Narasi Semu Pemberantasan Korupsi

Satu hal penting yang dilupakan dalam narasi pencegahan korupsi selama ini adalah hal yang sangat mendasar, yaitu integritas. Padahal integritas merupakan determinan utama perilaku tidak etis dan tendensi korupsi.

Sulit untuk mengatakan bahwa pemerintah serius dalam pemberantasan korupsi di tengah jebloknya skor Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022 yang diluncurkan oleh Transparency International. Skor Indonesia menurun secara signifikan di angka 34 setelah pada 2021 di angka 38.

Penurunan sebesar empat poin ini menjadi penurunan paling tajam dan menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Hal ini mengindikasikan bahwa agenda pemberantasan korupsi yang dijalankan pemerintah tidak tepat, lambat, dan minim dampak.

Narasi pencegahan korupsi yang digemakan pemerintah terbukti tidak efektif menjadi obat paling mujarab dalam mengatasi penyakit bernama korupsi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) tidak bagus bagi reputasi negara dalam kaitannya dengan investasi.

Pemerintah memilih menguatkan aspek pencegahan daripada aspek penindakan (kaitannya dengan upaya penegakan hukum) dalam pemberantasan korupsi demi investor. Padahal, aspek pencegahan dan aspek penindakan bukanlah dua aspek yang meniadakan satu sama lain. Dua aspek ini harus berjalan beriringan dalam kerja-kerja antikorupsi.

Hal ini justru kuat membuktikan bahwa terdapat kepentingan yang besar dari penguasa atas pengelolaan sumber daya negara dengan menjalankan segala cara melalui berbagai kebijakan yang tidak melibatkan rakyat dan menutup ruang-ruang demokrasi. Apa yang dilakukan pemerintah hari ini tak lebih dari sebuah pertunjukan ”komedi demokrasi” yang dipertontonkan kepada rakyat bahwa pemberantasan korupsi harus sejalan dengan kepentingan penguasa.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/gK5Y16VtkMLbD4-1mvxESmulmAs=/1024x1404/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F08%2F26%2F20200826-H01-ARS-Indeks-Persepsi-Korupsi-mumed_1598459541_png.png

Cacat pikir pencegahan korupsi

Pascarevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), berbagai macam pelemahan terhadap institusi KPK dilakukan. Sejalan dengan itu, narasi pencegahan korupsi dikedepankan oleh pemerintah. Alasan yang paling kuat tentu terkait dengan iklim usaha dan investor.

Membahas lebih jauh mengenai pencegahan korupsi, aspek pencegahan merupakan salah satu orientasi, fokus, dan penekanan dalam menghadapi korupsi. Aspek lainnya ialah penindakan. Aspek pertama ditekankan kepada upaya preventif sebelum tindakan korupsi terjadi, sedangkan aspek kedua ditekankan kepada upaya penegakan hukum setelah tindakan korupsi terjadi. Aspek pencegahan korupsi misalnya pembenahan sistem organisasi/pemerintahan, penataan regulasi, serta optimalisasi transparansi dan akuntabilitas lembaga.

Upaya pemerintah dalam pencegahan korupsi dilaksanakan melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Perpres Stranas PK 2018). Stranas PK dimaksudkan sebagai arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia. Adapun aksi pencegahan korupsi ini mempunyai fokus pada perizinan dan tata niaga, keuangan negara, penegakan hukum, dan reformasi birokrasi.

Perlu untuk diketahui bahwa digitalisasi yang dicanangkan oleh pemerintah masih terpaku pada kerja-kerja administratif dalam pemberantasan korupsi.

Pemerintah kemudian getol menggemakan digitalisasi di setiap lini sebagai senjata utama dalam melawan korupsi. Digitalisasi ini diklaim dapat memberikan harapan yang baik dalam menutup celah potensi korupsi karena meminimalkan pertemuan langsung di antara pihak yang berkepentingan. Penyederhanaan, percepatan, dan transparansi diandalkan untuk perizinan dan kemudahan berusaha serta memangkas birokrasi yang rumit.

Upaya pencegahan ini bukan berarti upaya yang tidak penting. Meski begitu, apakah upaya ini menjawab satu pertanyaan mendasar. Apakah digitalisasi dapat menjawab problem korupsi yang sebenarnya, yaitu benturan kepentingan penguasa? Perlu untuk diketahui bahwa digitalisasi yang dicanangkan oleh pemerintah masih terpaku pada kerja-kerja administratif dalam pemberantasan korupsi.

Padahal, kita mafhum bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, tentu untuk mengatasinya perlu tindakan yang melampaui itu. Jelas bahwa apa yang dilakukan pemerintah hari ini dalam pencegahan korupsi hanyalah untuk memberantas ”korupsi kecil”, tetapi tidak ada kemauan untuk menjalankan visi yang lebih besar dalam agenda pemberantasan korupsi.

Satu hal penting yang kemudian dilupakan dalam narasi pencegahan ini adalah hal yang sangat mendasar, yaitu integritas. Studi Irianto dkk (2015) menemukan bahwa integritas merupakan determinan utama perilaku tidak etis dan tendensi korupsi. Maka dari itu, integritas adalah dasar dari pencegahan korupsi. Meski demikian, bagaimana mungkin kita akan bertumpu pada pencegahan korupsi jika integritas justru diabaikan oleh para elite politik?

Sejumlah fakta menunjukkan bahwa pimpinan KPK adalah pelanggar kode etik, sejumlah menteri dan pejabat negara ditangkap karena kasus korupsi, dan eks narapidana kasus korupsi dapat melenggang kembali ke partai politik. Maka dari itu, narasi pencegahan ini hanyalah narasi semu belaka untuk melanggengkan kepentingan elite politik, elite ekonomi, dan elite penegak hukum yang korup.

Benahi sebelum berakhir

Sekali lagi, penurunan drastis IPK Indonesia pada 2022 menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk serius dalam melakukan pembenahan yang luar biasa di segala lini. Meskipun tentu tidak ada beban politik ke depan bagi Presiden Joko Widodo karena periode ini adalah periode terakhirnya. Meski begitu, kemunduran penegakan hukum dan kaitannya dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi tercatat ada di periode pemerintahannya.

Lebih dari itu, pertanyaan penting untuk Presiden Joko Widodo di tahun-tahun terakhir rezimnya adalah apa legacy yang ditinggalkannya dalam agenda pemberantasan korupsi? Apakah penguatan atau justru hanya pelemahan? Menjadikan dua periode kepemimpinannya dalam agenda pemberantasan korupsi hanyalah semu semata.

Izza Akbarani, Peneliti di Transparency International Indonesia

Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas edisi 18 Februari 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *