Pencalonan Menteri dan Pemilu yang Jurdil

Larangan bagi menteri untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden tanpa mengundurkan diri seharusnya dianggap standar yang tidak bisa ditawar demi mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.

“Kemunduran demokrasi hari ini dimulai di kotak suara,” ungkap Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018). Ungkapan singkat ini memperingatkan kita yang tengah berada dalam hiruk pikuk menyambut Pemilu 2024, bahwa sekadar memiliki pemilu saja tidaklah cukup untuk menjamin masa depan demokrasi.

Di atas segalanya, pemilu itu harus didesain agar dapat terlaksana secara jujur dan adil. Tanpanya, alih-alih menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat, pemilu hanya akan menjadi gelanggang yang kelak akan melahirkan kleptokrasi.

Pemilu 2024 tentu didambakan akan menjadi pemilu yang berlangsung secara jujur dan adil. Meski begitu, sejumlah perkembangan sayangnya justru malah mengarah kepada prospek tak menggembirakan. Terakhir, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022 membuka jalan bagi menteri atau pejabat setingkat menteri untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden tanpa harus mengundurkan diri.

Baca juga: Perkuat Pengawasan Menteri yang Maju Pilpres

Putusan itu jelas menjadi tantangan di tengah lanskap empirik politik Indonesia yang oleh Siti Zuhro disebut selalu menunjukkan adanya tarikan politik dari penguasa terhadap birokrasi (Siti Zuhro, 2019). Dengan adanya putusan ini, mewujudkan pemilu yang jujur dan adil jelas akan bertambah sulit.

Arah seharusnya

Ada yang menarik dari dalil pemohon sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 68/PUU-XX/2022, yakni menjadi aneh apabila presiden dan wakil presiden saja tidak diwajibkan mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin mencalonkan diri/dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden, sementara untuk hal yang sama menteri diharuskan mengundurkan diri. Dalil ini menarik, sebab alih-alih mengizinkan menteri menjadi capres/cawapres, dengan dalil ini (jika progresif) MK malah bisa bergerak ke arah sebaliknya, yakni juga mempersoalkan kemungkinan presiden dan wakil presiden petahana tampil sebagai peserta pemilu.

Pasalnya, di sejumlah negara presidensial (seperti Chili, Uruguay, Kosta Rika, Panama, dan Peru) ditentukan bahwa harus ada periode jeda untuk seorang presiden dan wakil presiden dapat mengikuti pemilihan kembali (disebut alternate reelection). Hal ini karena disadari, keikutsertaan mereka sebagai peserta pemilu dapat mendorong kerusakan birokrasi dan penyalahgunaan fasilitas negara.

Larangan bagi menteri untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden tanpa mengundurkan diri seharusnya dianggap standar yang tidak bisa ditawar demi mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.

Tetapi sementara itu tidak terjadi, larangan bagi menteri untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden tanpa mengundurkan diri seharusnya dianggap standar yang tidak bisa ditawar demi mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Setidaknya, ada dua negara yang dapat menjadi contoh untuk ini, yang masing-masing bahkan memasukkan larangan pencapresan dan pencawapresan menteri di dalam konstitusinya, yaitu Kosta Rika dan Kolombia.

Konstitusi Kosta Rika tahun 1949 menyebutkan bahwa tidak dapat dipilih sebagai presiden dan wakil presiden siapapun yang menjadi menteri pemerintah selama 12 bulan sebelum tanggal pemilihan (butir 4 Artikel 132 Konstitusi Kosta Rika Tahun 1949). Serupa dengan itu, Konstitusi Kolombia Tahun 1991 juga menyebutkan bahwa tidak ada warga negara yang dapat dipilih sebagai presiden atau sebagai wakil presiden, yang dalam setahun sebelum pemilihan tengah menjalankan posisi menteri (Artikel 197 Konstitusi Kolombia Tahun 1991).

Pencantuman ketentuan semacam itu dalam konstitusi tentu menunjukkan keseriusan upaya untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Sebagai hasilnya, baik Kosta Rika maupun Kolombia memang mendapat skor tinggi menyangkut electoral process and pluralism dalam Democracy Index 2021 yang dirilis Economist Intelligence (2022). Dalam skala 1-10, masing-masing mendapatkan skor 9,58 dan 9,17, jauh lebih tinggi dari Indonesia yang hanya meraih skor 7,92. Meski larangan pencalonan menteri bukan satu-satunya faktor, namun sulit dibantah bahwa hal ini telah menjadi salah satu faktor terpenting.

Tergantung presiden

Putusan MK Nomor 68/PUU-XX/2022 tentu saja berpotensi menambah masalah dalam pemilu kita. Meski begitu, putusan ini hanya akan benar-benar menjadi masalah ketika Presiden “merestui” menteri-menteri dalam kabinetnya mencalonkan diri tanpa mengundurkan diri. Bagaimana pun, menteri adalah pembantu presiden yang pengangkatan dan pemberhentiannya menjadi hak prerogatif presiden (Pasal 17 Ayat (2) UUD NRI 1945). Artinya, presiden punya kontrol penuh untuk memastikan para menteri fokus sepenuhnya terhadap urusan pemerintahan, bukan pada urusan pemilihan yang justru akan menempatkan mereka dalam jerat konflik kepentingan.

Memang, untuk itu dibutuhkan dua hal dalam diri presiden, pertama keberanian, dan kedua netralitas/imparsialitas. Keberanian dibutuhkan presiden untuk menegaskan visi demokrasi yang melampaui pertimbangan sembilan orang hakim konstitusi dan mengambil tindakan atas dasar tuntunan visi tersebut. Sementara netralitas/imparsialitas mutlak dibutuhkan Presiden karena tanpa keduanya presiden tidak mungkin membuat keputusan yang berangkat dari keberanian tersebut. Malah, sangat mungkin presiden menjadi orang yang “menggelar karpet merah” untuk calon tertentu.

Dalam beberapa bulan ke depan, kita mungkin akan segera menemukan jawaban apakah presiden memiliki dua hal tersebut: keberanian dan netralitas/imparsialitas. Yang jelas, keputusan presiden akan menentukan kualitas Pemilu 2024: apakah itu akan dicatat sebagai pemilu yang jujur dan adil atau sebaliknya. Jika presiden berhasil membuat keputusan yang benar, jelas itu akan menjadi legacy beliau untuk pembangunan demokrasi Indonesia ke depan.

Sahel Muzzammil, Peneliti Transparency International Indonesia

Sumber:  Kompas ID edisi 19 November 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *