Kekayaan alam Indonesia khususnya bahan tambang mineral dan batubara selayaknya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun keinginan tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 belum dapat diwujudkan secara maksimal yang salah satu penyebabnya adalah masih buruknya tata kelola sumber daya alam termasuk bahan tambang mineral dan batu bara serta adanya ketidakmampuan dalam upaya mitigasi segala risiko dan dampak dari buruknya tata kelola dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Risiko korupsi adalah salah satu risiko utama yang timbul. Risiko korupsi merupakan segala risiko (beserta dampaknya) yang dapat memicu adanya praktek-praktek korupsi seperti penyalahgunaan kekuasaan, suap, gratifikasi dan sejenisnya.
Pada sektor pertambangan, Transparency International Indonesia telah melakukan suatu studi untuk menilai risiko korupsi pada proses pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) mulai dari tahapan penetapan wilayah pertambangan (WP), pelelangan wilayah izin usaha pertambangan, sampai dengan tahapan penerbitan IUP khususnya IUP Eksplorasi. Penilaian tersebut berangkat dari berbagai permasalahan dan kesenjangan dalam sistim dan tata kelola pemberian IUP. Hasil penilaian menemukan bahwa terdapat 35 risiko dalam pemberian IUP yang dapat memicu adanya praktek korupsi, 20 risiko diantaranya dikategorikan sangat tinggi, artinya risiko-risiko tersebut hampir pasti atau sangat mungkin terjadi dan menimbulkan dampak yang sangat buruk jika tidak ada upaya mengatasi dan memperbaiki permasalahan dan kesenjangan dalam sistem dan tata kelola pemberian IUP.
Risiko-risko tersebut diantaranya adalah: 1) Lemahnya sistem audit dan pengawasan baik keuangan maupun pertambangan, 2) Tertutupnya akses data dan informasi di sektor pertambangan, 3) Buruknya penegakan hukum atas ketidakpatuhan dan praktek korupsi dalam proses pemberian IUP, 4) Lemahnya koordinasi vertikal dan horizontal terkait pemberian IUP, 5) Kurang kuatnya kerangka aturan yang mendukung tata kelola sektor pertambangan yang baik, 6) Ketidakpatuhan dalam melaksanakan UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara beserta turunannya, 7) Tidak lengkapnya sistem informasi geologi yang berakibat pada ketidakpastian nilai ekonomi WIUP yang akan dilelang serta status permukaan lahannya, 8) Lemahnya pelibatan masyarakat khususnya yang terdampak kegiatan pertambangan dalam proses pemberian IUP.
Dalam hal kewenangan penerbitan IUP juga dimiliki oleh Pemerintah Provinsi. Untuk itu, kebutuhan untuk melakukan upaya pencegahan berbagai risiko korupsi dalam pemberian IUP sangat mendesak. Berdasarkan hasil penilaian risiko korupsi menemukan bahwa, salah satu faktor pendorong munculnya risiko korupsi dalam pemberian IUP adalah pada saat kontestasi politik di daerah dalam hal pemilihan kepala daerah langsung. Beberapa provinsi (Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara) kaya sumberdaya alam berupa bahan tambang mineral dan batu bara akan melaksanakan pemilihan kepada daerah pada tahun 2018. Pada beberapa kasus, kontestan politik khususnya calon dari petahana ditengarai meminta “sumbangan” kepada pemegang IUP dan/atau pemohon IUP untuk membiayai kampanye politik mereka.
Bila tidak segera dilakukan upaya pencegahan, menurut Sekjen Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko menyatakan, “Pemerintah Pusat dianggap gagal membenahi Tata Kelola Perizinan Sektor Pertambangan dan politisi-politisi lokal akan terus menjadikan perizinan pertambangan ini sebagai sumber dana bagi kampanye politik mereka”.
Manajer Tata Kelola Industri Berbasis Lahan Transparency International Indonesia, Rivan Prahasya menambahkan bahwa dalam upaya untuk mencegah risiko korupsi dalam pemberian IUP di pemerintah Provinsi, kami memberikan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar dapat melakukan hal-hal berikut: 1) Penguatan sistem integritas peneyelenggaraan pemerintahan provinsi termasuk perizinan sektor pertambangan. 2) Penetapan aturan yang lebih rinci terkait kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan termasuk aturan mengenai alokasi anggaran provinsi untuk audit dan pengawasan pelaksanaan IUP.
Selain itu, kami juga merekomendasikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar setidaknya dalam 1 – 2 tahun ke depan dapat melakukan hal-hal berikut: 1) Keterbukaan akses data dan informasi terkait proses pemberian izin pertambangan khususya penetapan WP, proses lelang WIUP, penerbitan IUP, kadastral pertambangan, serta informasi detil dari pemegang IUP, 2) Mekanisme penanganan/pengelolaan pengaduan dan masukan masyarakat yang transparan dan akuntabel terkait pemberian izin pertambangan. 3) Peningkatan kapasitas inspektur tambang di daerah serta penetapan standar operasional dan kinerja inspektur tambang. 4) Penetapan prosedur dan standar mengenai due dilligence/uji tuntas terhadap peserta lelang WIUP dan pemohon IUP.
Kami juga mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat memfasilitasi para pihak yang berkepentingan dalam membangun sistem integritas dalam pengelolaan sumber daya alam selaras dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).