Membaiknya indeks persepsi korupsi mempengaruhi iklim investasi yang penting untuk menumbuhkan perekonomian negeri ini.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai berada di titik nadir usai revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Terbaru Indeks Persepsi Korupsi 2023 yang dirilis Transparency International Indonesia stagnan di angka 34 (nilai maksimal 100). Jika presiden terpilih menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 8 persen, penguatan kelembagaan KPK dan IPK perlu ditingkatkan karena akan sangat memengaruhi iklim investasi di Indonesia.
Hal itu terungkap saat diskusi bertajuk ”Mencari Pemberantas Korupsi: Menjaga Independensi, Menolak Politisasi” yang diadakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan TII, Jumat (21/6/2024).
Pimpinan KPK 2015-2019 Saut Situmorang mengatakan dalam berbagai pernyataan, Presiden terpilih Prabowo Subianto selalu menyebutkan bahwa ia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen di bawah kepemimpinannya dan Gibran Rakabuming Raka.
Dengan target yang ambisius itu, menurut Saut IPK Indonesia minimal harus mencapai 60. Pada saat
kepemimpinannya, IPK pernah mencapai poin tertinggi di angka 40, dan KPK saat itu juga mendapatkan dukungan publik yang ditandai dengan citra positif di sejumlah lembaga survei.
”Pertumbuhan ekonomi tinggi membutuhkan kepastian penegakan hukum. Artinya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) juga harus tinggi. Oleh sebab itu, dibutuhkan political will untuk mengembalikan independensi sebagai mahkota KPK. Selain itu, juga bagaimana membuat tata kelola pemerintahan itu transparan dan akuntabel,” ujar Saut.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang setelah berusaha mendatangi Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Selain Saut, hadir sebagai pembicara lainnya adalah Komisioner KPK Alexander Marwata, Peneliti TII Izza Akbarani, dan Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. Panitia Seleksi KPK 2024 Ahmad Erani Yustika yang diundang juga dalam acara yang sama tidak hadir.
Saut menilai bahwa Indeks Persepsi Korupsi tidak akan naik hanya dengan penindakan atau penegakan hukum di KPK. Namun, hal itu membutuhkan perbaikan sistem menyeluruh karena berdasarkan data TII, IPK di Indonesia stagnan di angka 34 karena faktor penegakan hukum dan korupsi politik.
Menurut dia, sejumlah syarat dalam pemberantasan korupsi adalah transparansi dan akuntabilitas. Secara kelembagaan, KPK harus transparan terhadap siapa saja termasuk masyarakat sipil yang bergerak dalam isu antikorupsi.
Bebas konflik kepentingan
Dalam konteks bisnis utama atau core business pencegahan maupun penindakan hukum, KPK juga harus akuntabel dan transparan yang ditunjukkan dengan kejelasan proses formil dan materiil serta kekuatan bukti. Tak kalah penting, KPK juga harus bebas dari konflik kepentingan.
”Semua aparat penegak hukum harus bebas dari konflik kepentingan ini. Oleh sebab itu, peran serta dari masyarakat sipil juga harus dipelihara terus terutama orang-orang yang benar-benar punya passion dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Izza Akbarani menilai, pasca UU KPK direvisi pada akhir periode pertama Presiden Jokowi, IPK hanya naik satu poin yang berarti tidak signifikan. Kini, stagnansi skor 34 itu justru adalah penurunan terbesar sepanjang sejarah KPK didirikan.
”Skornya 34 di tahun 2023 lalu dan tidak ada pembenahan di sisa rezim Pak Jokowi ini. Dilihat dari data, skornya masih stagnan di angka yang sama,” ungkapnya.
Izza menambahkan, dampak nyata yang dirasakan dari revisi UU KPK adalah kinerja buruk lembaga antirasuah tersebut. Kinerja buruk dimaksud mulai dari sisi internal KPK yang kerap diterpa skandal korupsi, gratifikasi, hingga pelanggaran etik maupun capaian penindakan yang masih jauh panggang dari api.
Hasil penilaian kami dari berbagai indikator dan enam dimensi menunjukkan bahwa rapor KPK saat ini hampir merah semua yang artinya lembaga antirasuah tersebut berada di titik nadir.
Ia pun berharap seleksi KPK oleh pansel untuk mencari komisioner periode 2024-2028 bisa mengembalikan marwah KPK sebagai lembaga antirasuah yang independen. KPK tidak boleh diintervensi oleh cabang kekuasaan apa pun karena sekarang sudah masuk dalam rumpun eksekutif. ”Jangan sampai KPK secara politis juga disandera oleh kepentingan lawan-lawan politik yang sering kita dengar belakangan ini,” kata Izza.
Dari sisi kepegawaian, menurutnya, perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) juga seolah membuat ketergantungan pengisian jabatan tertentu terutama penyelidik pada kepolisian. Padahal, seharusnya penyelidik bisa diambil dari latar belakang mana pun berdasarkan rekam jejak dan integritas.
”Hasil penilaian kami dari berbagai indikator dan enam dimensi menunjukkan bahwa rapor KPK saat ini hampir merah semua yang artinya lembaga antirasuah tersebut berada di titik nadir. Kami berharap ini dibenahi dengan mengembalikan KPK seperti dulu. Internal juga harus mendorong revisi UU KPK itu,” tutur Izza.
Sementara itu Alexander Marwata berpendapat tidak ada persoalan independensi yang nyata ia rasakan saat ada revisi UU KPK. Menurutnya, tupoksi KPK yaitu melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan masih sama. Pimpinan masih bisa melaksanakan tupoksi tersebut. Meskipun demikian, pimpinan tentu tidak bisa melaksanakan seluruh tugas itu sendirian.
”KPK memang lembaga negara dalam rumpun eksekutif. Tetapi, pimpinan KPK tidak bisa diberhentikan oleh Presiden. Pimpinan KPK hanya bisa mundur, diberhentikan karena ada pelanggaran hukum, berhalangan tetap dan sebagainya. Dalam menjalankan tugasnya, pimpinan KPK juga tetap independen,” ujar Alex.
Alexander pun mengklarifikasi bahwa selama ia menjabat sebagai pimpinan KPK, pelaksanaan tugas dijalankan dengan independen. Penanganan perkara di KPK tidak pernah diintervensi seperti kasus korupsi besar yang melibatkan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kasus bantuan sosial di masa pandemi Covid-19 yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara, maupun korupsi di Badan SAR Nasional atau Basarnas.
”Terlalu banyak rumor di luar sana. Padahal, kami tidak pernah bertemu Presiden. Kami hanya bertemu pada saat acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Dari sisi penindakan pun angkanya justru meningkat jauh,” kata Alexander.
Terkait status kepegawaian di KPK yang beralih menjadi ASN, menurut dia, di lembaga antirasuah Malaysia dan Singapura pun semuanya juga berstatus pegawai pemerintah. Hal itu pun tidak pernah berdampak pada independensi kelembagaan KPK di sana.
”Kalau ingin memperbaiki pemberantasan korupsi yang dibutuhkan adalah political will dari pembentuk UU. Sebab, KPK itu kan produk politik. Tidak mungkin juga pimpinan KPK menjadi malaikat dengan sistem yang tidak baik,” jelasnya.
Ia mengingatkan, bahwa dalam melakukan kerja-kerja pencegahan dan penindakan korupsi, KPK tidak bergantung pada pimpinan semata. Masih ada staf, deputi, direktur yang diharapkan semuanya adalah figur berintegritas dan patuh kepada perintah pimpinan.
Namun, realitanya, beberapa staf yang berasal dari korps tertentu seolah dikendalikan oleh remote control atau bos dari instansi aslinya. Hal ini juga dinilainya menghambat kerja-kerja penindakan di KPK selama ini.
Julius Ibrani menegaskan bahwa pimpinan KPK baru nantinya harus bisa menjawab persoalan struktural bahwa KPK adalah lembaga yang memiliki kewenangan trigger mechanism atau mekanisme pemantik. Artinya, secara kelembagaan KPK tidak hanya memastikan lembaganya memberantas korupsi, tetapi juga aparat penegak hukum lain bekerja sama dengan dia untuk pemberantasan korupsi. Komisioner KPK nantinya harus memiliki manajemen level yang tinggi, dan posisi tawar yang baik.
”Dia harus memiliki background bersama-sama memberantas korupsi bersama aparat penegak hukum lain, bisa membawa kasusnya dengan kuat ke pengadilan sehingga tidak dimentahkan kewenangan penuntutannya seperti dalam kasus korupsi hakim Gazalba Saleh kemarin,” ungkapnya.
Julius pun berharap nantinya komisioner KPK bisa dipilih dari mereka yang berlatar belakang masyarakat sipil. Proses seleksi oleh pansel pun idealnya juga membuka ruang partisipasi oleh masyarakat sipil. Sebab, menurut dia, masyarakat sipil justru lebih tangguh dan bisa bertahan dari intervensi-intervensi cabang kekuasaan. Pansel harus bisa memastikan hal itu diimplementasikan dengan baik.
Pimpinan KPK baru juga bertugas memperbaiki sistem yang buruk selama ini menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, tugas pansel menjadi sangat signifikan dan krusial karena pansel harus mencari orang-orang berposisi di tengah yang mendapat kepercayaan dari institusi maupun masyarakat.
”Ini tugas konkret bukan hanya sekadar political will yang abstrak. Itu adalah mandat dari UU bahwa pansel harus bisa memilih orang-orang yang bisa mengembalikan KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain,” ujar Julius.
Sumber: Kompas.id
Berita terkait:
Pansel Capim KPK Didorong Utamakan Kandidat Perempuan
PBHI Ingatkan Representasi Perempuan dalam Pimpinan KPK
Saksikan rekaman acara di video berikut: