Pengembangan Sistem Pencegahan dan Penanganan Konflik Kepentingan (PPKK)
di Perguruan Tinggi
Oleh Dadang Trisasongko
Korupsi merupakan salah satu akar permasalahan pembangunan di Indonesia. Penyebab terjadinya perilaku korupsi cukup banyak, tetapi yang pasti yang menjadi sumber utama yang terus mendorong terjadinya adalah masih maraknya konflik kepentingan oleh penyelenggara negara (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2009 : 2). Sementara itu, di sisi lain tercatat bahwa pengaturan dan pengendalian konflik kepentingan masih lemah. Maraknya konflik kepentingan terjadi dikarenakan sifatnya yang intrinsik secara personal dan kelembagaan sehingga sangat potensial (laten) memicu korupsi.
1. Konsep Dasar Konflik Kepentingan
Secara konseptual, definisi mengenai konflik kepentingan dibeberapa literatur hampir sama. Misalnya, definisi konflik kepentingan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah situasi dimana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Definisi hampir mirip dirumuskan oleh Council of Europe (2000), yang menyebutkan “konflik kepentingan adalah potensi yang jika tidak dikelola secara transparan dan akuntabel akan mendorong pejabat publik mengambil keputusan yang tidak berdasar pada kepentingan publik”. Sedangkan menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), konflik kepentingan adalah:
“A conflict of interest involves a conflict between the public duty and the private interest of a public official, in which the official’s private-capacity interest could improperly influence the performance of their official duties and responsibilities.”2
Dari sisi peraturan, definisi konflik kepentingan menurut Pasal 1 Ayat 14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, adalah kondisi Pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Dari ketiga definisi di atas, dapat ditarik garis besar bahwa sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) prasyarat terjadinya konflik kepentingan, yakni;
(a) ada aktor (pihak pemerintah atau pihak swasta),
(b) ada wewenang atau otoritas yang dimiliki, dan
(c) ada keputusan atau tindakan yang dilakukan.
Dikarenakan konflik kepentingan pasti melekat pada aktor maka tentu saja langsung merujuk pada kompetensi dan integritas secara personal. Perwujudan kompetensi dan integritas seorang pejabat selalu berada didalam kerangka “etika pejabat” baik diranah privat maupun diranah publik. Di sisi lain, hadir etika publik yang merupakan refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.
2. Kaitan Konflik Kepentingan dengan Korupsi
Konflik kepentingan dapat mendorong seorang Pejabat mengalami kondisi dimana pertimbangan pribadi mempengaruhi, mendominasi, bahkan menyingkirkan profesionalitasnya dalam mengemban tugas. Pertimbangan pribadi tersebut dapat berasal dari kepentingan pribadi sendiri, kerabat atau kelompok yang kemudian mendesak atau mereduksi gagasan-gagasannya sehingga keputusannya menyimpang dan berimplikasi buruk pada pelayanannya kepada publik. Pejabat tersebut merujuk pada pegawai yang bekerja pada sektor pemerintahan.
Dalam konteks tersebut, terdapat hubungan erat antara perilaku konflik kepentingan dengan terjadinya korupsi. OECD dengan tegas menyatakan, yakni; “Conflict of interest occurs when an individual or a corporation (either private or governmental) is in a position to exploit his or their own professional or official capacity in some way for personal or corporate benefit”.
Dengan kata lain, konflik kepentingan muncul ketika seseorang dapat menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau korporasi. Sementara itu, World Bank menyatakan bahwa korupsi adalah “the abuse of public office for privat gain”. Kedua pengertian ini secara jelas menunjukkan adanya kaitan erat antara konflik kepentingan dan korupsi. Konflik kepentingan tidak selalu mengakibatkan korupsi, namun korupsi selalu berawal dari konflik kepentingan.
Dampak terjadinya konflik kepentingan adalah maraknya korupsi yang dilakukan oleh para pegawai pemerintahan (legilatif, eksekutif dan judisial). Menurut Laporan Global Corruption Barometer (Transparency International, 2017), dalam konteks Indonesia, korupsi masih meningkat, dengan lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPR, DPRD, birokrasi, sektor pajak dan polisi dipersepsikan sebagai lembaga yang korup. Jika korupsi juga diperspesikan sebagai tindakan penyalagunaan kewenangan di dunia bisnis, maka praktik konflik kepentingan yang mengakar juga mendorong terjadinya korupsi di sektor swasta.
3. Perguruan tinggi, korupsi, dan konflik kepentingan
TII melihat pentingnya peran perguruan tinggi dalam agenda nasional pemberantasan korupsi. Alasannya sederhana, bukan saja karena meningkatnya jumlah insiden korupsi di perguruan tinggi dan banyaknya alumni pendidikan tinggi yang terlibat korupsi. Lebih jauh dari itu, perguruan tinggi memiliki peran sentral dalam pengembangan nilai-nilai dan menjadi bagian dari rujukan pengetahuan bagi masayrakat. Oleh karena itu, sekaranglah saat yang paling tepat untuk membantu perguruan tinggi dalam membenahi tata kelolanya dan mengajak mereka aktif untuk mempromosikan nilai dan pengetahuan anti korupsi kepada masyarakat luas. Suara perguruan tinggi akan lebih jernih dan nyaring dalam mempromosikan nilai dan pengetahuan anti korupsi bila mereka sendiri telah mempraktikkannya di dalam tata kelola internalnya.
Pada akhir tahun 2016, TII menyelenggarakan riset need assessment mengenai konflik kepentingan di dua perguruan tinggi di Indonesi, satu perguruan tinggi negeri dan satu perguruan tinggi swasta. Dari riset tersebut, diketahui bahwa beberapa arena atau proses tata kelola yang rawan terjadi konflik kepentingan di perguruan tinggi. Diantaranya adalah :
1. Proses penerimaan mahasiswa baru;
2. Pengelolaan anggaran perguruan tinggi (pendapatan, keuangan dan belanja);
3. Rekrutmen tenaga kepegawaian (dosen dan tenaga kependidikan);
4. Pengadaan barang dan jasa;
5. Pengelolaan/Penatausahaan Aset/BMN;
6. Kebijakan terkait perjalanan dinas;
7. Pengunaan jabatan/keahlian di luar kampus, misalnya menjadi saksi ahli atau konsultan;
8. Penelitian dan pelayanan masyarakat;
9. Pemilihan/pengangkatan pejabat perguruan tinggi;
10. Proses pengawasan kinerja internal.
Sedangkan sumber konflik kepentingan dapat berasal dari hubungan saudara atau keluarga (pertalian sedarah horizontal-vertikal), pertalian perkawanan (termasuk rekan sejawat), organisasi (termasuk alumni) dan pimpinan organisasi/perguruan tinggi. Diketahui pula bahwa kedua perguruan tinggi yang diriset belum memiliki unit gratifikasi di lembaganya.
4. Kerangka hukum penanganan konflik kepentingan pada perguruan tinggi
Permenristekdikti 58/2016 sangat mirip dengan PermenPAN 3/2012 dan Peraturan Sekjend DPR 8/2015, mulai konsedirans, definisi konflik kepentingan, bentuk konflik kepentingan, faktor penyebab, metode pencegahan dan penindakan konflik kepentingan. Permenristekdikti 58/2016 tidak menunjukkan kekhasan konflik kepentingan pada sektor pendidikan, yang berbeda dengan kementrian kesehatan, kesekjenan DPR, dll. Berdasarkan hasil need assessment yang dilakukan oleh TII, kekhasan konflik kepentingan pada pendidikan tinggi, salah satunya, terletak pada area-area rawan konflik kepentingan, misalnya pengadaan barang/jasa, rekrutmen mahasiswa, rekrutmen pegawai, keterlibatan menjadi ahli.
Penunjukan area rawan konflik kepentingan tersebut akan berdampak pada metode penanganan yang berbeda-beda. Hal ini dapat kita lihat dari daftar pertanyaan yang diberikan OECD untuk mendeteksi potensi konflik kepentingan di mana setiap area memiliki pertanyaan yang berbeda. Tampaknya Permenristekdikti 58/2016 juga tidak bertolak dari kompleksitas persoalan korupsi pada dunia pendidikan tinggi, yang sangat mungkin diawali atau diliputi oleh konflik kepentingan. Hal ini dapat dilihat dari sistem pelaporan berjenjang dari bawah ke atas, seolah-olah semakin tinggi jabatannya maka semakin bersih orangnya, padahal kasus-kasus korupsi yang mengemuka dapat kita lihat bahwa konflik kepentingan justru dari atas.
Perumusan definisi konflik kepentingan, yang merujuk pada ‘kondisi’ berpotensi mengecoh pemahaman terhadap konsep konflik kepentingan, karena seolah-olah sumber konflik kepentingan berasal dari luar pejabat universitas. Akibatnya solusinya juga tergantung faktor-faktor di luar diri pejabat tersebut.
5. Strategi Pencegahan dan pengendalian Konflik Kepentingan
Beberapa langkah dalam pelaksanaan program PPKK yang dilakukan TII di universitas yang ada di Indonesia, adalah:
1. Need Assessment
Need assessment dilakukan untuk mempetakan pola dan potensi praktek konflik kepentingan yang terjadi di universitas.
2. Pembuatan Mekanisme PPKK
Dari hasil need assessment yang diperoleh, dibentuk strategi pencegahan dan pengendaliannya. Pembuatan mekanisme PPKK dipayungi oleh peraturan rektor yang dibuat untuk mengatur dan memilih direktorat yang akan dijadikan program percontohan, sebelum diberlakukan untuk semua direktorat yang ada di lingkungan universitas. Selain membuat SOP dan mekanisme penanganan dan pengendalian praktek konflik kepentingan, sistem ini juga memasukan mekanisme pengaduan dan penanganan konflik yang berasal dari civitas akademika. Civitas akademika dapat memberikan laporan melalui saluran ini mengenai praktek konflik kepentingan yang terjadi.
3. Pembentukan tim pengelola PPKK.
Tim pengelola PPKK ini adalah tim adhoc yang dibentuk untuk ujicoba pelaksanaan program. Karena sifatnya yang cukup krusial, yaitu melakukan analisa dan penelusuran terhadap pengaduan yang masuk dari civitas akademika terhadap pengelolaan manajemen kampus, tim ini memberikan rekomendasi dan bertanggungjawab langsung kepada rektor.
4. Evaluasi.
Evaluasi terhadap sistem PPKK dilakukan secara periodik untuk melihat titik-titik kritis dan kebocoran dalam sistem, untuk kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan untuk penyempurnaan sistem.
Berdasarkan pembelajaran dalam implementasi program pemberantasan dan pengedalian konflik kepentingan di perguruan tinggi yang di lakukan oleh TII, setidaknya ada lima point penting dalam upaya pengendalian dan penanganan konflik kepentingan dalam sebuah institusi, yaitu:
1. Adanya Komitmen Pimpinan.
2. Adanya regulasi/payung hukum yang dibentuk untuk pelaksanaan program
3. Pembentukan sistem dan tim pengelola pengendalian dan penanganan konflik kepentingan
4. Adanya mekanisme pengaduan dan penanganan konflik yang efektif
5. Partisipasi publik/civitas akademika yang efektif
Dampak positif yang terjadi di Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai pilot proyek pelaksanaan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, pemeriksaan BPK tahun 2017 tidak ditemukan temuan/masalah terkait dokumen pengadaan dan proses penentuan pemenang pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan, dan evaluasi yang dilakukan PLP (Pusat Layanan Pengadaan) atas perencanaan dan pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa, Diperkirakan terjadi efisiensi anggaran proyek sekitar Rp 30 milyar tahun 2017.
Perubahan yang terjadi pada Direktorat Sumber Daya Manusia juga terjadi cukup signifikan. Pihak Universitas sudah mulai memperhatikan resiko praktek Konflik Kepentingan Pemberian Saksi Ahli dari civitas akademika yang berasal dari UNAIR, serta manajemen resiko konflik kepentingan dalam hal melakukan penelitian dengan pihak luar.