Memperkuat Kembali Pemberantasan Korupsi

Skor Indek Persepsi Korupsi Indonesia turun drastis karena melemahnya pengawasan terhadap pemegang kekuasaan. Sudah saatnya Presiden memimpin langsung pemberantasan korupsi terutama dimulai dari lingkar inti kekuasaan.

Laporan Indeks Persepsi Korupsi 2022 yang dibuat Transparency International menunjukkan penurunan tajam. Skor Indonesia turun drastis, dari 38 pada peringkat ke-96 pada 2021 menjadi 34 pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei.

Sebelumnya, skor Indonesia juga turun dari 40, peringkat ke-85 pada 2019, menjadi skor 37, peringkat ke-102 pada 2020. Skor 34 tersebut sama dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 2014 saat Joko Widodo terpilih sebagai presiden.

Jika dilihat lebih detail, skor IPK turun pada komponen yang mengukur risiko berbisnis di Indonesia. Kontradiktif dengan semangat UU Cipta Kerja yang hendak mempermudah investasi di Indonesia, skor IPK 2022 justru mencatat naiknya risiko korupsi dalam berbisnis di Indonesia. Jebloknya skor ini merupakan peringatan kegagalan strategi pemberantasan korupsi pemerintah

Secara umum, skor IPK Indonesia turun drastis karena melemahnya pengawasan terhadap pemegang kekuasaan.

Secara umum, skor IPK Indonesia turun drastis karena melemahnya pengawasan terhadap pemegang kekuasaan. IPK melihat kemunduran demokrasi, terutama pelemahan mekanisme akuntabilitas vertikal dan horizontal meningkatkan korupsi di Indonesia.

Pemberantasan korupsi melalui pencegahan, reformasi birokrasi, dan digitalisasi pelayanan tidak cukup untuk mengendalikan korupsi di Indonesia. Penegakan hukum dan pengawasan yang kuat, baik horizontal oleh lembaga-lembaga negara yang lain maupun pengawasan vertikal oleh publik, sangat dibutuhkan untuk memberantas korupsi di Indonesia.

Pelemahan akuntabilitas

Pelemahan akuntabilitas horizontal bisa dilihat pada pelemahan lembaga-lembaga negara yang berfungsi mengawasi penyelenggara negara, antara lain revisi UU KPK dan pemilihan komisioner KPK yang tidak kredibel pada 2019.

Pelemahan terus dilakukan melalui tes wawasan kebangsaan yang kontroversial karena menyingkirkan staf terbaik KPK. Akibat kebijakan itu, jumlah perkara yang ditangani KPK mengalami penurunan secara kuantitatif ataupun kualitatif.

Pelemahan kelembagaan akuntabilitas horizontal juga dilakukan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui proses yang kilat, tertutup, dan minim partisipasi, UU MK direvisi. Berbeda dengan KPK, revisi UU MK dilakukan untuk mengooptasi hakim-hakim MK dengan perpanjangan masa jabatan. Lebih parah lagi, pelemahan dilanjutkan oleh DPR dengan mencopot hakim MK karena banyak membatalkan UU yang diproduksi DPR.

Kebijakan itu berdampak pada independensi MK. Hakim MK terancam dicopot jika membatalkan UU. Pada akhirnya, kooptasi dan pencopotan hakim MK turut melemahkan mekanisme pengawasan horizontal.

Pengawasan parlemen juga semakin melemah saat pandemi Covid-19, eksekutif mendapatkan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan, seperti membuat APBN.

Pada saat yang sama, pengawasan oleh lembaga legislatif juga tidak efektif. Selain karena berbagai persoalan di dalam parpol, koalisi pendukung pemerintah juga jauh lebih besar. Oposisi di parlemen tak lagi efektif karena hanya menyisakan PKS dan Demokrat.

Pengawasan parlemen juga semakin melemah saat pandemi Covid-19, eksekutif mendapatkan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan, seperti membuat APBN. Pengawasan legislatif yang tidak efektif membuat kebijakan strategis pemerintah mendapat dukungan penuh dari DPR.

Mekanisme akuntabilitas vertikal atau pengawasan oleh publik juga mengalami pelemahan. Praktik legislasi yang dilakukan untuk merevisi UU KPK kemudian menjadi model bagi pembuatan UU. Regulasi yang mengatur hajat hidup semua warga negara dibuat secara tertutup dan minim partisipasi. Draf RUU hanya dibuka pada saat dimulainya pembahasan di DPR sehingga mengurangi partisipasi publik.

Pengawasan publik juga dilemahkan melalui pendengung di media sosial. Tidak hanya memberikan dukungan penuh pada apa pun kebijakan pemerintah, para pendengung juga melakukan delegitimasi terhadap kritik dan protes aktivis ataupun mereka yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah.

Selain itu, berbagai peretasan saluran komunikasi juga dilakukan tanpa ada investigasi oleh penegak hukum. Pada saat yang sama, media massa sedang menghadapi disrupsi teknologi dan tengah berjuang keras untuk mempertahankan bisnisnya. Kondisi ini melemahkan akuntabilitas vertikal.

Menggunakan berbagai survei global sebagai sumber, IPK tidak hanya mengukur korupsi dalam bentuk suap atau penyalahgunaan anggaran. IPK juga melihat korupsi dalam bentuk lain, seperti konflik kepentingan dan pencaplokan negara (state captured).

Penguatan pemberantasan korupsi
Meskipun IPK adalah indeks dari berbagai survei lain, IPK mampu memberikan petunjuk dan indikasi bagi pemerintah dan juga publik untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan pemberantasan korupsi.

Guna mencegah keterpurukan dan merajalelanya korupsi di Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah penting untuk memperkuat kembali pengawasan guna memberantas korupsi. Pertama, memperkuat kembali pengawasan baik oleh lembaga negara maupun oleh publik. Akuntabilitas horizontal bisa dilakukan dengan menghentikan intervensi dan pelemahan lembaga-lembaga negara, seperti KPK dan MK.

Pilih pemimpin KPK yang kredibel dan berintegritas. Kebijakan yang menggerus independensi hakim, seperti pencopotan hakim MK, harus dihentikan. Sementara akuntabilitas vertikal bisa diperkuat dengan membuka kembali ruang partisipasi seluas-luasnya dalam perumusan kebijakan publik dan menghentikan represi.

Kedua, Presiden harus mengatur dengan tegas konflik kepentingan, terutama yang dilakukan di pusat kekuasaan dan melibatkan pembantu utamanya. Kebijakan publik yang dibuat harus bersih dari konflik kepentingan. Kita semua tentu berharap Presiden mewariskan tidak hanya infrastruktur yang bermanfaat, tetapi juga pemerintahan yang bersih dari korupsi dan segala bentuk kolusi dan nepotisme.

Terakhir, sudah saatnya Presiden memimpin langsung pemberantasan korupsi karena salah satu sumber utama korupsi justru berasal dari lingkar inti kekuasaan.

J. Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal TI Indonesia

Artikel ini telah terbit di harian Kompas edisi 07 Februari 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *