Sidang Khusus Majelis Umum PBB tentang Korupsi (UNGASS Corruption 2021):
Pemerintah Indonesia Gagal Menunjukkan Komitmen Antikorupsi di Forum Internasional
Jakarta, 4 Juni 2021
Pada tanggal 2 hingga 4 Juni 2021, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (UN General Assembly Special Session/UNGASS) di New York, Amerika Serikat telah menggelar Sidang Khusus pertama yang berfokus pada isu korupsi. Sidang tersebut merupakan mandat dari Resolusi Majelis Umum 73/191 yang diadopsi pada 17 Desember 2018. Keberadaan UNGASS dianggap oleh kelompok masyarakat sipil dunia dapat memberikan kesempatan untuk mempercepat kerja sama anti-korupsi global serta mengembangkan standar dan mekanisme baru dalam implementasi Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC).
Pada forum tersebut, Negara Anggota PBB telah mengadopsi sebuah deklarasi politik bersama tentang aksi global antikorupsi. Pada sesi adopsi deklarasi ini, perwakilan Negara Anggota diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan, tak terkecuali Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Deputi Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB, H.E. Mohammad Kurniadi Koba. Pemerintah Indonesia menyampaikan sejumlah pandangan, termasuk prioritas dan kebijakan antikorupsi pemerintah, serta rekomendasi bagi Negara Anggota lainnya.
Transparency International Indonesia (TI Indonesia) memandang bahwa pernyataan Perwakilan Pemerintah Indonesia di dalam forum UNGASS tersebut abai dalam kebijakan pemberantasan korupsi dan cenderung tidak mempromosikan komitmen antikorupsi yang progresif, di mana ketiga catatan tersebut meliputi:
1) Komisi Pemberantasan Korupsi tidak termasuk prioritas pemerintah. Ketiadaan peran yang strategis dari sebuah Anti-Corruption Agency (ACA) dalam skema pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia merupakan langkah mundur dibandingkan dengan upaya banyak Negara Anggota. Terlebih lagi, absennya wacana badan antikorupsi dalam pernyataan tersebut melawan langsung deklarasi politik yang telah disepakati di dalam forum UNGASS yang telah mengikat Negara Anggota agar memastikan badan-badan antikorupsi mampu menjalankan kewenangannya secara efektif dan bebas, tanpa pengaruh politik yang tidak semestinya.
Situasi ini menegaskan telah bergesernya pendekatan antikorupsi Pemerintah Indonesia saat ini, terutama pasca diamandemennya UU Komisi Pemberantasan Korupsi secara kontroversial pada tahun 2019. Disahkannya UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengubah struktur kelembagaan dan kewenangan esensial KPK tersebut telah memunculkan keraguan masyarakat internasional terutama dari kalangan dunia usaha dan pakar terhadap keseriusan Pemerintah dalam menjalankan komitmen antikorupsi. TI Indonesia mencatat upaya Pemerintah mengubah basis hukum KPK tersebut telah semakin menjauhkan Indonesia dari pemenuhan komitmen global, terutama pada kepatuhan untuk menjalankan pasal 6 dan 36 UNCAC yang mendorong agar Negara Anggota menjamin independensi dan kewenangan kuat badan antikorupsi.
2) Inkonsistensi antara komitmen dan implementasi. Perwakilan Pemerintah Indonesia dalam forum PBB ini mengakui bahwa perlu upaya yang lebih sistematis dalam mencegah kasus korupsi lintas yurisdiksi, termasuk kerja sama antar Negara dalam pemulihan aset. Pernyataan ini bertentangan dengan kondisi politik hukum di Indonesia saat ini yang sama sekali tidak menunjukkan komitmen pemulihan aset yang kuat.
TI Indonesia melihat bahwa sangat minim komitmen dari Pemerintah untuk menyelesaikan hambatan regulasi dan kurangnya kapasitas penegak hukum dalam kerja pemulihan aset. Fakta-fakta tersebut sayangnya tidak direspon dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Tak kunjung disahkannya RUU Perampasan Aset sejak tahun 2008, mempertegas minimnya komitmen politik Pemerintah; padahal kemauan politik merupakan faktor utama yang menentukan berhasil tidaknya suatu upaya pengembalian aset, terutama yang berada di luar negeri.
Keterbatasan hukum ini juga tak disiasati oleh Pemerintah Indonesia dengan memperkuat keaktifannya di dalam forum-forum internasional, seperti kerja sama antar Negara dan kelompok kerja pemulihan aset. Pemerintah hingga saat ini nyatanya kerap juga tak efektif dalam menggunakan mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) maupun melalui prosedur StAR yang dikoordinasikan oleh PBB.
3) Pemerintah tidak serius memenuhi komitmen antikorupsi global. Pemerintah Indonesia merespon positif deklarasi politik bersama yang diadopsi dalam forum UNGASS, termasuk mendorong Negara Anggota agar memaksimalkan kerja sama antar negara. Namun data TI Indonesia memperlihatkan justru Pemerintah Indonesia kerap tidak konsisten di dalam mengimplementasikan janji-janji antikorupsinya di forum-forum global.
