Ada kecenderungan, Mahkamah Konstitusi (MK) semakin sulit diandalkan untuk melahirkan putusan yang bisa dinilai sebagai putusan monumental. Putusan yang tak hanya sekadar melakukan tafsir normatif atas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, tetapi juga menjadi basis yang kuat dalam mengatasi problem kenegaraan yang akut.
Apakah korupsi merupakan salah satu problem akut tersebut? Jika menggunakan indikator corruption perception index (CPI), posisi Indonesia merosot sangat tajam dan masih dikategorikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Skor 34 di 2022 menunjukkan betapa korupsi seharusnya dipandang sebagai momok yang mengancam terselenggaranya kehidupan bernegara. Problem akut yang selama berpuluh tahun dijadikan alasan untuk melakukan reformasi, tapi faktanya korupsi justru diletakkan sebagai kejahatan yang biasa saja.
Buktinya, Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang memberikan jeda waktu selama 5 tahun bagi bekas terpidana untuk dapat mencalonkan diri dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif, justru memperlihatkan betapa rapuhnya hukum di Indonesia ketika dihadapkan dengan kejahatan korupsi. Ada situasi di mana hukum terlihat melayani kepentingan koruptor, mulai dari divonis ringan, fasilitas mewah di dalam penjara, pemotongan masa tahanan (remisi), hingga diperbolehkan untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilu.
Inkonsisten
Secara konstitusional, pembatasan terhadap hak asasi manusia itu diperkenankan. Apalagi hanya sebatas hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Bandingkan dengan hak hidup, yang menurut Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 adalah ‘hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun’. Ada frasa ‘tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun’, kategorinya mutlak (non derogable rights) bahkan ketika dalam kondisi yang darurat sekalipun. Tapi fakta hukumnya berbeda, masih ada undang-undang yang menganut pidana mati.
Dalam konteks yang berbeda, hak pilih pada dasarnya adalah hak yang dapat dibatasi, baik itu terkait hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Dalam kondisi normal, pembatasan tersebut misalnya terkait pembatasan usia, tingkat pendidikan, dan seterusnya.
Pembatasan ini pada dasarnya dapat dilakukan baik melalui putusan pengadilan pidana maupun melalui ketentuan undang-undang. Yang tidak diperbolehkan ialah melakukan pembatasan hak politik tanpa alasan yang tidak jelas, misalnya alasan yang bersifat politis. Pasal 25 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan hal yang demikian, bahwa persamaan hak dan kesempatan dalam politik memang harus dilakukan tanpa pembatasan yang tidak jelas (without unreasonable restrictions).
Dalam konteks Indonesia, pembatasan tersebut sangat mungkin dilakukan. Ada banyak putusan kasus korupsi yang menghilangkan hak politik, baik yang berlaku seumur hidup maupun berbatas waktu. Hal sama sebetulnya juga tersirat dalam Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022. Adanya persyaratan soal masa jeda 5 tahun pada dasarnya ialah bagian dari pembatasan. Akan tetapi, masa jeda itu tidak didasarkan pada alasan yang rasional. Masa jeda 5 tahun tersebut seperti sesuatu yang tiba-tiba turun dari langit sehingga cukup diterima dan tak perlu dipertanyakan.
Belum lagi soal syarat ‘bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang’. Ada pesan moral yang tersirat di situ bahwa korupsi itu boleh dilakukan sekali saja agar dapat mencalonkan diri kembali sebagai pejabat publik. Hal itu bisa dimaknai bahwa korupsi dianggap seperti kejahatan biasa saja.
Putusan MK ini juga tidak sensitif terhadap dua hal, yakni sistem pemidanaan terhadap perkara korupsi dan konteks korupsi politik yang semakin menguat. Pertama, kecenderungan semakin melemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, baik secara kelembagaan maupun proses pemidanaannya. Vonis hakim yang semakin rendah, independensi kelembagaan penegak hukum yang semakin buruk, kebijakan yang memudahkan pemberian remisi/pembebasan bersyarat, hingga fasilitas mewah selama dalam penjara, pada dasarnya mencerminkan lemahnya sistem hukum ketika berhadapan dengan kasus korupsi.
Korupsi politik
Kedua, putusan MK tidak melihat situasi korupsi politik yang semakin menguat dalam sistem politik Indonesia. Berbagai studi dan data, yang mengungkap soal dominasi aktor politik dalam berbagai kasus korupsi, tidak menjadi pertimbangan bagi MK untuk memberikan pembatasan yang lebih ketat terhadap pencalonan pejabat yang dipilih melalui proses elektoral. Ini mengindikasikan MK seakan tunduk pada konsensus para pemegang kekuasaan politik.
Dari sisi partai politik, ada fakta bahwa tingkat politik uang yang tinggi dalam pemilu berbanding lurus dengan rendahnya akuntabilitas pendanaan politik. Pada sisi publik, pendidikan politik yang tidak memadai semakin diperburuk oleh lemahnya party identity atau kedekatan partai politik dengan publik. Akibatnya, relasi yang dibangun hanya sebatas pemberian dukungan dalam konteks elektoral sehingga hubungan ini dibangun atas dasar kepentingan jangka pendek.
MK tidak mempertimbangkan dampak yang akan timbul bahwa memberikan kemudahan kepada koruptor untuk mencalonkan diri dalam proses pemilu akan semakin memperlebar jarak publik dengan wakilnya. Pemilih akan semakin pragmatis karena menilai korupsi adalah keniscayaan yang akan selalu ada dalam proses politik, dan partai politik hanya akan melihat ini sebagai peluang untuk memperoleh kekuasaan. Pada akhirnya, sistem pemilu yang dibangun tidak lagi didasarkan pada nilai integritas yang tinggi, tetapi justru melahirkan sistem pemilu yang ramah kepada koruptor.
Reza Syawawi, Peneliti Transparency International Indonesia
Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Media Indonesia edisi 9 Februari 2023