Mencegah Korupsi dalam Skema Pensiun Dini PLTU di Indonesia

Jakarta, 31 Oktober 2023

Di negara berkembang, transisi energi kotor ke energi bersih menjadi sebuah dilema, termasuk Indonesia. Pada satu sisi ada kepentingan ekonomi yang harus diakomodasi, namun ada kepentingan ekologis jangka panjang yang mesti diutamakan. Skema pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah salah satu kebijakan yang dilematis tersebut. Pada satu sisi ada ketergantungan terhadap batubara sebagai penyokong utama penyediaan energi, namun disisi lain berkelindan dengan kuatnya relasi politik para pebisnis tambang. Kuatnya kepentingan batubara dalam peta kekuasaan politik ekonomi Indonesia tersebut mengaburkan batas antara kepentingan usaha dengan kebijakan publik terkait pengurangan emisi. Pada konteks inilah skema pensiun dini PLTU terancam dikorupsi.

Skema pensiun atau pensiun dini PLTU oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mencapai Net-Zero-Emission (NZE) pada tahun 2060, sebetulnya baru diluncurkan akhir tahun 2022 bersamaan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Sebagai tindak lanjut lahirlah Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Perpres ini tidak hanya bicara soal pengakhiran masa operasional PLTU, tetapi juga melarang adanya PLTU baru dan membatasi operasional PLTU sampai tahun 2050. Namun pengecualian terhadap larangan PLTU baru tidak berlaku jika telah ada dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang telah disusun sebelumnya.

Dalam konteks Indonesia, ketergantungan terhadap batubara menghadapi tantangan dari aspek ekonomi. Dengan cadangan batubara yang melimpah, batubara menjadi penyumbang devisa terbesar. Bahkan mayoritas PLTU yang beroperasi di Indonesia masih berusia muda, dan ada juga yang baru beroperasi pada tahun 2022. Pada aspek ekonomi politik, tata kelola sektor pertambangan yang buruk selalu dimanfaatkan oleh para pelaku usaha dengan memanfaatkan jejaring kekuasaan politik atau bahkan menjadi bagian dari kekuasaan politik itu sendiri. Pada konteks inilah TI Indonesia menilai kebijakan skema pensiun dini PLTU memiliki risiko korupsi yang sangat tinggi. Setidaknya hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus korupsi yang terkait dengan pembangunan PLTU.

Ketergantungan terhadap batubara sebenarnya justru menimbulkan kerugian jangka panjang. Selama ini pemanfaatan batubara selalu dianggap lebih murah, padahal ada risiko jangka panjang yang harus dibayar mahal yakni kerusakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Termasuk semakin besarnya subsidi negara disektor energi, termasuk terhadap batubara.

Pengalaman dari negara lain dapat memandu Indonesia dalam penerapan kebijakan pensiun dini PLTU. Di Amerika Serikat dan Belanda, pensiun dini PLTU terjadi karena faktor ekonomi dan regulasi/kebijakan lingkungan hidup yang semakin ketat sehingga membuat operasional PLTU menjadi mahal. Ini lebih menguntungkan pebisnis yang menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT), sehingga pebisnis PLTU menutup sendiri operasinya. Namun ada juga yang tetap mempertahankan bisnis PLTU karena pengaruh politik dan ketersediaan subsidi dari negara. Di Filipina, dengan kondisi ekonomi dan politik yang kurang lebih sama dengan Indonesia muncul kebijakan moratorium pembangunan PLTU tahun 2020. Pilihan untuk melakukan pensiun dini dilakukan secara sukarela, bahkan tanpa kompensasi/subsidi dari negara. Di Chili, kebijakan pensiun dini PLTU tidak hanya disebabkan oleh tekanan kebijakan iklim internasional, tetapi juga karena melimpahnya sumber energi terbarukan di dalam negeri. Hal paling menarik di Chili adalah adanya pembentukan lembaga multistakeholder pada tahun 2018 yang menghasilkan laporan dan menjadi dasar dari skema keluar dari ketergantungan batubara, antisipasi dampaknya pada sosial, lingkungan dan ekonomi serta rencana tahapan pensiun dini semua PLTU. Semua ini kemudian berakhir pada kesepakatan menutup PLTU secara sukarela secara bertahap. Terakhir di India yang tidak memiliki tenggat waktu yang tegas terkait penutupan PLTU. Hal ini disebabkan pebisnis batubara mempunyai kekuatan besar dalam peta politik India sehingga sangat menentukan arah dalam kebijakan energi di India. Penutupan PLTU lebih disebabkan permintaan yang turun terhadap konsumsi listrik, bukan dari kebijakan negara.

