Politik Balas Budi dalam Pengangkatan Komisaris BUMN: Refleksi dan Tantangan

Pengisian jabatan untuk jajaran direksi dan komisaris di BUMN seharusnya didasarkan pada kebutuhan perusahaan.

Bagus Pradana – Peneliti Transparency International Indonesia

Dalam forum debat Dua Arah yang diselenggarakan Kompas TV (14/6/2024) yang membahas fenomena banyaknya politisi yang diangkat menjadi komisaris BUMN, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menyampaikan pernyataan reflektif. Ia mengatakan bahwa tidak ada aturan yang dilanggar terkait dengan pengangkatan komisaris BUMN.

Praktik itu biasa terjadi di masa transisi pemerintahan, dengan logika bahwa orang-orang politik yang diangkat ini diharapkan mampu menyinergikan arah perusahaan dengan visi pemerintahan baru. Walau berat, saya harus bersepakat dengan pendapat tersebut karena memang tidak ada aturan yang dilanggar.

Argumen hukum dari pernyataan itu cukup jelas. Mari kita periksa tiga perangkat regulasi tentang BUMN mulai dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN; Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN; hingga Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Setidaknya aturan tentang calon anggota dewan komisaris dan pengawas BUMN yang dinyatakan dalam tiga aturan tersebut harus bukan pengurus partai politik atau anggota legislatif sudah terpenuhi di sini.

Dalam konteks pengangkatan komisaris BUMN beberapa waktu lalu, memang tidak ditemukan calon yang masih aktif dalam kepengurusan parpol dan yang tercatat sebagai anggota legislatif, mulai dari Grace Natalie hingga Tsamara Amany.

Klientalisme politik

Namun, mengapa kesan balas budi itu terasa masih ada? Setidaknya mari kita renungkan pertanyaan itu. Mengutip Aspinal dan Barenschot (2019) dalam bukunya, Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientalisme dan Negara di Indonesia terbitan Pustaka Obor, tanpa menegasikan argumentasi hukum yang ada, sudut pandang yang lebih kritis didapati oleh para pengamat luar saat mengamati politik Indonesia selama dua dasawarsa terakhir. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa corak politik di Indonesia itu kental dengan praktik klientalisme politik.

Maksudnya adalah sudah barang umum di Indonesia, jika para pemilih, simpatisan politik, relawan kampanye, hingga aktor-aktor politik lain siap menyediakan dukungan elektoralnya bagi calon-calon tertentu dengan imbalan material entah berupa uang tunai, jika itu kepada pemilih individu ataupun bentuk kesepakatan politik lain, jika itu berkaitan dengan entitas politik yang lebih besar. Merujuk tesis yang diajukan oleh para pengamat luar ini, maka nuansa politik balas budi dalam fenomena pengangkatan politisi jadi komisaris BUMN kini bisa dimengerti.

Fenomena ini juga dikonfirmasi oleh analisis media yang dikeluarkan Kompas.id dalam bentuk video berita (13/6/2024) dikatakan bahwa sebenarnya praktik bagi-bagi kursi komisaris BUMN ini telah berlangsung cukup lama dan praktik ini dianggap normal selama masa transisi kekuasaan, yakni sejak era pemerintahan yang lalu.

”Revolving door”

Namun, memahami praktik tersebut bukan berarti kita harus menerimanya begitu saja. Jelas, ada beberapa aspek yang perlu kita kritisi dalam tata kelola BUMN di Indonesia, terutama terkait fenomena keluar-masuknya politisi ke dunia bisnis atau sebaliknya.

Transparency International memperkenalkan terminologi revolving door atau pintu putar untuk menggambarkan fenomena di mana individu berpindah dari satu posisi di politik menuju ke arena bisnis atau sebaliknya. Jika tidak diatur dengan baik, hal ini akan berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest).

Dalam konteks pengangkatan politisi menjadi komisaris BUMN besar kemungkinan individu yang diangkat akan merasa berutang budi pada sosok yang telah mengamanahkan posisi baru kepadanya. Besar pula risiko mereka yang diangkat sebagai petinggi di BUMN ini cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya ketimbang kepentingan perusahaan. Pada titik ini, praktik klientalisme politik yang mungkin oleh sebagian kalangan dianggap normal itu juga turut memperbesar peluang terjadinya risiko korupsi di tubuh BUMN.

Jelas, ada beberapa aspek yang perlu kita kritisi dalam tata kelola BUMN di Indonesia, terutama terkait fenomena keluar-masuknya politisi ke dunia bisnis atau sebaliknya.

Pengisian jabatan untuk jajaran direksi dan komisaris di BUMN seharusnya didasarkan pada kebutuhan perusahaan. Karena itu, seharusnya calon-calon yang maju adalah individu yang benar-benar memiliki kualifikasi yang dibutuhkan.

Apabila pengangkatan lebih didasarkan pada pertimbangan politik atau terindikasi adanya balas budi politik, besar kemungkinan bahwa orang yang diangkat tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk posisi tersebut. Kondisi ini juga dapat mengganggu kinerja BUMN.

Penunjukan jajaran direksi dan komisaris baru di BUMN hanya akan menjadi solusi jika sosok-sosok yang diangkat memiliki kualifikasi yang tepat dan pengalaman yang relevan di bidangnya. Mengangkat individu yang kompeten bisa membawa perspektif baru dan strategi yang efektif untuk memperbaiki kinerja perusahaan.

https://cdn-assetd.kompas.id/9VMpRQPFhiGfbkg5jnGXHf8nEJo=/1024x832/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F12%2Fe246179e-6a0e-4696-8a78-e0b719d30177_png.png

Menghindari tuduhan politik balas budi

Tanpa mengesampingkan soal kualifikasi para kandidat yang berlatar belakang politik dalam pengangkatan komisaris BUMN, karena saya rasa pengangkatan tersebut pasti telah melewati seleksi dan diskusi yang panjang dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) tiap-tiap BUMN serta telah dikonsultasikan kepada Menteri BUMN secara seksama. Ada beberapa ihwal yang menurut saya perlu ditinjau ulang oleh pemerintah, khususnya Menteri BUMN ketika mengangkat jajaran komisaris di BUMN untuk menghindari tuduhan politik balas budi.

Pertama, berikan penjelasan yang lebih mendetail mengenai aturan pengangkatan jajaran direksi dan komisaris BUMN. Terutama bagi kandidat yang memiliki latar belakang politik baik yang tercatat sebagai pengurus partai politik, simpatisan, maupun relawan politik. Sebab, dalam beleid UU BUMN yang dikeluarkan oleh Menteri BUMN belum diatur secara tegas mengenai latar belakang politik ini.

Kedua, pemerintah harus mulai mempertimbangkan penyediaan regulasi yang mengatur tentang praktik revolving door atau perpindahan individu antararena, seperti aturan tentang masa tenggang (cooling off period) sebelum menjabat dan setelah menjabat. Individu yang telah meninggalkan posisi politik atau pemerintahan harus menjalani masa tenggang tertentu sebelum dapat diangkat menjadi komisaris atau direksi di BUMN.

Terakhir, pemerintah, dalam hal ini Menteri BUMN, ke depan, juga harus mempertimbangkan proses seleksi pengangkatan komisaris untuk dipublikasikan secara terbuka, termasuk kriteria seleksi, daftar calon yang diusulkan, dan hasil penilaian.

Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas Edisi 9 Juli 2024 dengan judul Politik Balas Budi dalam Pengangkatan Komisaris BUMN: Refleksi dan Tantangan 

Sumber: Kompas