Proyeksi dan Tantangan Transparansi dalam Implementasi Ekonomi Biru yang Adil dan Berkelanjutan

Komitmen pemerintah untuk menjaga dan mengelola sumber daya di sektor kelautan menjadi salah satu pilar utama untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun komitmen tersebut mengalami tantangan berat di tengah melemahnya upaya pemberantasan korupsi. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 sebesar 34 mengindikasikan bahwa korupsi, pencucian uang, dan penggelapan pajak merupakan penyebab utama dari menurunnya kualitas pelayanan publik yang prima dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Sektor kelautan yang diarahkan sebagai tumpuan utama untuk menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia kemudian diterjemahkan oleh pemerintah melalui program yang disebut sebagai blue economy (ekonomi biru). Ada 5 (lima) program yang dicanangkan oleh pemerintah yakni memperluas konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pembangunan budidaya laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan, pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau – pulau kecil, dan pembersihan sampah plastik di laut melalui Gerakan partisipasi nelayan atau Bulan Cinta Laut.

Pengawalan tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan berbasis ekonomi biru perlu diperketat mengingat penerjemahan ekonomi biru cukup jauh berbeda dengan konsep dan prinsip awal yang dikembangkan oleh Gunter Pauli (2010). Gunter Pauli tidak sekadar menginterpretasikan ekonomi biru sebagai kelautan dan perikanan, tetapi jauh lebih memandang ekonomi yang mementingkan lokalitas, keberlanjutan, dan menghormati ekosistem. Oleh karena itu, program ekonomi biru yang diinisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu ditelaah lebih jauh untuk menilai sejauh mana program tersebut menjadi solusi untuk menyelesaikan problem dalam tata kelola sumber daya kelautan di Indonesia. Setidaknya terdapat 4 (empat) potensi “ruang gelap” di sektor kelautan dan perikanan yakni (1) praktik penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan dan menyalahi aturan (illegal, unreported and unregulated fishing), (2) pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, (3) potensi korupsi, kolusi dan nepotisme, dan (4) potensi inefisiensi dalam tata kelola. Lembaga Prakarsa (2022) melakukan kajian untuk mengidentifikasi aliran keuangan gelap (Illicit Financial Flows, IFF) dan menghitung jumlah aliran keuangan gelap di sektor kelautan dan perikanan. Dalam kajian tersebut ditemukan fakta bahwa aliran keuangan gelap di sektor tersebut  telah menyebabkan berkurangnya pendapatan negara. Hal tersebut dapat dilihat melalui tren kelebihan penagihan ekspor (under-invoicing) dan kekurangan penagihan impor (over-invoicing) perikanan menurun signifikan dalam 10 tahun terakhir. Jika dikalkulasi rata-rata kehilangan penerimaan negara dari pajak yang tidak tercatat dari praktik IFF ini sebesar 2,7 triliun rupiah. Jumlah kerugian ini tentu akan jauh lebih besar jika menghitung kerugian ekologis yang ditimbulkan.

Dari aspek regulasi, UU Cipta Kerja dalam beberapa ketentuan justru berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem. Ada potensi peningkatan level eksploitasi ikan dari fully dan over exploitation menjadi kritis. Bahkan ada ketentuan yang dapat digunakan untuk mengubah status zona inti kawasan konservasi nasional. Dari sisi sosial, UU Cipta Kerja juga berupaya mengaburkan definisi nelayan kecil sehingga dapat menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan berpotensi menimbulkan konflik antara nelayan kecil dan industri/lokal.