Jika menilai kondisi Indonesia dan pengalaman di negara lain, kebijakan pensiun dini PLTU harus dilakukan dengan skema mandatori. Sebab inisiatif ini sepertinya tidak mungkin dari pemiliknya. Maka negara harus hadir untuk memastikan kebijakan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan tentu ada tahapan yang harus dilakukan terkait pensiun dini PLTU, mulai dari pembentukan kebijakan, pelaksanaan, hingga pengawasan pasca pensiun dini PLTU dilakukan. Kesemua tahapan ini memiliki risiko terjadinya korupsi. Dalam proses pembuatan kebijakan, pada umumnya selalu berhadapan dengan kuatnya konflik kepentingan antara negara dengan pelaku usaha. Dalam laporan Corporate Political Political Engagement Index (2021) yang diterbitkan TI Indonesia menemukan bahwa 40 dari 90 perusahaan yang memiliki dan mengoperasikan PLTU memiliki petinggi perusahaan yang dikategorikan sebagai Politically-Exposed Persons (PEPs). Tak sedikit pejabat publik yang memiliki bisnis batubara atau setidaknya para pebisnis batubara tersebut memiliki pengaruh dan akses langsung pada pembuatan kebijakan energi. Di sisi lain, pemain energi terbarukan juga masih berputar dan terkoneksi dengan pemain batubara (atau pemain migas). Dalam pelaksanaan pensiun dini PLTU, ada risiko korupsi pada masa jeda implementasi kebjiakan pensiun dini, sebab ada fasilitas negara akan muncul dalam banyak hal. Seperti pemilihan PLTU yang dipensiun-dinikan, transparansi terkait skema pendanaan lain (misalnya pasar karbon), pengelolaan aset PLTU yang pensiun dini, pemberian perlakuan istimewa baik pada PLTU yang operasionalnya dipercepat pengakhirannya atau yang dihentikan dengan digantikan pembangkit energi terbarukan. Selain itu, pada tahapan ini dimungkinkan adanya ketidaksepakatan dalam soal kompensasi atau beban tanggung jawab yang dialihkan. Risiko korupsi bisa hadir ketika ada pihak yang mengintervensi ke dalam proses penyelesaian sengketa ini, baik pihak yang terlibat langsung, maupun pihak lain yang menjadi broker atau mereka yang mendagangkan pengaruhnya, tentunya dengan imbalan tertentu (suap). Terakhir pasca pensiun dini PLTU terkait pengawasan ketat dan tegas pada komitmen pemilik PLTU. Kewajiban pemilik PLTU, baik kepada negara, tenaga kerja, maupun kepada komunitas sekitar harus bisa diselesaikan dengan baik. Termasuk jika ada “kewajiban” menggantikan PLTU dengan membangun pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan untuk menggantikan kapasitas listrik yang hilang bersama berhentinya PLTU. Praktik suap terhadap pemenuhan kewajiban ini kepada pengawas lingkungan hidup sangat mungkin terjadi.

Berdasarkan seluruh kondisi diatas, TI Indonesia merekomendasikan;

  1. Membuka ruang partisipasi seluas mungkin dalam proses penyusunan kebijakan pensiun dini PLTU. Terutama keterlibatan masyarakat terdampak dan para pekerja di sektor PLTU. Berbagai pihak harus dilibatkan sedini mungkin dan memiliki suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan.
  2. Agar keterwakilan masyarakat terdampak lebih besar lagi, perlu ada penerjemahan istilah dan jargon terkait skema pensiun dini PLTU termasuk alasan kenapa harus dilakukan dan keuntungannya bagi masyarakat, Indonesia dan global. Penerjemahan menjadi bahasa Indonesia yang mudah diakses dan dipahami menjadi kunci awal dari partisipasi publik.
  3. Memasukkan pihak masyarakat terdampak di dalam pihak penerima manfaat dalam skema pensiun-dini PLTU (tidak hanya pihak investor, pemilik PLTU, pekerja PLTU dan pihak ketiga lain yang menanggung biaya pensiun dini PLTU).
  4. Partisipasi para pihak tidak hanya dilakukan dalam proses FGD sekali jalan. Pemerintah dan penyusun kebijakan skema pensiun dini PLTU harus proaktif mendatangi atau membuat saluran aspirasi yang lebih mudah terjangkau oleh berbagai pihak.
  5. Pemerintah harus mulai membuka data-data terkait dengan PLTU atau pemutakhiran data–termasuk data emisi CO2 per PLTU dan pemilik manfaat–yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pihak.
  6. Para penegak hukum menyediakan saluran “whistleblower” khusus terkait dengan skema pensiun dini PLTU dan/atau membuat satgas khusus untuk memonitor proses pensiun dini PLTU.

CP. Gita Atikah: gatikah@transparansi.id

Download Laporan lengkap di sini
Download Factsheet di sini
Rekaman Live streaming dapat disaksikan di video berikut:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *