Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa patut ditolak. Usulan ini tidak menjawab masalah di desa, tapi lebih bersifat politik untuk menarik dukungan politik jangka pendek. Salah satunya adalah janji untuk memberikan dukungan pada Pemilu 2024. Elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) diduga menjadi partai yang mengusung perpanjangan masa jabatan kepala desa. Sialnya, semua fraksi pada akhirnya mendukung aspirasi tersebut.
Perpanjangan masa jabatan kepala desa justru akan menimbulkan persoalan baru. Padahal masih banyak masalah penyelenggaraan pemerintahan di desa. Yang paling mengemuka adalah soal pengelolaan keuangan desa yang tidak terbuka, minim pelibatan masyarakat, dan sarat praktik korupsi.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022 menyebutkan level korupsi desa menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum selama 2015-2021. Setidaknya terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Korupsi semakin meningkat seiring dengan alokasi dana desa yang sangat besar. Selama 2015-2021, sebanyak Rp 400,1 triliun dana desa telah digelontorkan untuk keperluan pembangunan desa.
Biaya Sosial Politik Tinggi
Problem korupsi dalam pengelolaan keuangan desa selalu bermula dari proses politik yang tidak sehat dan sarat politik uang. Hal ini memicu tingginya biaya politik dalam pemilihan kepala desa. Akibatnya, banyak calon kepala desa yang mencari sumber pendanaan untuk membiayai ongkos politiknya. Pada akhirnya, para kepala desa yang terpilih akan tersandera untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan selama masa pemilihan.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), biaya politik dalam pemilihan kepala desa bisa mencapai Rp 250 juta lebih. Setidaknya RP 50-100 ribu per suara disiapkan untuk mendapat dukungan dari pemilih. Bisa dibayangkan jika di satu desa ada 1.000 pemilih, berapa banyak uang yang harus disiapkan.
Di sisi yang lain, pemilihan kepala desa selalu menimbulkan gesekan politik di masyarakat. Hal yang sama sebetulnya juga terjadi dalam berbagai pemilihan umum, baik pemilihan presiden/wakil presiden, legislatif, maupun kepala daerah. Konflik sosial yang terjadi di tingkat desa tentu akan jauh lebih berbahaya karena terjadi di lingkup sosial yang kecil.
Konflik yang terjadi selama proses pemilihan kepala desa akan terus berlangsung sepanjang masa jabatan kepala desa. Sebab, dalam praktiknya, kepala desa akan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih dan menentukan perangkat desa yang berasal dari kelompok pendukungnya. Akibatnya, perangkat desa yang dipilih hanya didasarkan pada pertimbangan politik, tanpa mempertimbangkan aspek kompetensi, apalagi integritas.
Dengan begitu, muncul kecenderungan kepala desa terpilih akan memelihara konflik tersebut selama dia menjabat. Tujuannya tentu saja untuk memelihara dukungan politik dalam pemilihan kepala desa pada periode berikutnya. Beberapa perhimpunan kepala desa yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala desa beralasan bahwa hal itu untuk menyelesaikan konflik sosial. Faktanya, praktik pengelolaan pemerintahan desa selama ini justru didesain untuk memelihara konflik.
Sistem Integritas Desa
Berdasarkan situasi di atas, setidaknya ada dua persoalan penting yang mesti diselesaikan dalam tata kelola desa. Transparency International Indonesia menyebutnya sebagai bagian dari “sistem integritas desa”, yakni bagaimana mendesain sistem suksesi pemerintahan desa yang berintegritas dan membangun mekanisme pencegahan korupsi yang efektif.
Dalam suksesi pemerintahan desa, ada dua prinsip utama yang harus dipenuhi, yakni pembatasan masa jabatan kepala desa dan adanya sistem pemilihan kepala desa. Pembatasan masa jabatan kepala desa saat ini sudah cukup untuk terjadinya regenerasi kepemimpinan yang lebih sehat. Memperpanjang masa jabatan kepala desa sangat berpotensi memicu penyalahgunaan kekuasaan yang pada akhirnya merugikan masyarakat desa.
Sistem pemilihan kepala desa juga harus meminimalkan risiko korupsi di kemudian hari. Sistem pemilihan tersebut hendaknya juga mengurangi biaya yang dikeluarkan para calon, terlebih jika biaya politik tersebut justru digunakan untuk membeli suara. Pemerintah daerah tentu memiliki peran yang cukup untuk memfasilitasi proses pemilihan tersebut tanpa menghilangkan aspek-aspek kemandirian desa.
Hal yang juga sangat penting adalah membangun mekanisme pencegahan korupsi di tingkat desa. Ada persoalan di sini, yakni minimnya ruang partisipasi dan instrumen pengawasan publik, dari proses perencanaan, implementasi, hingga akuntabilitas pelaporan keuangan. Hal ini disebabkan oleh political will kepala desa beserta perangkatnya yang menutup ruang informasi yang seharusnya diketahui masyarakat. Situasi ini tentu akan membuka celah praktik korupsi yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan. Meskipun telah cukup banyak aturan yang mengharuskan pelibatan warga desa dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi pada kenyataannya pelibatan tersebut sekadar formalitas dan cenderung hanya melibatkan para pendukung kepala desa pada masa pemilihan yang lalu.
Rentetan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa mengkonfirmasi masalah tersebut. Maka, menjadi penting untuk menyuarakan penguatan sistem integritas di desa ketimbang sekadar mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Agus Sarwono, Peneliti Transparency International Indonesia
Tulisan ini telah diterbitkan di harian Tempo edisi 10 Februari 2023