Persoalan Pelik Tata Kelola Perikanan Indonesia

Jakarta, 18 Mei 2022. Transparency International (TI) Indonesia telah mengadakan diskusi publik secara daring bertajuk “Persoalan Pelik Tata Kelola Perikanan Indonesia,” Selasa 17/05/2022. Diskusi publik ini merupakan diseminasi hasil temuan riset singkat TI Indonesia mengenai tata kelola perikanan di Indonesia. Diskusi publik ini turut mengundang Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi, Ketua Sekolah Tinggi Jentera Hukum (2015-2020) Yunus Husein, dan Manager Advisor Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Harimuddin.

Secara garis besar, TI Indonesia menemukan beberapa titik yang rawan menjadi celah untuk melakukan tindak pidana korupsi maupun penggelapan dalam tata kelola sektor perikanan ini. Pertama, celah korupsi di berbagai proses tahapan rantai pasok tata kelola perikanan; misalnya, pada tahap pra penangkapan ikan, korupsi rentan terjadi pada pengurusan dokumen dan perizinan untuk korporasi maupun kapal dalam menangkap ikan. Kedua, Pada tahap penangkapan ikan, pelaporan tahap tangkapan ikan yang tidak sesuai dan trans-shipment ilegal sering menjadi modus penggelapan. Pasca penangkapan ikan, manipulasi data terkait hasil tangkapan ikan dengan tujuan menguntungkan pribadi maupun perusahaan menjadi celah bagi para oknum untuk melancarkan aksinya. Ketiga, modus penggelapan pajak dan manipulasi data perdagangan juga menjadi fokus temuan TI Indonesia dalam tata kelola sektor ini – mengingat besarnya potensi penerimaan negara melalui sektor ini yang jika tidak diawasi justru akan merugikan negara dengan hilangnya sumber daya alam maupun ekonomi.

“Studi kasus korupsi ekspor benih lobster yang menyandung eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, menjadi contoh bagaimana korupsi juga turut melibatkan negara (regulatory state capture) dan korporasi juga turut terlibat,” ungkap Peneliti TI Indonesia Bellicia Angelica. Cukup miris mengingat KKP punya kebijakan Permen-KP Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penangkapan Benturan Kepentingan di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sementara yang menetapkan kebijakan tersebut justru menjadi pihak yang melakukan pelanggaran, lanjutnya.

Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia periode 2015-2020, Yunus Husein, menyatakan bahwa sebenarnya banyak sekali aturan yang telah dikeluarkan dan disusun oleh pemerintah dalam urusan tata kelola sektor ini, juga mendorong korporasi untuk bersifat transparan terkait penyediaan informasi bagi publik. “Dalam prakteknya, nampaknya ada bagian yang luput diatur oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, khususnya terkait koordinasi yang transparan”. Contohnya, masih ditemui miskoordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga dapat menyebabkan sengketa dan overfishing yang diakibatkan oleh overlapping aturan. Pengenaan sanksi rasanya perlu digalakkan dengan sanksi pidana agar terasa efek jera. “Selama ini KKP mengenakan sanksi pidana hanya saat Operasi Tangkap Tangan saja, patroli, tangkap, proses. Tapi dari laporan-laporan, data, dan informasi itu tidak banyak dilakukan sehingga hasilnya hanya sebatas itu saja,” imbuhnya.

Manager Advisor IOJI Harimuddin mengatakan bahwa tata kelola ini bukan hanya persoalan pelik, tetapi persoalan kompleks yang masih butuh pembenahan. Praktek Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUUF) dan kapal asing tanpa izin yang masuk ke dalam perairan Indonesia masih terjadi. Namun, yang perlu disoroti adalah Kapal Ikan Indonesia (KII) juga kerap masuk ke wilayah Zona ekonomi eksklusif (ZEE) Papua Nugini. Faktor pendorongnya merupakan kebutuhan salah satu komoditas perikanan, yaitu cumi. Puluhan KII disinyalir masuk ke wilayah perairan Papua Nugini untuk memancing cumi guna diekspor ke negara Asia lainnya, seperti Cina. Terkait tata kelola, Harimuddin menyoroti setidaknya tiga hal yang perlu diawasi, yaitu mengenai kepatuhan pengusaha, penegakan hukum administrasi, dan penegakan hukum pidana yang harus memberi efek jera. “Korupsi tidak hanya soal kasus yang baru-baru ini terjadi saja, tetapi biasanya juga biasanya dalam pengurusan izin itu bisa satu dua kapal yang punya, nah ini kan tidak boleh sebetulnya,” tambahnya.

Sementara itu, juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi menerangkan bahwa Menteri KP sekarang sedang bekerja keras pasca kasus OTT yang menjerat eks Menteri KP sebelumnya, Edhy Prabowo. Salah satu cara untuk membenahi tata kelola sektor perikanan dan kelautan Indonesia adalah dengan menggunakan penangkapan ikan terukur untuk mengatasi permasalahan suap dan lainnya. Saat ini pemerintah fokus pada pembenahan tata kelola melalui strategi pendekatan basis output control yang menitikberatkan pada hasil produksi ikan. Sebenarnya, tujuan dari strategi ini adalah untuk menyejahterakan nelayan dan masyarakat. “KKP tidak dapat berjalan sendiri. Formalnya negara melalui Kementerian, birokrasi di sana, tetapi perlu bantuan dari para pihak, stakeholders, NGO, semuanya untuk menjaga laut kita. Kita tidak boleh alergi terhadap semua kritikan, saran. Kalau kita salah ya dibenahi,” jelas Wahyu pada penutup diskusi publik ini.

Berdasarkan temuan hasil penelitian yang telah disampaikan diatas, TI Indonesia Memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar:

  1. Melakukan integrasi data yang mutakhir antar Kementerian/Lembaga, dengan standar data yang mutakhir dan terintegrasi, yang akurat dan mutakhir tidak hanya akan berdampak pada potensi penerimaan negara yang lebih baik, tetapi juga akan memperbaiki pembangunan ekonomi kelautan yang berkelanjutan, sesuai dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.
  2. Harmonisasi kebijakan dan penegakan hukum yang efektif mengingat msih ada “missing links” dalam kebijakan rantai pasok sektor kelautan-perikanan sehingga banyak tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi besar seperti praktik penggandaan izin, under-reporting yang menyebabkan hilangnya penerimaan negara, dan kepatuhan pelaporan yang masih kurang.
  3. Membuka transparansi informasi korporasi agar tata kelola ini dapat berjalan dengan baik. Pemerintah perlu memberikan informasi bagi publik. Sektor perikanan masih memiliki kelemahan dalam pemberian informasi yang dapat diakses publik secara terbuka. Terlebih, informasi terkait pemilik manfaat akhir korporasi (beneficial owner) di sektor ini juga masih belum terbuka dan dapat diakses oleh publik

Narahubung:
Bellicia Angelica – 0812 1511 1685, bangelica@transparansi.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *