KORUPSI DI SEKTOR KELISTRIKAN:
Saatnya Pemerintah, PLN dan Korporasi Mencegah Korupsi
(Jakarta, 29 Oktober 2019) Minimnya pasokan listrik di berbagai wilayah Indonesia serta untuk kepentingan mendukung pembangunan ekonomi ke depan, merupakan tantangan yang dihadapai Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya. Respon terhadap masalah tersebut, pemerintah mencanangkan program mega proyek pembangkit listrik nasional 35.000 MW. Meskipun demikian, rencana baik pemerintah dalam mengatasi problem listrik nasional rentan menimbulkan masalah lainnya, yaitu korupsi.
Mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW memperoleh beberapa capaian positif. Pada tahun 2014, rasio elektrifikasi1 Indonesia hanya sebesar 84,35%. Sampai bulan Juni 2019, rasio elektrifikasi Indonesia telah meningkat sebesar 14,46% hingga mencapai angka 98,81%. Posisi Indonesia dalam Ease of Doing Business (EODB) sehubungan akses listrik
(Getting Electricity) juga terus membaik dalam beberapa tahun terakhir. Posisi Indonesia yang sebelumnya berada pada peringkat ke-45 dari 189 negara pada EODB 2015, lalu naik ke peringkat 33 dari 190 negara di EODB 2020.
Terlepas dari keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan rasio elektrifikasi dan mempermudah akses listrik bagi pelaku usaha, mega proyek pembangkit listrik juga menimbulkan masalah yang menyita perhatian publik, yaitu korupsi. Sejak Juli 2018 yang lalu, KPK mulai melakukan penindakan terhadap kasus tindak pidana korupsi dalam proyek PLTU Riau-1 (2 x 300 MW) yang melibatkan Eni Saragih (Mantan Anggota DPR), Idrus Marham (Mantan Menteri Sosial), Johanes B. Kotjo (Mantan Konsultan dari Blackgold Natural Resources, salah satu sponsor dalam konsorsium), dan Sofyan Basir (Mantan Direktur Utama PLN). Selain itu, KPK juga sudah menangani kasus tindak pidana korupsi yang telah memidanakan Dewie Yasin Limpo (Mantan Anggota DPR) yang terbukti1 Rasio elektrifikasi adalah perbandingan rumah tangga berlistrik dengan jumlah rumah tangga menerima suap dari pengusaha untuk mengamankan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai, Papua di tahun 2016.
“Kerentanan korupsi dalam proyek pembangkit listrik nasional yang terefleksikan dari kasus di atas seharusnya menjadi peringatan bagi Pemerintah Indonesia untuk memperkuat upaya pencegahan korupsi di sektor kelistrikan”, ungkap Dadang Trisasongko. Apalagi dalam mega proyek tersebut, porsi pengerjaan PLN hanya 10.000 MW, sedangkan Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) mencapai 25.000 MW. Kemudian melalui terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 tahun 2016, perusahaan dituntut untuk mematuhi hukum yang berlaku—termasuk UU Tipikor—dan mengimplementasikan sistem pencegahan korupsi.
Untuk menilai kesiapan perusahaan di sektor kelistrikan Indonesia dalam mencegah korupsi, Transparency International Indonesia (TII) melakukan kajian “Transparency in Corporate Reporting: Penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik (PPL)”. Sebanyak 95 perusahaan—termasuk perusahaan yang menjadi sponsor dalam konsorsium, perusahaan patungan, dan kontraktor proyek pembangkit listrik—yang dinilai oleh mengerjakan sekitar 20.189 MW (58%) dari mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Sumber data yang diteliti oleh TI-Indonesia adalah dokumen yang diterbitkan oleh perusahaan, misalkan laporan tahunan, laporan keuangan, laporan keberlanjutan, dan pedoman tata kelola perusahaan atau pedoman anti korupsi perusahaan.
“Skor Transparency in Corporate Reporting (TRAC) dari Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) adalah 1.9/10. Skor tersebut menandakan perusahaan berisiko tersangkut tindak pidana korupsi karena tidak memiliki program anti korupsi yang memadai. Transparansi struktur grup perusahaan dan pelaporan informasi keuangan antar-negara juga sangat tidak transparan”, ujar Dadang Trisasongko.
Transparansi program anti korupsi PPL hanya memiliki rerata skor sebesar 22%. Hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program anti korupsi yang memadai. “Hanya 20 dari 95 perusahaan yang memiliki komitmen anti korupsi, hanya 17 dari 95 perusahaan yang melarang pemberian donasi politik, hanya 16 dari 95 perusahaan yang mewajibkan perantara (intermediaries) untuk mematuhi kebijakan anti korupsi perusahaan, dan hanya 11 dari 95 perusahaan yang mewajibkan rekanan/vendor untuk mematuhi kebijakan anti korupsi perusahaan” ujar Ferdian Yazid.
“Resiko tersandung tindak pidana korupsi dalam relasi antar pebisnis juga besar karena 51
dari 95 perusahaan yang diteliti sama sekali tidak memiliki kebijakan anti korupsi perusahaan (larangan suap, gratifikasi, uang pelicin, dan donasi politik). Tiadanya kebijakan anti korupsi perusahaan menyebabkan tidak ada batasan antara tindakan yang dilarang bagi karyawan/direksi perusahaan dan yang diperbolehkan—termasuk korupsi” ujar Ferdian Yazid.
Analisis terhadap empat perusahaan (Pembangkitan Jawa Bali (PJB), Blackgold Natural Resources (BNR), China Huadian Engineering Company (CHEC), dan PLN Batubara) yang tergabung dalam konsorsium PLTU Riau-1 juga menunjukkan PLN dan Anak Perusahaannya belum memasukkan kriteria integritas perusahaan sebagai salah satu syarat dalam memilih mitra kerja. PJB memiliki rerata skor program anti korupsi sebesar 50%, BNR memiliki skor rerata sebesar 4%, CHEC memiliki skor rerata sebesar 0%, dan PLN Batubara memiliki skor rerata sebesar 27%. “PLN seharusnya menginstruksikan Anak Perusahaannya (PJB dan PLN Batubara) untuk memperkuat program anti korupsi perusahaan, dan apabila PLN melalui uji tuntas (due diligence) anti korupsi terhadap BNR dan CHEC, seharusnya tidak ada kasus tipikor dalam proyek PLTU Riau-1 karena karena kedua perusahaan tersebut telah didiskualifikasi akibat tidak memiliki program anti korupsi yang memadai”, ujar Dadang Trisasongko.
Analisis rerata program anti korupsi berdasarkan asal negara perusahaan juga menunjukkan hal yang menarik. “62 perusahaan asal Indonesia yang TII nilai dalam proyek 35.000 MW memiliki rerata skor program anti korupsi sebesar 14%, 8 perusahaan asal China memiliki rerata skor sebesar 8%, 7 perusahaan asal Korea Selatan memiliki skor rerata sebesar 38%, 6 perusahaan asal Jepang memiliki skor rerata sebesar 67%, 3 perusahaan asal Amerika Serikat memiliki skor rerata sebesar 50%, 2 perusahaan asal Singapura memiliki skor rerata sebesar 33%, dan perusahaan dari negara lain seperti Finlandia, Swiss, Thailand, Hongkong, Qatar, Spanyol, dan Italia memiliki rerata skor sebesar 41%”, ujar Ferdian Yazid. Rerata tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan PLN seharusnya turut memastikan bahwa perusahaan multinasional yang akan bekerjasama dengan PLN memiliki rekam jejak yang bebas dari korupsi dan memiliki program anti korupsi yang memadai.
Kemudian, Transparansi struktur grup PPL memiliki rerata skor 36%. Hanya 43 dari 95 PPL yang menginformasikan daftar anak perusahaannya, dan hanya 31 dari 95 PPL yang menginformasikan persentase kepemilikan sahamnya di anak perusahaan. Kemudian hanya 34 dari 95 PPL yang menginformasikan daftar perusahaan patungan atau perusahaan asosiasi, dan hanya 28 dari 95 PPL yang menginformasikan persentase kepemilikan saham di perusahaan patungan atau perusahaan asosiasi.
Selain itu, rerata skor persentase dari laporan keuangan per negara (country-by-country report) PPL juga sangat rendah karena skor rerata persentasenya 0%. Dari 40 perusahaan multinasional yang TII nilai, tidak ada perusahaan menyusun laporan keuangan dan disajikan secara terpisah di setiap lokasi bisnis perusahaan. Padahal, country-by-country report sangat krusial untuk mencegah praktik penghindaran pajak.
Berdasarkan temuan dari penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik (PPL), merekomendasikan perusahaan di sektor kelistrikan, pemerintah, PLN, dan masyarakat sipil untuk:
1. Pemerintah dan PLN mengembangkan dan menerapkan, baik untuk internal PLN maupun vendornya, program anti korupsi yang memadai dengan mengacu pada standar program anti korupsi perusahaan, misalkan Panduan Pencegahan Korupsi Untuk Dunia Usaha dari KPK, ISO 37001 mengenai Sistem Manajemen Anti Suap (Anti-Bribery Management System), atau Business Principles for Countering Bribery dari Transparency International;
2. Memperkuat kebijakan anti korupsi, khususnya yang terkait dengan pencegahan konflik kepentingan (antara politisi, Pengembang Pembangkit Listrik (PPL), Birokrasi, Direksi PLN) pada tahap perencanaan dan pengadaan di sektor kelistrikan;
3. Pemerintah mengembangkan dan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas pemilihan jajaran direksi BUMN;
4. Pemerintah memperkuat pengawasan dalam investasi di sektor kelistrikan;
5. Publikasi country-by-country report Perusahaan Multinasional
6. PLN mengembangkan sistem due diligence anti korupsi terhadap calon rekanan PLN.
7. Memberikan pelatihan anti korupsi kepada seluruh karyawan dan direktur PLN
8. Memperkuat program anti korupsi di Anak Perusahaan PLN
9. Menerapkan mekanisme perusahaan dan orang-orang yang memiliki rekam jejak pernah melakukan tindak pidana korupsi ke dalam daftar hitam investasi dan rekanan.
Download materi dan laporan TRAC disini
Narahubung:
Ferdian Yazid – 0813 8045 5524