Besarnya intervensi politik terhadap kekuasaan kehakiman menjadi awal robohnya independensi penjaga konstitusi. Dari aspek budaya hukum, publik disuguhi situasi yang memperlihatkan betapa bobroknya hukum di Indonesia.
Setali tiga uang dengan DPR, Presiden Joko Widodo akhirnya melantik Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi menggantikan Aswanto yang dicopot secara tiba-tiba dalam Rapat Paripurna DPR.
Keputusan melantik Guntur sebagai hakim konstitusi memperlihatkan kontradiksi ucapan Presiden yang menyampaikan bahwa proses penggantian harus sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan penggantian hakim konstitusi kali ini bermasalah. Pertama, secara politik penggantian dilakukan dengan mengemukakan alasan yang tak masuk akal. DPR melalui Ketua Komisi III mengungkapkan, penggantian ini dilakukan karena Aswanto dinilai tak sejalan dengan sikap DPR terhadap suatu produk UU yang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan ini menunjukkan rendahnya kapasitas DPR dalam memahami independensi kekuasaan peradilan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Padahal, pembentukan MK sejak awal memang ditujukan untuk mengawasi dan mengoreksi produk legislasi DPR dan Presiden, bukan sebagai ”alat” DPR dan Presiden.
Ini semakin menunjukkan betapa Presiden dan DPR tak memahami bagaimana konsep keseimbangan kekuasaan (check and balance) yang seharusnya dijaga agar tak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Keputusan melantik Guntur sebagai hakim konstitusi memperlihatkan kontradiksi ucapan Presiden yang menyampaikan bahwa proses penggantian harus sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.
Kedua, ada penyikapan yang berbeda atas surat Ketua MK terkait perubahan UU MK kepada tiga lembaga pengusul hakim konstitusi, yakni DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA). Dari ketiga lembaga ini, hanya DPR yang tiba-tiba melakukan penggantian terhadap hakim konstitusi.
MA dalam pernyataannya menyampaikan, surat itu hanyalah sebatas konfirmasi untuk melanjutkan masa jabatan hakim konstitusi usulan MA. Sementara pemerintah, dalam hal ini Menko Polhukam, menyebutkan, kalaupun nanti ada penggantian hakim konstitusi yang berasal dari eksekutif, akan dilakukan melalui prosedur dan mekanisme tertentu.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan suatu hal yang tak bisa ditawar. Apalagi secara tak langsung menempatkan institusi kehakiman sebagai subordinasi dan alat legitimasi kebijakan yang dikeluarkan institusi politik.
Jika hakim konstitusi harus sepaham dengan lembaga pengusulnya, yakni DPR, Presiden, dan MA, hal yang sama akan terjadi juga terhadap lembaga-lembaga negara yang dipilih melalui proses politik. Sebut saja komisi-komisi negara, anggota lembaga negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan seterusnya.
Kekeliruan dalam memaknai kebebasan institusi peradilan yang jamak disebut independensi, kemandirian, tak berpihak, tentu sangat membahayakan karena hukum akan sangat mudah digunakan sebagai alat kekuasaan. Ini semakin tampak nyata ketika alasan pemberhentian hakim didasarkan pada perbedaan pandangan terhadap suatu ketentuan atau UU.
Padahal, mahkota independensi kekuasaan kehakiman justru bergantung pada pelaksanaan tugas peradilannya. Dalam bukunya, mantan Ketua MA Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas, Negara Hukum (1980), pernah menyampaikan, independence mengandung makna tentang kebebasan dalam menjalankan tugas peradilan (within the exercise of the judicial function).
Dengan situasi MK hari ini, semakin terlihat pula kontradiksi dari perubahan UU MK yang awalnya dimaksudkan untuk memperkuat institusi peradilan melalui perubahan (perpanjangan) masa jabatan hakim, tetapi dalam praktiknya justru digunakan DPR dan Presiden untuk melakukan penggantian dan pengesahan terhadap hakim konstitusi melalui proses yang melanggar hukum.
Reformasi hukum
Di tengah kondisi institusi penegak hukum yang bermasalah, mulai dari pelemahan institusi KPK, problem internal dan korupsi di kepolisian dan kejaksaan, hingga terungkapnya praktik korupsi di MA yang melibatkan hakim agung, kondisi di atas kian menambah suramnya masa depan reformasi hukum di Indonesia.
Menilik laporan World Justice Project (WJP) dalam Rule of Law Index tahun 2022, tampaknya akan sulit bagi Indonesia untuk mendorong reformasi hukum. Dalam kurun waktu 2016-2022, Indeks Negara Hukum Indonesia hanya mengalami kenaikan 0,01 poin. Artinya, selama tujuh tahun bisa diasumsikan tak ada perbaikan dalam sistem hukum, bahkan penegak hukum justru menjadi bagian dari masalah.
Menggunakan pendekatan legal system Lawrence M Friedman (1975), perubahan hukum bisa dilakukan dalam tiga aspek: struktur atau kelembagaan hukum, norma hukum (substance), dan budaya hukum (culture).
Aspek pertama, perbaikan dari sisi kelembagaan hukum untuk menilai bagaimana reformasi dalam institusi hukum. Dalam kenyataannya, ada kecenderungan kian masifnya intervensi lembaga politik terhadap institusi hukum, termasuk di dalamnya institusi peradilan.
DPR menyetujui Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah untuk menjadi hakim konstitusi dari DPR menggantikan Wakil Ketua MK saat ini, Aswanto, dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (29/9/2022)
Dari aspek norma hukum, ada kondisi di mana politik hukum pembentukan UU justru ditujukan untuk melemahkan penegakan hukum. Keberadaan MK yang berfungsi memastikan suatu norma UU tak bertentangan dengan konstitusi justru dikebiri melalui penggantian hakim konstitusi yang dianggap tak berpihak ke kepentingan lembaga politik.
Dari aspek budaya hukum, publik disuguhi situasi yang memperlihatkan betapa bobroknya hukum di Indonesia.
Kekuasaan kehakiman menjadi sentral dari sistem hukum. Ia menjadi tempat terakhir dalam pencarian keadilan di mana MK jadi bagian dari pucuk kekuasaan tersebut. Besarnya intervensi politik terhadap kekuasaan kehakiman menjadi awal dari robohnya independensi sang penjaga konstitusi, dan ini kian menurunkan tingkat kepercayaan publik pada hukum.
Reza Syawawi, Peneliti di Transparency International Indonesia