Korupsi sektor pertambangan bukti adanya praktik perdagangan pengaruh.
JAKARTA – Transparency International Indonesia (TII) memaparkan, perizinan dan pengawasan sektor pertambangan di Indonesia masih menjadi lahan untuk korupsi.
“Minimnya kapasitas pengawasan dan pengendalian ini menyebabkan besarnya ruang ekonomi ilegal dalam penegakan hukum,” jelas Gita Ayu Atikah selaku perwakilan dari Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Senin (11/9).
Hal itu dia sampaikan pada acara “Peluncuran Laporan Corruption Risk Assessment (CRA) Perizinan dan Pengawasan Usaha Pertambangan di Indonesia”, Senin (11/9), di Le Meridien Hotel, Jakarta.
Dia melanjutkan, risiko korupsi ini diperoleh dari hasil penelitian yang mencakup tiga wilayah di Indonesia, yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara dari Februari hingga Agustus 2023.
Gita sampaikan, temuan TII ini juga dikonfirmasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga itu menilai korupsi di bidang pertambangan karena lemahnya regulasi dan minimnya upaya untuk memastikan ketaatan dalam seluruh proses bisnis.
Selain itu, desentralisasi kewenangan meningkatkan risiko korupsi di bidang pertambangan Indonesia.
Sebagai contoh, desentralisasi memicu pemerintah meningkatkan pendapatan daerah.
“Dalam konteks pertambangan, upaya meningkatkan pendapatan daerah dengan pendapatan IUP sebanyak-banyaknya, justru menyebabkan pemerintah daerah kehilangan kemampuan melakukan pengawasan dan pengendalian,” ungkap Gita.
Oleh karena itu, banyak ditemukan, lokasi usaha pertambangan tumpang tindih dengan kawasan hutan. Bahkan, masalah tumpang tindih ini tak mudah diselesaikan.
Sebagai rumah cadangan nikel, batu bara, tambang, serta emas terbesar di dunia, tak jarang investor asing tertarik berbisnis di Indonesia. Namun, TII menilai, keadaan tersebut membuat pemerintah mengesampingkan proses perizinan.
“Besarnya potensi ekonomi pertambangan Indonesia mendorong masuknya investasi asing dalam jumlah besar yang disambut pemerintah dengan merampingkan proses perizinan dan menawarkan insentif pajak kepada perusahaan pertambangan,” papar Gita.
Meski pemerintah beri kemudahan dari sisi perizinan, namun, pertambangan ilegal bermunculan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pada 2023, ditemukan lebih dari 2.000 tambang ilegal sehingga menghasilkan aliran keuangan gelap sampai triliunan rupiah.
TII menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan, yang memberi ruang DPR dalam penentuan wilayah pertambangan.
“Risiko pertambangan dicontohkan dengan praktik dagang pengaruh yang dilakukan anggota dewan untuk memastikan wilayah-wilayah yang diusulkan pelaku usaha,” sebut Gita.
Ia melanjutkan, “Mengingat informasi mengenai pertambangan dikuasai pelaku usaha, proses-proses negosiasi dan pengambil keputusan akan cenderung mengarah pada kepentingan pelaku usaha tersebut.”
Gita melanjutkan, TII berharap pemerintah membangun kerangka akuntabilitas publik yang efektif untuk memerangi korupsi di sektor pertambangan.
Kementerian ESDM, sambungnya, berani menolak tindakan yang menyebabkan kerugian, memastikan semua pihak mengikuti aturan, memperketat pengawasan, serta melakukan verifikasi terhadap pemilik manfaat.
Tak luput, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap penerimaan negara dari bidang pertambangan dengan menguji semua laporan produksi.
Sumber: Validnews