Rekomendasi

Senin dan Selasa, 20 – 21 Maret 2023, Transparency International Indonesia bersama dengan Destructive Fishing Watch Indonesia dan Pusat Studi Agraria IPB University telah mengadakan diskusi masyarakat sipil serta seminar nasional yang mendiskusikan tentang proyeksi dan tantangan dalam implementasi program “ekonomi biru” yang adil dan transparan di Indonesia. Dialog ini memfasilitasi pemerintah, masyarakat sipil, asosiasi profesi, kelompok nelayan dan akademisi untuk berkomunikasi tentang pentingnya transparansi dan berbagai tantangan dalam implementasi program ekonomi biru. Tujuan dari acara ini adalah memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah agar implementasi program ekonomi biru bisa berdampak positif baik bagi pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan (ekologis). Seminar nasional tanggal 21 Maret 2023 dihadiri oleh beberapa perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan pembicara kunci Dr. Budi Sulistyo, Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Kelembagaan. “Ekonomi Biru ini merupakan bagian upaya memperbaiki tata kelola sumber daya laut kepentingan Indonesia. KKP juga telah membuat command center untuk melakukan pengawasan, pendataan dan sistemnya akan semakin diperbaiki,” ujarnya. Setelah itu, TI Indonesia bersama DFW Indonesia dan PSA IPB juga menyampaikan kertas kebijakan bertajuk Rambu-Rambu Kebijakan Ekonomi BIru di Indonesia yang secara garis besar menyoroti bahwa ekonomi biru yang ada di Indonesia terkesan masih tidak berpihak pada subjek utamanya, masyarakat pesisir lokal dan nelayan kecil tradisional. Selain pihak pemerintah, diskusi publik yang dimoderatori oleh Natalia Soebagjo ini juga menghadirkan perwakilan nelayan dari Pulau Pari, Stephanie Juwana (direktur Indonesia Ocean Justice Initiative), serta Christine Kombong (Head of Impact dari JALA).

Berangkat dari data, informasi, kajian, dan berbagai studi yang disampaikan dalam forum ini menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

Pemerintah dan/atau Regulator

  1. Tata kelola kelautan-perikanan berbasis ekonomi biru yang penerjemahannya bukan sekadar menggunakan kacamata pertumbuhan ekonomi, tetapi juga fokus pada pemerataan, keberpihakan pada masyarakat, dan berasaskan keberlanjutan bagi lingkungan dan ekonomi yang inklusif.
  2. Monitoring, pengawasan, dan penegakkan hukum, dari perizinan hingga evaluasi implementasi kebijakan ekonomi biru– dan peka terhadap kearifan lokal.
  3. Transformasi digital dan teknologi (interoperabilitas dan integrasi data, kecerdasan buatan, dan sebagainya) perlu menjadi perhatian KKP untuk integrasi data yang mutakhir– hal paling dasar untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas K/L terkait.
  4. Harmonisasi dan formulasi kebijakan ekonomi biru ala pemerintah yang kolaboratif, dari Kementerian di level pusat hingga pemerintah provinsi dan pelaksana teknis di daerah agar kebijakan ekonomi biru ini masih dalam koridor yang benar.
  5. Pelibatan masyarakat yang partisipatif dalam perumusan aturan dan turunan kebijakan agar aturan yang ada berpihak pada masyarakat, tidak sekadar kepentingan nelayan dan pengusaha skala besar.
  6. Keresahan masyarakat dan nelayan kecil tentang berbagai hal tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan aturan all-in-one. Perlu pendekatan yang adaptif dan berangkat dari kondisi riil lingkungan serta memperhatikan hak dan kebutuhan masyarakat.

Masyarakat Sipil

  1. Mengawal Pemerintah dalam implementasi kebijakan ekonomi biru yang berpihak pada masyarakat dan nelayan tradisional/kecil.
  2. Menjalankan pengawasan yang ketat kepada pemerintah dalam proses monitoring dan penegakan hukum terkait tata kelola kelautan dan perikanan.
  3. Advokasi penerjemahan ekonomi biru yang sifatnya tidak hanya definisi normatif, tetapi kembali pada definisi yang kebijakan ekonomi biru yang adil dan tidak berujung pada pertumbuhan biru dan perampasan ruang.
  4. Kerja-kerja kolaborasi yang tidak hanya sebatas di ruang-ruang tertutup, tetapi masyarakat sipil juga perlu turun ke lapangan untuk merangkul dan melihat realita yang ada.

Unduh Paparan Narasumber:

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *