebarnya jarak yang telah diambil Presiden Jokowi dari suara-suara kritis masyarakat sipil.
Pasalnya, melemahnya pemberantasan korupsi telah menjadi tema utama dari setiap peringatan yang disuarakan oleh masyarakat sipil, namun alih-alih diindahkan peringatan ini justru kerap berbalas represi. Puncaknya, pada 2019 lima orang pemuda bahkan harus meregang nyawa sebagai harga menyuarakan #ReformasiDikorupsi.
Simultanitas dua hal di atas, jika diambil sebagai penjelasan atas “kutukan periode kedua” yang mengungkung agenda pemberantasan korupsi Presiden, seharusnya disikapi dengan upaya membalik keadaan.
Sudah saatnya Presiden menjauh dari dikte para penunggang gelap kekuasaan dan dengan “tanpa beban” –kata kunci yang digunakan Presiden Jokowi untuk periode keduanya– mulai berfokus pada tuntutan-tuntutan nyata dari masyarakat. Tanpa berupaya membalik keadaan, jangankan meninggalkan legacy pemberantasan korupsi, memimpikannya pun akan menjadi teramat ambisius bagi Presiden.
Sisa Waktu
Tidak banyak waktu dan kesempatan tersisa bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan bahwa pada periode keduanya pemberantasan korupsi bukan sekadar lip service. Sebentar lagi Presiden akan memasuki masa lame duck, di mana agenda prioritas mungkin bukan lagi milik petahana, melainkan milik presiden terpilih periode berikutnya.
Di tengah waktu dan kesempatan yang kian menyempit, setidaknya masih ada dua kontribusi positif yang bisa Presiden berikan untuk penguatan pemberantasan korupsi. Pertama, memastikan proses pengisian pimpinan KPK periode 2023-2027 dijalankan secara berintegritas. Kedua, mendorong pengundangan sejumlah RUU yang dapat mempersulit koruptor, antara lain RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Terkait pengisian pimpinan KPK, Presiden harus memulai dengan membentuk panitia seleksi (pansel) yang terdiri dari mereka yang bukan hanya memenuhi kualifikasi kepakaran, melainkan juga memiliki rekam jejak anti korupsi. Pansel tidak boleh diisi oleh orang-orang yang lemah integritasnya, yang sudi meloloskan calon-calon pimpinan problematik. Dengan begitu diharapkan proses pengisian tidak terjebak untuk memilih “the lesser evil”, melainkan sebaliknya, dapat berfokus untuk menemukan “the greater good”.
Sementara terkait pengundangan sejumlah RUU yang dapat mempersulit koruptor seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, Presiden harus menunjukkan kepemimpinannya atas partai-partai politik pendukungnya di DPR. Presiden harus menunjukkan keinginan kuatnya untuk menggolkan dua RUU ini sebagaimana Presiden dulu melakukannya untuk RUU Ibu Kota Negara atau RUU Cipta Lapangan Kerja (keduanya disahkan hanya dalam hitungan bulan sejak diusulkan pemerintah).
Mengingat saat ini kedua RUU telah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 –RUU Perampasan Aset bahkan ada dalam Prolegnas Prioritas 2023– maka upaya Presiden mendorong pengundangan kedua RUU tersebut seharusnya menjadi lebih mudah. Sekali lagi, keinginan kuat Presiden adalah prasyaratnya. Jika Presiden lagi-lagi menunjukkan kesediaan berkompromi, maka hampir pasti peluang ini terlewatkan.
Sahel Muzzammil, Peneliti Transparency International Indonesia
Artikel ini telah di terbitkan di detik.com edisi 9 Maret 2023