Optimalkan penerimaan negara, usut pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak pada ekspor pulp

Jakarta, 3 November 2020—Praktik pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak teridenfikasi terjadi pada ekspor pulp larut Indonesia. Tak tanggung-tanggung, praktek ini ditengarai mengakibatkan kebocoran pajak berpotensi sebanyak Rp 1,9 triliun. Demikian yang terungkap melalui laporan berjudul Mesin Uang Makau: Dugaan Pengalihan Keuntungan dan Kebocoran Pajak pada Ekspor Pulp Indonesia yang diterbitkan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi Forum Pajak Berkeadilan. Laporan tersebut menyoroti ekspor dua produsen pulp larut (dissolving pulp), yang salah satunya merupakan satu produsen pulp terbesar di Indonesia.

Praktik pengalihan keuntungan telah lama menjadi sorotan, termasuk oleh Pemerintah Indonesia. Kementerian Keuangan pada 2015 memperkirakan kehilangan potensi penerimaan negara sebesar US$ 15,6 miliar akibat praktik tersebut di berbagai sektor. Sejumlah media yang tergabung dalam konsorsium IndonesiaLeaks pada Februari 2020 menerbitkan liputan yang menguatkan adanya praktik tersebut pada industri pulp, dengan mengungkap salah-klasifikasi (misclassification) jenis pulp yang diekspor PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Disinyalir, praktik ini dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dengan mengurangi beban pajak.

Beranjak dari pengungkapan itu, Forum Pajak Berkeadilan menganalisis sejumlah dokumen terkait ekspor dan impor pulp di Indonesia, Makau, dan Tiongkok. Hasil analisis menguatkan temuan IndonesiaLeaks tersebut terhadap TPL. Tidak hanya itu, praktik serupa patut diduga dilakukan juga oleh APRIL Grup. Baik TPL maupun APRIL Grup dikendalikan oleh pengendali utama (ultimate beneficial owner) yang sama, yakni Sukanto Tanoto.

“Forum Pajak Berkeadilan kemudian menelisik lebih jauh temuan-temuan tersebut, dan meyakini adanya indikasi bahwa praktik ini berhubungan dengan upaya penghindaran pajak oleh TPL pada periode 2007-2016 dan APRIL Grup pada periode 2016-2018,” demikian Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan PRAKARSA sekaligus juru bicara Forum.

Lebih lanjut, Ah Maftuchan menjelaskan bahwa praktik pengalihan keuntungan itu dilakukan dengan salah-klasifikasi (misclassification) kode sistem harmonisasi (harmonized systems-HS). Kode HS ini menjadi standar pengkodean barang dalam perdagangan internasional. TPL, menurut Maftuchan, tercatat menjual pulp larut (dissolving pulp) ke perusahaan pemasarannya di Makau, salah satu negara surga pajak. Pulp tersebut dicatatkan dengan kode HS 470329, kode perdangangan untuk pulp kelas-kertas (bleached hard wood kraft paper – BHKP).

“Namun, penelisikan terhadap data perdagangan antar-negara menunjukkan bahwa otoritas di Tiongkok justru mencatat menerima kiriman dissolving pulp dari Indonesia” ujar Mouna Wasef, peneliti AURIGA Nusantara dan juga anggota Forum. Dissolving pulp(pulp larut) tercatat dengan kode HS 470200, dan harganya jauh lebih tinggi dibanding pulp grade kertas. Mouna menambahkan bahwa sepanjang 2007-2016, total ekspor pulp larut Indonesia tercatat sebanyak 150.000 ton, namun Tingkok mencatat mengimpor pulp larut dari Indonesia sebanyak 1,1 juta ton. “Padahal, sepanjang periode tersebut hanya TPL yang memproduksi pulp larut di Indonesia,” tambah Mouna.

Perusahaan pemasaran produk TPL di Makau pada saat itu adalah DP Marketing International Limited (DP Macao). Berdasarkan kontrak keagenannya, DP Macao tampak berperan sebagai agen tunggal pemasaran dan penjualan produk TPL di luar negeri, termasuk penjualan terhadap afiliasinya yang lain. Tidak ditemukan catatan adanya penjulan TPL ke luar negeri yang tidak melalui DP Macao. Sebaliknya, tidak ditemukan petunjuk DP Macao membeli produk sejenis selain dari TPL.

Selama 2007–2016, TPL tampak salah-lapor (misreported) jenis pulp ekspornya, dengan mengklasifikasi pulp larut sebagai pulp kelas-kertas (paper-grade pulp), yang nilainya lebih rendah, saat melakukan penjualan ke DP Macao. Namun, ketika kemudian menjualnya ke para pembeli di Tiongkok, DP Macao terindikasi menerbitkan faktur penjualan pulp larut, tentu pada yang harga jauh lebih tinggi. Dengan begini, DP Macao mendapatkan sebagian besar nilai perdagangan pulp larut yang diproduksi TPL selama 2007-2016. Mengingat bahwa Makau adalah yurisdiksi bertarif pajak rendah, pengaturan penjualan seperti ini patut diduga sebagai upaya penghindaran kewajiban pajak badan di Indonesia.

Lebih lanjut, laporan ini menghitung besaran dugaan pengalihan keuntungan yang dilakukan TPL, yang secara buku berakibat lebih rendahnya (under-stating) pendapatan perusahaan di Indonesia sekitar US$ 426 juta (Rp 4,23 triliun), sepanjang 2007–2016.

Laporan ini juga menganalisa penjualan pulp larut yang dilaporkan dari APRIL Grup, produsen pulp terbesar kedua di Indonesia, yang dikendalikan oleh pemilik manfaat (beneficial owner) yang sama dengan TPL, yakni Sukanto Tanoto. APRIL menyatakan mengekspor lebih dari 800.000 ton pulp larut sepanjang 2016–2018, terindikasi kuat sebagian besar diekspor ke pabrik terafiliasi di Tiongkok. Akan tetapi, data perdagangan Pemerintah Indonesia tidak menampakkan adanya ekspor pulp larut oleh APRIL, perusahaan operasional utamanya, ataupun anak perusahaannya yang dikenal selama ini. Perilaku pengalihan keuntungan yang patut diduga dipraktikkan APRIL ini berakibat pada lebih rendahnya pencatatan pembukuan penerimaan perusahaan di Indonesia sebesar US$ 242 juta (Rp 3,35 triliun).

“Praktik pengalihan keuntungan menyebabkan kebocoran pajak, mengurangi kemampuan pemerintah untuk mendanai program penting di bidang kesehatan dan perekonomian, serta mengurangi penerimaan dari ekspor yang sangat penting untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan mengendalikan inflasi,” kata Danang Widoyoko, Sekjen Transparency International Indonesia. Ia menambahkan bahwa dalam situasi saat ini, para wajib pajak yang mengekstraksi kekayaan alam perlu membayar kewajibannya dan mendukung negara.

Menyikapi temuan tersebut, Forum Pajak Berkeadilan meminta pemerintah menegakkan aturan yang ada, termasuk menyelidiki apakah adanya penyalahgunaan pada dugaan praktik pengalihan keuntungan oleh TPL dan atau afiliasinya. Sebagaimana tertuang dalam rekomendasi laporan, Forum meminta otoritas terkait, terutama Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi merespon temuan ini secara memadai. Forum juga mengharapkan dukungan publik, termasuk melalui petisi yang akan digalang platform change.org.

Narahubung:
Danang Widoyoko – dwidoyoko@transparansi.id
Herawati Sahnan – herawati@theprakarsa.org
Mouna Wasef – mouna.wasef@auriga.or.id

Download Rilis media lengkap di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *