
Mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar mengejutkan banyak pihak dan memicu berbagai spekulasi di kalangan publik. Salah satu dugaan yang paling santer beredar adalah adanya “cawe-cawe” atau campur tangan Presiden Joko Widodo dalam keputusan ini, dengan tujuan untuk merebut kendali Partai Golkar sebagai kendaraan politik setelah ia lengser dari kursi presiden. Publik melihat ini sebagai upaya Jokowi untuk memperkuat posisinya dan memastikan pengaruhnya tetap kuat di panggung politik nasional pasca pensiun.
Namun, di balik spekulasi tersebut, ada alasan lain yang mungkin menjadi penyebab sebenarnya dari pengunduran diri Airlangga. Kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tampaknya menjadi faktor yang lebih krusial. Airlangga, yang memegang peran strategis sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Dewan Pengarah BPDPKS, berada di tengah pusaran kasus ini.
Sejak BPDPKS dibentuk pada 2015, lembaga ini seharusnya menjadi alat untuk mendukung penelitian, pengembangan, dan peremajaan sawit rakyat. Namun, kenyataannya, dana yang terkumpul lebih banyak dikucurkan untuk subsidi biodiesel, sebuah program yang sebagian besar keuntungannya dinikmati oleh segelintir taipan sawit. Perbandingan anggaran yang sangat timpang dengan subsidi biodiesel menghabiskan 97,09% anggaran BPDPKS. Hal ini tentu sudah cukup menjadi salah satu indikator utama bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan dana sawit ini.
Airlangga Hartarto, sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, memegang peran strategis dalam pengelolaan BPDPKS. Sebagai Ketua Komite Dewan Pengarah BPDPKS, Airlangga berada di posisi yang memungkinkan dirinya untuk mempengaruhi kebijakan dan distribusi dana sawit. Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika namanya muncul dalam penyelidikan kasus korupsi dana sawit yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
Kajian yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) menemukan bahwa korporasi sawit dipenuhi oleh konflik kepentingan yang disebabkan oleh banyaknya Politically Exposed Persons (PEP’s) di jajaran pimpinan perusahaan sawit. PEP’s ini, yang memiliki latar belakang sebagai pejabat pemerintahan atau memiliki hubungan erat dengan politik, diduga menggunakan pengaruh mereka untuk mengamankan kebijakan yang menguntungkan perusahaan sawit tertentu.
Kepentingan Pribadi/Kelompok
Dalam kajiannya TII menemukan bahwa dari 50 perusahaan sawit terbesar di Indonesia, terdapat sekitar 80 PEP’s yang tersebar di berbagai kategori, termasuk birokrat, oligarki, aparat penegak hukum, dan militer. Perusahaan-perusahaan besar seperti Grup Wilmar dan Grup Sinar Mas, yang mendapatkan porsi besar dari subsidi biodiesel, diketahui memiliki banyak PEP’s di dalamnya. Keberadaan PEP’s ini memperkuat dugaan bahwa kebijakan BPDPKS yang disetujui oleh Airlangga patut diduga dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Airlangga Hartarto, sebagai pimpinan Komite Pengarah BPDPKS, berada di pusat pengambilan keputusan yang menentukan alokasi dana sawit. Posisi ini menempatkannya dalam situasi yang rentan terhadap konflik kepentingan, terutama mengingat bahwa banyak PEP’s yang terlibat dalam perusahaan sawit strategis. Dugaan bahwa subsidi biodiesel lebih banyak menguntungkan segelintir perusahaan besar yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah semakin memperkuat spekulasi bahwa kebijakan yang diambil oleh Airlangga patut diduga tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik.
Pada Juli 2023, Airlangga dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus ini. Meskipun fokus utama pemeriksaan adalah kasus dugaan korupsi minyak goreng yang juga melibatkan BPDPKS, keterkaitannya dengan pengelolaan dana sawit tidak bisa diabaikan. Pemeriksaan ini menambah tekanan politik dan hukum yang sudah dihadapi Airlangga, mengingat posisinya sebagai salah satu pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas kebijakan di sektor sawit.
Spekulasi semakin memanas ketika Airlangga tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar pada 11 Agustus 2024. Banyak pihak menduga bahwa pengunduran diri ini bukan hanya karena alasan internal partai, melainkan bagian dari kesepakatan (deal) politik untuk meredam tekanan hukum yang dihadapinya. Dengan mundur dari posisi strategis di partai, Airlangga mungkin berharap dapat mengurangi sorotan publik dan tekanan dari pihak-pihak yang ingin menuntut kasus ini sampai tuntas.
Dugaan deal politik ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa hingga saat ini, penyidikan kasus BPDPKS masih belum mencapai tahap penetapan tersangka, meskipun sudah ada indikasi kuat adanya kongkalikong bagi-bagi dana sawit. Kejaksaan Agung telah melakukan belasan pemeriksaan dan menggali keterangan dari puluhan saksi, termasuk dari korporasi besar seperti Wilmar dan Sinar Mas, yang selama ini menikmati sebagian besar subsidi biodiesel dari BPDPKS. Namun, proses hukum tampaknya berjalan lambat, menimbulkan kecurigaan bahwa ada intervensi di balik layar untuk melindungi pihak-pihak tertentu.
Tidak bisa dipungkiri, peran Airlangga dalam BPDPKS membuatnya berada di posisi yang sangat rentan dalam kasus ini. Sebagai pimpinan Komite Pengarah, Airlangga memiliki otoritas untuk menentukan arah kebijakan dan alokasi dana sawit. Keterlibatannya dalam proses penentuan subsidi biodiesel yang sangat menguntungkan segelintir perusahaan besar, membuatnya sulit untuk lepas dari tuduhan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Melindungi Diri
Pengunduran diri Airlangga dari posisi Ketua Umum Partai Golkar bisa jadi adalah langkah strategis untuk melindungi dirinya dari dampak hukum yang lebih besar. Dengan tidak lagi memegang posisi politik yang tinggi, Airlangga mungkin berharap dapat mengurangi sorotan dan tekanan politik yang mengarah padanya.
Namun, publik berhak untuk mengetahui kebenaran di balik kasus ini. Penegak hukum harus bekerja keras untuk memastikan bahwa kasus ini tidak hanya berhenti di permukaan, tetapi menyentuh akar masalah dan mengungkap semua pihak yang terlibat, tanpa pandang bulu. Jika benar ada deal politik di balik pengunduran diri Airlangga, ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Kasus korupsi dana sawit ini bukan hanya soal uang negara yang hilang, tetapi juga soal keadilan bagi para petani sawit yang selama ini diabaikan. Mereka yang seharusnya mendapatkan manfaat dari dana sawit justru dibiarkan berjuang sendiri, sementara para taipan sawit menikmati keuntungan besar dari subsidi biodiesel. Pengelolaan BPDPKS yang sarat konflik kepentingan hanya akan terus merugikan negara dan rakyat kecil jika tidak segera dibenahi.
Akhir kata, pengunduran diri Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar mungkin menandai babak baru dalam dinamika politik Indonesia. Namun, ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa keadilan dan kebenaran tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik semata. Kasus korupsi dana sawit ini harus diungkap tuntas, dan semua pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.
Lalu Hendri Bagus peneliti Transparency International Indonesia
Artikel ini telah terbit di Detikcom Edisi 20 Agustus 2024