
Siaran Pers Bersama
Trend Asia – Transparency International Indonesia – WALHI – YLBHI – PBHI-WALHI Riau-LBH Pekanbaru-KIARA-KontraS-PPMAN
Jakarta, 26 September 2024 – Sudah setahun sejak peristiwa berdarah di Rempang, Kepulauan Riau, ketika ribuan aparat gabungan masuk ke kampung adat dan melakukan kekerasan secara brutal kepada masyarakat yang menolak relokasi proyek eco-city Rempang, intimidasi terhadap masyarakat masih terjadi. Terakhir, belasan orang berpakaian preman mengintimidasi dan melakukan pemukulan terhadap warga.
Kamis, 26 September 2024, Trend Asia dan Transparency International Indonesia (TII) mempublikasi aktor di balik Proyek eco-city yang Rempang kental dengan pelanggaran HAM, dugaan kasus korupsi, hingga upaya penyembunyian perusahaan di negara suaka pajak.
“Persoalan Rempang merupakan desain dari negara untuk menggusur rakyatnya. Tadinya kawasan ini hanya untuk tempat wisata, yang diduga juga dibangun menjadi tempat wisata yang tidak sesuai dengan budaya-budaya warga, lalu sekarang diubah menjadi industri kaca. Riset ini memperkuat bukti bahwa negara mengakomodir kepentingan swasta karena proyek Rempang ini tadinya merupakan proyek swasta, tapi kini menjadi Proyek Strategis Nasional,” tutur Boy Even Sembiring dari WALHI Riau.
Berdasarkan temuan riset Trend Asia dan TII, Tomy Winata, bos Artha Graha group, diduga menjadi dalang dalam konflik yang terjadi di Pulau Rempang. Tomy Winata merupakan pengusaha yang dikenal kerap berkongsi dengan militer dalam berbagai usahanya.
Melalui PT Makmur Elok Graha, perusahaan ini terafiliasi dengan Artha Graha Group, dan kemudian bekerja sama dengan Xinyi International Investment Limited untuk mengembangkan bisnis kaca panel surya. Pemilik saham PT MEG merupakan Grideye Resources Limited, sebuah perusahaan yang berdiri pada 9 Mei 2013 dan terdaftar di British Virgin Island, sebuah negara suaka pajak di Karibia.
“Grideye Resources Limited memiliki anak perusahaan Banyan Solution Enterprise Pte Limited yang berbasis di Singapura. Dalam kaitannya dengan Rempang, Banyan memiliki 40% saham di PT Wisesa Makmur Raya, dan PT Wisesa Makmur Raya inilah yang memiliki 75% saham di PT MEG dan 25% sisanya milik PT Inti Bahana Indah Semesta. Keduanya terafiliasi dengan Artha Graha Group,” ujar Zakki Amali, Manager Riset dan Investigasi Trend Asia.
Lok Teng Teng Dorothy, sekretaris Banyan Solution Enterprise, merupakan salah satu nama yang pernah tersebut dalam skandal Offshore Leaks dari International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ). Ia berperan sebagai direktur dan pemegang saham sejumlah perusahaan berbasis di Singapura dan British Virgin Island (BVI).
“Pertalian antara proyek Rempang dengan negara suaka pajak tidak hanya melalui Banyan Solution Enterprise. Dalam struktur perusahaan PT MEG yang diakses pada 23 Juli 2024, kami menemukan adanya karyawan bernama Michael Wilson yang menjabat sebagai Head of Business Development and Strategic Partnership, tapi pada September 2024, nama ini hilang. Dalam data Grideye Resources Ltd yang diakses 2023 melalui Financial Service Commission British Virgin Islands, terdapat nama Direktur Individu tunggal bernama Michael Wilson. Kami menduga mereka adalah orang yang sama,” tutur Zakki Amali.
Dengan berbagai macam permasalahan yang ada di Rempang, kita melihat adanya kontradiksi. Pendirian Xinyi di Pulau Rempang dianggap sebagai salah satu solusi untuk memperkuat rantai pasok energi terbarukan dalam kerangka JETP, tapi investasi itu jauh dari prinsip berkeadilan yang seharusnya menjadi prinsip utama JETP.
Keberadaan Xinyi termasuk salah satu rencana pemerintah untuk menggenjot investasi rantai pasok energi terbarukan dengan memproduksi kaca untuk panel surya. Dengan demikian ekosistem rantai pasok di Indonesia akan terbentuk di Batam di mana ada rencana pembangunan PLTS. Bahkan bauran energi terbarukan di Batam yang ditargetkan mencapai 35% pada tahun 2032. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Batam 2023-2032, terdapat usulan pembangunan PLTS sebesar 126 MW atau 14,6 persen dari 860 MW total kapasitas tambahan yang diusulkan dalam 10 tahun. Proyek penyediaan listrik yang tersebar di Kepulauan Riau itu tidak hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga ekspor listrik ke Singapura sebagai implementasi ASEAN Power Grid (APG) yang diperkirakan terjadi tahun 2027.
“Di sini kita melihat bahwa proyek energi hijau yang berkaitan dengan Pulau Rempang bukanlah proyek yang memenuhi prinsip berkeadilan dalam JETP karena banyak melanggar hak-hak warga. Yang diketahui masyarakat Rempang, pembangunan eco-city untuk pariwisata, tapi ternyata ada pembangunan industri di dalamnya. Dalam transisi energi, seharusnya tidak hanya melihat model teknologi baru yang digunakan, tapi dalam prosesnya, penyediaan energi harus berkeadilan bagi lingkungan dan juga bagi masyarakat sekitar. Apalagi proyek Rempang juga masih memiliki skandal dugaan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp3,6 triliun. Alih-alih mengusut kasus korupsi tersebut, pemerintah malah menetapkan proyek Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN),” ujar Bagus Pradana, Peneliti Transparency International Indonesia.
Dampak PSN Rempang bagi Masyarakat dan Lingkungan
Proyek Pulau Rempang membawa mimpi buruk bagi warga. Masih teringat dalam memori Rusiana bagaimana Ia melihat neneknya dipukul aparat hingga mengalami patah tulang di tangan pada 18 September 2024 lalu. Padahal kala itu, neneknya hanya berniat melerai, tapi preman PT MEG dengan badan yang besar dan berotot malah menjotos neneknya.
“Saat itu, kami para perempuan menemui PT MEG yang datang lagi ke kampung kami. Ada enam perempuan yang menemui karena kalau yang menemui lelaki, dikhawatirkan akan mudah tersulut emosi. Tapi pihak PT MEG malah berbahasa kasar dan membentak pada kami yang saat itu hendak merekam. Mereka bilang, ‘jangan merekam, anjing,’. Padahal kami sudah sopan bertanya. Di situ orang MEG membawa pisau dan ada polisi., dan kami melapor pada polisi yang ada di situ Tapi orang PT MEG bilang kalau mereka hendak bercocok tanam. Kan tidak masuk akal. Polisi di situ diam saja, padahal kami sudah melapor. Coba misalnya yang membawa pisau itu warga dan memang untuk bercocok tanam, pasti kami sudah dikriminalisasi,” kata Rusiana (33), warga Rempang.
Cerita serupa juga disampaikan oleh Sukri (41) warga Rempang. Sukri yang kala itu datang untuk melerai pertengkaran malah mendapat pukulan dari preman. Sukri juga menceritakan bahwa Ia melihat langsung ibu-ibu dan nenek-nenek dipukul oleh para preman yang berbadan lebih besar.
“Kami warga Rempang itu rindu hidup damai dan tentram, tanpa ada ancaman sama sekali, dan tidak saling berkelahi. Kami di Rempang ini hidup dari nelayan dan bertani, kalau ada konflik, kami tidak tenang dalam bekerja. Setiap bekerja, kami selalu takut kalau sesuatu terjadi. Polisi juga sebagai pihak yang seharusnya bisa melindungi warganya, justru mendukung perusahaan. Padahal intimidasi dari perusahaan kepada warga tidak hanya sekali-dua kali,” tutur Sukri.
Trauma kolektif di Pulau Rempang pun masih dirasakan oleh anak-anak. Kemunculan banyak pos-pos keamanan di Pulau Rempang menjadikan anak-anak menjadi risih.
“Ketika membahas transisi energi, pemerintah seringkali hanya menggantikan batubara dengan sumber energi lainnya. Padahal ada yang namanya prinsip berkeadilan. Ketika menciptakan suatu pembangunan, pemerintah menggunakan narasi investasi, selalu ada ‘harga’ yang harus dibayar, seperti kekerasan terhadap warga, intimidasi, trauma psikologis dalam meneror warga dan dianggap menolak pembangunan. Padahal mereka tidak menolak investasi, mereka menolak kampungnya digusur dan dipindahkan, karena itu akan menghilangkan nilai-nilai adat warga,” tutur Wira Ananda Manalu dari LBH Pekanbaru.
“PBHI mencatat bahwa pada tahun 2023 ada ratusan PSN yang dijalankan oleh rezim Jokowi dan 31 di antaranya berada di Pulau Sumatera dengan nilai investasi mencapai lebih dari Rp800 ribu triliun. Tapi selalu melihat pola yang sama pada proyek PSN yakni pengamanan berlebihan. Warga yang menolak proyek tersebut dianggap sebagai musuh negara, lalu mengerahkan aparat berlebihan, termasuk pengerahan TNI. Proyek Rempang merupakan salah satu di antaranya banyaknya kasus state capture yakni bagaimana kepentingan swasta atau pengusaha kemudian menjadi kepentingan negara,” tutup Deta Arta Sari dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Narahubung:
Zakki Amali, Manager Riset dan Investigasi Trend Asia (+62 877‑8750‑3000)
Bagus Pradana, Peneliti Transparency International Indonesia (+62 812-8259-5836)
Download laporan lengkap di sini