Dari sisi pemenuhan komitmen UNCAC, Pemerintah Indonesia hingga saat ini gagal memenuhi 32 rekomendasi dari hasil review UNCAC putaran pertama, dimana Indonesia baru menyelesaikan sekitar 8 rekomendasi. Sedangkan dari 21 rekomendasi hasil review putaran kedua, Indonesia baru menyelesaikan sekitar 13 rekomendasi. Sebelumnya, KPK telah berkali-kali mengingatkan Pemerintah dan DPR RI untuk mengutamakan 6 isu prioritas yang perlu diselesaikan dari rekomendasi Review UNCAC Putaran I dan II Indonesia. Sayangnya, tidak ada satupun regulasi prioritas yang diselesaikan hingga saat ini; kenyataannya Pemerintah dan DPR RI justru mengamandemen UU KPK yang tidak direkomendasikan sama sekali dari hasil review UNCAC.
Seperti juga kita ketahui bersama bahwa pada tahun 2012 Indonesia adalah tuan rumah pada pertemuan internasional badan-badan antikorupsi. Terlebih pada saat itu muncul inisiatif dan deklarasi bersama yang dikenal sebagai The Jakarta Statement on Principles for Anti-corruption. Di mana memuat prinsip-prinsip yang mestinya dilakukan oleh negara yang menyepakati. Di tambah pula Indonesia menjadi tuan rumah mestinya konsisten dengan prinsip-prinsip penguatan dan kemandirian badan antikorupsi, dalam hal ini adalah KPK.
Pada saat yang sama, hingga saat ini Pemerintah Indonesia juga belum memenuhi Komitmen Tingkat Tinggi yang telah diajukan dan disepakati bersama di dalam berbagai forum internasional, seperti komitmen di dalam G20 Anti-Corruption Working Group (2012-2018), Anti-Corruption Summit (2016) and the International Anti-Corruption Conference (2018). Selain itu, komitmen antikorupsi internasional Indonesia cenderung tidak spesifik dan sulit diukur. Evaluasi yang dilakukan oleh TI Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada standar yang transparan serta partisipasi publik yang inklusif di dalam memantau komitmen Pemerintah, sehingga tidak ada jaminan bahwa berbagai komitmen tersebut dijalankan secara efektif.
Dengan mempertimbangkan ketiga catatan di atas, TI Indonesia mendorong agar Pemerintah Indonesia:
1) Segera mengidentifikasi dan mengevaluasi komitmen antikorupsi internasional. Pemerintah perlu secara aktif dan berkala mempublikasikan informasi tentang status berbagai komitmen antikorupsi internasional agar masyarakat dapat terlibat dalam proses pemantauan komitmen tersebut. Pemerintah juga perlu memperkuat komitmen politiknya dan melipatgandakan upayanya untuk mencapai komitmen internasional yang telah dibuatnya. Penguatan komitmen Pemerintah salah satunya bisa diukur pada kepatuhan terhadap berbagai inisiatif yang telah diratifikasi dan dijadikan pedoman bersama. Oleh sebab itu, komitmen Pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi juga perlu dibuktikan dengan penguatan lembaga antikorupsi, KPK, dengan menjaga independensi lembaga KPK sesuai ratifikasi UNCAC dan Prinsip-prinsip Anti Korupsi Jakarta.
2) Segera mengakselerasi pemenuhan komitmen hasil review UNCAC putaran I dan putaran II. Pemerintah Indonesia perlu secara aktif berkoordinasi dengan DPR RI dan Kementerian/Lembaga terkait dalam mengidentifikasi prioritas pemenuhan hasil review UNCAC. Dalam hal ini dapat merujuk pada enam kebijakan prioritas, antara lain antara lain: Penyelesaian Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Publik dan Penguatan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi; Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Swasta; Penyelesaian Revisi Undang-Undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana; Penguatan Independensi dan Kelembagaan Lembaga Anti Korupsi; dan Penyelesaian Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
3) Segera membentuk Kelompok Kerja Ahli untuk menindaklanjuti rekomendasi forum UNGASS 2021. Pemerintah Indonesia perlu membentuk sebuah komite khusus yang beranggotakan perwakilan Pemerintah, penegak hukum, kelompok bisnis, kelompok masyarakat sipil, media massa, serta akademisi untuk mengembangkan langkah yang lebih strategis untuk menindaklanjuti hasil rekomendasi dari deklarasi politik di dalam forum UNGASS 2021.
Seluruh proses, mekanisme, dan produk pengetahuan yang akan dihasilkan, perlu dikomunikasikan secara terbuka, partisipatif, serta aktual kepada masyarakat umum. Informasi-informasi ini sangat penting agar digunakan masyarakat untuk mendukung pencapaian implementasi komitmen antikorupsi global, baik yang tertuang dari forum UNGASS 2021 maupun komitmen global di forum-forum lainnya yang relevan. Kolaborasi ini diharapkan dapat mengintegrasikan antara komitmen dan implementasi secara jangka panjang.
Narahubung:
Alvin Nicola, Peneliti TI Indonesia (anicola@transparansi.id)