Seperti diketahui pada akhir September lalu, paripurna DPR telah menyepakati usulan Komisi III DPR RI untuk memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto. Dalam waktu bersamaan, lembaga legislatif secara serampangan dan melanggar hukum mengangkat Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Guntur Hamzah, sebagai pengganti Aswanto. Celakanya, niat buruk DPR untuk mengintervensi MK dibenarkan dan diikuti oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan melantik Guntur pada hari ini di Istana Negara.
Pemberhentian Aswanto tentu inkonstitusional, sebab tak terdapat satu pun ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada DPR RI untuk memberhentikan Hakim Konstitusi. Selain itu, pemberhentian di tengah jalan Hakim Konstitusi pun tidak dibenarkan tanpa ada pemenuhan syarat-syarat yang diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jadi, berpijak pada fakta itu, maka semakin jelas bahwa DPR dan Presiden sengaja untuk melupakan aturan-aturan tersebut untuk memuluskan niat jahat mengintervensi MK.
Patut diperhatikan, regulasi tidak memberikan keleluasaan DPR untuk menggunakan logika ‘ownership’ dalam hubungannya dengan MK. Artinya, DPR tidak dapat mengganti Hakim Konstitusi sebelum masa jabatannya berakhir, walaupun hakim tersebut merupakan usulan DPR. Bila dipaksakan, tindakan DPR yang sewenang-wenang tersebut akan berdampak pada prinsip imparsialitas dan kemandirian MK. Hal ini juga akan berujung pada melemahnya komitmen Indonesia terhadap konsep negara hukum yang telah ditegaskan pasca reformasi. Bukan cuma itu, proses pemberhentian yang berujung pada pengangkatan Hakim MK ini harus dinyatakan sebagai pelanggaran konstitusi.
Selain itu, MK secara kelembagaan juga tidak bersikap secara tegas dan seolah membiarkan keserampangan ini terjadi. Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah, yang juga menjadi calon pengganti Hakim Aswanto, tidak terlihat menolak usulan DPR. Padahal, baik hakim-hakim MK maupun Sekjen MK, merupakan negarawan dan ahli hukum tata negara yang tentu memahami urgensi imparsialitas MK. Secara kelembagaan, seharusnya MK dapat bersikap tegas untuk menentang keputusan serampangan yang dilakukan DPR dan Presiden. Mengingat nilai konstitusi serta masa depan MK sebagai lembaga negara sedang dipertaruhkan, disini menjadi amat dibutuhkan progresivitas MK dalam menjalankan perannya selaku guardian of the constitution. Terlepas ada atau tidaknya kewenangan tertulis untuk menentang keputusan DPR dan Presiden, perlu ada penyikapan tegas dari MK, terkhusus dari Anwar Usman selaku Ketua MK. Ini menjadi penting untuk dilakukan agar kekhawatiran sejumlah pihak terkait pernikahan Anwar Usman dengan adik Presiden Jokowi dapat menghadirkan Conflict of Interest (CoI) dapat terbantahkan. Jika tidak ada penyikapan sampai nanti pelantikan Guntur, maka indikasi CoI antara MK dengan Presiden semakin kental terlihat oleh masyarakat.
Terlebih lagi, urgensi bagi MK agar dapat bertindak progresif menentang penyerangan inkonstitusional terhadap independensi MK dan tidak berlindung dibalik kewenangan tekstual undang-undang memiliki signifikansi historis. Perlu diingat bagaimana Supreme Court Amerika Serikat melalui putusan Marbury v. Madison pada tahun 1803 memutus bahwa mereka dapat memiliki kewenangan untuk menguji dan membatalkan undang-undang yang telah melanggar konstitusi. Hal ini dilakukan atas dasar progresivitas hakim demi melindungi spirit konstitusi, tanpa ada kewenangan eksplisit dalam undang-undang untuk melakukan hal tersebut.
Di luar itu, ada dua hal yang juga bisa disorot dari sikap Presiden menanggapi permasalahan pemberhentian Aswanto dari Hakim Konstitusi. Pertama, Presiden tidak berani berhadapan dengan politisi DPR RI dan terlihat penuh dengan sikap kompromistis politik. Dengan kewenangan menerbitkan Keputusan Presiden, baik pemberhentian maupun pengangkatan Hakim Konstitusi, mestinya usulan serampangan DPR dapat ditolak, bukan malah diakomodir. Kedua, Presiden kembali menunjukkan ingkar janji kepada masyarakat terkait polemik pemberhentian Aswanto. Betapa tidak, pada tanggal 5 Oktober 2022 lalu, Presiden sempat menyatakan keberpihakannya terhadap peraturan perundang-undangan menanggapi usulan DPR tersebut. Dengan argumentasi hukum yang diulas pada bagian sebelumnya, maka semakin terbukti Presiden tidak konsisten dengan ucapannya karena justru membenarkan seluruh langkah DPR.
Untuk menjadi perhatian, kami juga telah melaporkan persoalan ini kepada sejumlah entitas pengawas, seperti Mahkamah Kehormatan Dewan dan Ombudsman. Alih-alih ditangani dan ditindaklanjuti, laporan dugaan pelanggaran etik Ketua Komisi III DPR RI dan tindakan maladministrasi Pimpinan DPR malah dibiarkan begitu saja. Jadi, lengkap sudah pembiaran pelanggaran konstitusi ini dipertontonkan sejumlah lembaga negara.
Berdasarkan uraian di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut:
- Menyesalkan langkah-langkah DPR RI yang tidak menghormati peraturan perundang-undangan dalam memberhentikan Hakim MK yang belum habis masa jabatannya
- Mendesak Presiden agar membatalkan rencana pelantikan Guntur Hamzah sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi karena melalui proses yang melanggar hukum
- Meminta Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan serta Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi untuk memberikan sikap tegas menentang keputusan inkonstitusional DPR yang memecat Hakim Aswanto dan Presiden yang melantik Guntur Hamzah
- Mendorong Dewan Etik Mahkamah Konstitusi untuk lebih bersikap tegas dan aktif dalam penyelesaian permasalahan internal Mahkamah Konstitusi
- Mendorong Ombudsman RI untuk bersikap lebih progresif dalam penyelesaian laporan yang diadukan oleh masyarakat
Jakarta, 23 November 2022
Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan
ICW, Perludem, TI Indonesia, SETARA, Pusako UNAND, dan Pattiro Semarang
Nara hubung: Sahel Muzzammil – TI Indonesia (smuzzammil@transparansi.id)