Kultur birokrasi di Indonesia terus menampilkan kelindan mesra antara kepentingan ekonomi dan politik, tidak terkecuali bagi anak-anak muda di dalamnya. Tiga staf khusus muda Presiden, CEO Amartha Andi Taufan, CEO Ruang Guru Belva Devara dan CEO Papua Muda Inspiratif Billy Mambasar, belakangan dikritik lantaran diduga menggunakan kewenangannya di dalam proyek-proyek pemerintah. Padahal segala potensi yang dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan sudah sepatutnya dihindari oleh pejabat publik.
Anak-anak muda rentan terlibat korupsi karena sebagaimana kelompok sosial lainnya, juga inkonsisten dalam menerapkan integritas (Survei Integritas Anak Muda, Transparency International Indonesia, 2013). Permisivitas anak muda terhadap korupsi skala kecil telah dimulai sejak usia remaja dan kemudian berkembang menjadi normalisasi pada korupsi pada skala besar. Figur-figur pejabat publik muda seperti Zumi Zola, Wa Ode Nurhayati, Dendi Prasetia, merupakan tiga dari 82 milenial yang diproses KPK pada kurun waktu 10 tahun terakhir.
Disisi lain, sebesar 70 persen responden anak muda di Asia Pasifik terpaksa melakukan suap, karena tidak tersedia pilihan lain dalam mengakses layanan dasar seperti jaminan ketenagakerjaan, layanan kesehatan dan pendidikan serta agar bisnis tetap berjalan (Global Corruption Baromoter, Transparency International, 2017). Studi-studi anak muda dan korupsi yang terbatas ini menilai bahwa anak muda terutama mereka yang berada pada situasi kerentanan sosial dan kemiskinan struktural akan sangat sulit keluar dari “lingkaran setan korupsi” karena telah terjebak di dalam subkultur yang korup, layaknya birokrasi dan pelayanan publik.
Partisipasi anak muda di Indonesia sendiri semakin dianggap strategis dalam mengontrol wacana antikorupsi, seperti yang terlihat pada gerakan #ReformasiDikorupsi. Survei Kompas (Februari, 2020) menggambarkan bahwa pelajar (41,5%) dan organisasi pemuda (12,1%) merupakan gerakan masyarakat sipil paling efektif di Indonesia saat ini salah satunya karena signifikan secara jumlah dan memiliki keahlian teknologi yang cakap. Sayangnya, partisipasi anak muda di dalam wacana antikorupsi ini masih terhalang oleh elitisme politik dan asimetri informasi.
Transparency International Indonesia berinisiatif menyelenggarakan diskusi “Maju Kena Mundur Kena: Integritas Anak Muda Ditengah Kultur Korup”. Diskusi ini merupakan upaya strategis guna menempatkan posisi anak muda secara lebih proporsional di dalam studi dan wacana anti korupsi di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Pembicara 1). Dr. Ariane Utomo Pengajar di School of Geography, The University of Melbourne Australia, 2). Christie Afriani Fungsional PJKAKI, Komisi Pemberantasan Korupsi, 3). Coory Yohana Pakpahan Koordinator Divisi Youth Studies Pamflet dan 4). Alvin Nicola Peneliti Transparency International Indonesia
Download Materi Diskusi di link berikut:
Presentasi TII
Presentasi KPK
Presentasi Pamflet
Presentasi Ariane Utomo