Rilis Media Transparency International Indonesia Menyikapi Kasus Suap Perizinan Proyek Meikarta.
(Jakarta, 25 Oktober, 2018) Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Pejabat Publik yang menerima suap dari Pebisnis kembali terulang. KPK kembali menangkap basah seorang kepala daerah, sejumlah pejabat dan seorang pengusaha di Cirebon. OTT ini menyusul OTT sebelumnya yang terkait dengan pengurusan perizinan proyek Meikarta, yang melibatkan 4 (empat) orang dari pihak Lippo Group sebagai pemberi suap, termasuk Billy Sindoro yang menjabat sebagai Direktur Operasional Lippo Group, 2 konsultan, dan 1 pegawai Lippo Group. Sedangkan itu ada 5 orang yang diduga telah menerima suap dari Lippo Group, yaitu Bupati Kabupaten Bekasi Neneng Hassanah Yasin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi.
“Melihat pola kasus tindak pidana korupsi yang mayoritas melibatkan pihak swasta sebagai pemberi suap dan pejabat publik sebagai penerima, sudah jadi keharusan bahwa upaya pencegahan korupsi tidak selamanya hanya bertumpu pada membangun sistem pencegahan korupsi di sektor publik sebagai demand side. Perusahaan harus mulai diwajibkan mengimplementasikan sistem pencegahan korupsi, sehingga dari supply side, penawaran atau pemberian suap dapat secara dini dicegah” kata Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII).
Pada tahun 2017, Transparency International Indonesia (TII) telah meluncurkan hasil kajian “Transparency In Corporate Reporting (TRAC): Perusahaan Terbesar Indonesia” untuk menilai kesiapan 100 perusahaan terbesar di Indonesia dalam mencegah korupsi berdasarkan pemeringkatan yang dibuat oleh Fortune Top Hundred 2014. Skor rerata Transparency in Corporate Reporting (TRAC) 100 perusahaan terbesar di Indonesia adalah 3.5/10 (0 berarti perusahaan sangat tidak transparan, dan 10 menandakan bahwa perusahaan sangat transparan). “Skor ini mengindikasikan bahwa mayoritas perusahaan terbesar di Indonesia belum transparan, gagal dalam membuktikan eksistensi dari sistem pencegahan korupsi perusahaan, kurang transparan dalam menginformasikan struktur grup perusahaan, dan tidak mampu mempublikasikan laporan keuangan antar negara” kata Ferdian Yazid, Program Officer Transparency International Indonesia (TII).
Dari 100 perusahaan yang dinilai, 71 perusahaan tidak mewajibkan pihak ketiga—konsultan, penasihat, pengacara, intermediary—untuk terikat dalam pedoman perilaku perusahaan. Kemudian, 67 dari 100 perusahaan tidak mewajibkan penyedia barang dan jasa—vendor, kontraktor, rekanan, subkontraktor—untuk mematuhi program anti korupsi perusahaan terbesar Indonesia itu, dan 74 dari 100 perusahaan terbesar di Indonesia tidak melakukan pelatihan anti korupsi bagi para karyawan dan Direktur Perusahaan. Kemudian untuk gratifikasi, 61 dari 100 perusahaan di Indonesia belum memiliki aturan tentang larangan pemberian dan penerimaan gratifikasi.
“Pola tindak pidana korupsi dimana pemberian suap biasanya dilakukan melalui jasa perantara—konsultan, penasihat—perlu dimitigasi oleh perusahaan, sehingga implementasi tata kelola perusahaan yang baik (GCG) tidak hanya berlaku ke internal perusahaan, tetapi juga diterapkan ke pihak-pihak yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan” Kata Dadang Trisasongko.
“Perusahaan juga harus memahami UU Tipikor (UU No. 31 tahun 1999) dan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Perma No. 13 tahun 2016), karena sebenarnya perusahaan dapat dijatuhi sanksi pidana apabila kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh personelnya terbukti memberikan keuntungan bagi perusahaan tersebut, dan apabila perusahaan tidak mengembangkan sistem pencegahan korupsi yang sesuai dengan profil risiko perusahaan, maka perusahaan juga dapat dijatuhi pidana” tambah Dadang Trisasongko.
“Melihat 4 profil perusahaan (Duta Graha Indah, Nindya Karya, Tuah Sejati, dan Tradha) yang telah mendapat status tersangka di KPK, dimana keempat perusahaan tersebut berasal dari sektor konstruksi, maka Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap sektor ini” tambah Dadang Trisasongko.
“Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No. 54 tahun 2018, yang salah satu fokusnya adalah mendorong praktik bisnis yang berintegritas, seharusnya dijadikan momentum agar perusahaan terbesar di Indonesia—termasuk Lippo Group—diwajibkan untuk membangun program anti korupsi yang sesuai dengan profil risiko perusahaan, sehingga implementasi program anti korupsi tidak lagi bersifat voluntary, tetapi mandatory” Dadang Trisasongko menambahkan.
“KPK juga perlu segera mengeluarkan peraturan tentang panduan program anti korupsi agar perusahaan memiliki pedoman dalam menyusun program anti korupsi yang komprehensif” kata Dadang Trisasongko.
Contact Person:
Dadang Trisasongko (Phone: +6281220212063, E-Mail: dtrisasongko@transparansi.id)
Ferdian Yazid [Phone: +6281380455524, E-Mail: fyazid@transparansi.id]