Jakarta, 16 Juni 2021
Pengangkatan Abdee Slank sebagai komisaris PT Telkom Tbk memunculkan kontroversi dan perdebatan soal komisaris BUMN. Lebih dari sekedar alasan kriteria dan mengapa Abdee Slank yang dipilih, pengelolaan BUMN yang profesional menjadi pertanyaan besar.
Merespon kontroversi komisaris BUMN, Sekjen Transparency International Indonesia Danang Widoyoko mengatakan, “BUMN masih rawan intervensi kepentingan politik. Faktanya hanya 17,63% komisaris BUMN yang dipilih dari mereka dengan latar belakang profesional, selebihnya, 82,37% justru berdasarkan pertimbangan politis”.
Dalam konferensi pers “Menimbang Kinerja BUMN” pada 16 Juni 2021, Sekjen TI Danang Widoyoko memaparkan penelitian TI tentang latar belakang komisaris BUMN. Dari 482 komisaris BUMN hingga Maret 2021 saat penelitian dilakukan, 51,66% dari birokrasi, 14,73% dari kalangan politisi, aparat militer 6,02%, aparat penegak hukum 5,81% dan jabatan strategis 4,15%.
Jabatan strategis merujuk pada komisaris dengan latar belakang mantan menteri, eks pimpinan badan dan komisi negara serta jabatan tinggi negara lainnya. Sedangkan APH terdiri dari jaksa (16 orang) dan polisi (12 orang). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Dari sejumlah kementerian yang menempatkan personelnya sebagai komisaris BUMN, Danang Widoyoko menunjukkan Kemenkeu dan Kementerian BUMN paling banyak menempatkan pejabatnya sebagai komisaris BUMN.
Sedangkan politisi meliputi relawan pendukung Presiden, aktivis partai politik dan anggota Ormas. Grafik di bawah ini menunjukkan komposisi komisaris berlatarbelakang politisi.
Besarnya persentase komisaris non-profesional menggambarkan persoalan lain yang terjadi di luar BUMN itu sendiri. Danang Widoyoko menyatakan,”Akar masalahnya, untuk birokrasi, pada sistem penggajian. Penempatan pejabat sebagai komisaris BUMN adalah untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang sah di luar gaji. Tidak adanya sistem penggajian single salary membuat BUMN mendapatkan tugas membantu penggajian para pejabat”. Demikian juga penunjukan komisaris dari kalangan relawan dan politisi merefleksikan persoalan pendanaan politik. “Absennya pengaturan dana politik yang transparan dan akuntabel serta minimnya dukungan negara untuk kegiatan politik menjadi BUMN mendapat tugas untuk turut membantu kegiatan politik. Baik dengan menggaji para relawan dan politisi lain maupun berbagai pengeluaran lain untuk kegiatan politik”, kata Danang Widoyoko.
Sely Martini, expert dari Visi Integritas yang hadir dalam konferensi pers menyatakan perlunya BUMN untuk semakin transparan dan akuntabel. Sely Martini menyoroti kuatnya relasi politik dalam pengelolaan BUMN sepanjang lintasan sejarah, mulai dari Indonesianisasi perusahaan asing di awal kemerdekaan hingga nasionalisasi perusahaan Belanda oleh Soekarno. “Sejarah pengelolaan BUMN menunjukkan kuatnya faktor politik. Oleh karena itu BUMN harus transparan dan akuntabel”, kata Sely Martini.
Untuk mencegah korupsi dan praktik memburu rente di BUMN, Sely Martini yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Sekolah Bisnis dan Managemen ITB menyatakan BUMN perlu menerapkan ISO 370001 dan Sistem Managemen Anti Penyuapan. Tanpa instrumen pencegahan korupsi tersebut, BUMN akan semakin rentan terhadap praktik korupsi.
Berdasarkan kajian tentang komisaris BUMN tersebut, Transparency International Indonesia merekomendasikan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan sebagai berikut:
1. Memperbaiki sistem penggajian birokrasi, terutama untuk segera menerapkan single salary system agar pegawai pemerintah tidak mencari uang tambahan dari perjalanan dinas dan kegiatan pemerintah lainnya. Bagi pegawai di level atas, single salary tidak memaksa mereka untuk mencari-cari posisi sebagai komisaris BUMN.
2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pendanaan politik serta meningkatkan bantuan negara kepada partai politik dan kegiatan kampanye. Tanpa bantuan negara yang disertai dengan syarat transparansi dan akuntabilitas, relawan dan aktivis parpol akan mencari-cari posisi sebagai komisaris BUMN untuk mendanai kegiatan politik dan kampanye.
3. Menegakkan independen peradilan agar polisi dan jaksa tidak mencari-cari posisi sebagai komisaris BUMN. Dengan penegakan hukum yang kredibel serta peradilan yang bersih dari korupsi, BUMN tidak perlu mengalokasikan kursi komisaris kepada penegak hukum untuk menghindari resiko hukum dalam bisnisnya.
4. Melanjutkan reformasi sektor pertahanan. Masuknya personel militer ke BUMN membuat personel TNI semakin jauh dari profesionalitas karena pada akhirnya mereka akan mengejar posisi di BUMN sebagai komisaris daripada menjalankan tugas profesionalnya sebagai alat pertahanan negara.
5. Kementerian BUMN harus meningkatkan tata kelola BUMN. Banyaknya BUMN yang tidak mempublikasikan laporan keuangan dan laporan tahunan menunjukkan buruknya tata kelola BUMN.
Kontak Person:
– J. Danang Widoyoko, TI Indonesia (dwidoyoko@transparansi.id)
– Sely Martiini, Visi Integritas (selymartini@gmail.com)
Downoload materi presentasi disini