Presiden Joko Widodo dijadwalkan melakukan kunjungan ke beberapa negara di Eropa yaitu Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda pada 17-23 April 2016. Kunjungan Presiden presiden kali ini bertujuan untuk menarik lebih banyak investasi dari benua Eropa. Kunjungan Presiden ke Benua Biru kali ini dilakukan berdekatan dengan terbongkarnya skandal Panama Papers yang melibatkan ribuan orang mulai dari pejabat pemerintah, pengusaha, dan korporasi dari berbagai negara di dunia yang diduga melakukan praktik penghindaran pajak, korupsi, pencucian uang, dan pembiayaan terorisme di negara surga pajak (tax haven).
Panama Papers menjadi momentum bagi publik global untuk mendesak negara-negara tax haven untuk mengakhiri rezim kerahasiaan. Kunjungan ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk membahas kembali kerjasama perpajakan internasional dalam skema G20 mengingat keempat negara yang dikunjungi Presiden Jokowi merupakan negara-negara anggota G20. Presiden juga dapat menggunakan agenda kunjungan ini untuk melakukan pertemuan pendahuluan sebelum Pertemuan Puncak G20 pada bulan September mendatang.
“Presiden Jokowi perlu mendesak negara-negara G20 untuk menyepakati mekanisme sanksi, baik sanksi ekonomi maupun politik, bagi negara-negara yang menjadi surga pajak. Ini untuk memastikan pertukaran informasi melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) dapat dilakukan secara efektif,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa.
Selain itu, kunjungan ini juga dapat digunakan untuk kembali mendorong pembentukan Badan Perpajakan Internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pembentukan Badan Perpajakan Internasional ini penting untuk memastikan pelibatan negara-negara miskin dan berkembang yang selama ini terpinggirkan agar dapat turut menentukan Sistem Perpajakan Global.
“Usulan pembentukan Badan Perpajakan di bawah PBB pernah disampaikan oleh negara-negara G-77 di Konferensi Ketiga PBB mengenai Pembiayaan untuk Pembangunan di Addis Ababa tahun 2015. Namun pada saat itu negara-negara maju, terutama Inggris, menolak usulan tersebut. Lawatan Presiden ke Eropa seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk membuka kembali pembicaraan mengenai hal ini sehingga mendorong perubahan tata kelola perpajakan internasional yang selama ini bias kepentingan negara maju,” kata Siti Khoirun Ni’mah, Program Manager INFID.
Usulan pembentukan Badan Perpajakan Internasional harus dapat menjawab rasa ketidakadilan negara berkembang yang selama ini menjadi korban negara maju dalam hal perpajakan. “Biasnya sistem perpajakan internasional dapat dilihat dari kewajiban korporasi untuk membayar pajak korporasi yang tidak didasarkan pada lokasi di mana korporasi tersebut beroperasi dan mendapat untung, melainkan didasarkan pada lokasi di mana korporasi tersebut tercatat. Hal ini mendorong tumbuh suburnya negara tax havens yang memungkinkan korporasi mengeksploitasi sumber daya di negara berkembang dan mencatatkan kepemilikan di negara-negara surga pajak untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Ini juga memunculkan negara safe haven yang memungkinkan perusahaan dan politisi korup di negara berkembang memiliki aset, menikmati gaya hidup mewah, dan reputasi yang bersih,” kata Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia. Praktik negara tax haven dan safe haven dapat mencederai kepercayaan negara berkembang terhadap negara-negara maju. Oleh karena itu, rezim kerahasiaan negara tax haven dan safe haven harus segera diakhiri. Oleh karena itu, rezim kerahasiaan negara tax haven dan safe haven harus segera diakhiri. Karena eksistensi tax haven dan safe haven yang sudah identik dg crime heaven mengancam upaya negara sdg berkembang untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Selain itu, Presiden Jokowi juga diharapkan dapat menggunakan momentum lawatan ke Eropa kali ini untuk mewakili suara negara sedang berkembang dan membahas pentingnya transparansi Beneficial Ownership (BO) di forum internasional. “Laporan Transparency International (2015) mengenai kerangka hukum Transparansi BO menunjukkan bahwa belum semua anggota G20 patuh pada sepuluh prinsip Transparansi BO. Hanya empat negara yang memiliki kerangka hukum yang masuk kategori baik dan sangat baik guna mendukung implementasi Transparansi BO yaitu Inggris, Argentina, Perancis, dan Italia,” Dadang Trisasongko menambahkan.
Terlebih Indonesia bersama Inggris juga aktif dalam salah satu Kelompok Kerja G20 tentang anti-korupsi (ACWG), di mana transparansi BO dapat lebih ditekankan.
“Transparansi Beneficial Ownership merupakan salah satu cara untuk membuka dan menelusuri kepemilikan sesungguhnya dari perusahaan-perusahaan di dunia, sehingga praktik penghindaran dan pengelabuan pajak dapat dihindarkan. Sebagai contoh, ketentuan BO telah mulai diwajibkan di sektor ekstraktif (migas dan pertambangan) melalui standar baru EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) yang baru saja ditetapkan tahun ini di Peru. Indonesia juga telah menjadi salah satu negara pelaksana standar EITI tersebut,” imbuh Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay Indonesia.
Saat ini, tata kelola perpajakan yang adil dan transparan merupakan tuntutan masyarakat global yang tidak dapat lagi dibendung. Untuk itu, komitmen dari para kepala negara sangat krusial, tidak saja menyangkut diplomasi ekonomi global, tetapi juga terkait pembiayaan agenda pembangunan domestik di masing-masing negara, termasuk Indonesia. Rezim pertukaran informasi yang akan dimulai tahun 2017 tidak hanya membawa titik cerah bagi keterbukaan negara tax haven dan safe haven, namun juga memberikan jaminan bagi negara sedang berkembang untuk dapat memenuhi sumber pembangunan dari sumber domestik yang selama ini disembunyikan di luar negeri.
Upaya global untuk mendorong keterbukaan pajak dan keuangan seharusnya disikapi dengan bijak oleh pemerintah Indonesia. Di dalam negeri, tata kelola perpajakan yang adil dan transparan dapat dimulai dengan menunda agenda pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Pasalnya, selain mencederai rasa keadilan publik, bersifat elitis dan minim partisipasi, RUU Pengampunan Pajak juga masih sangat mentah dan diragukan efektivitasnya. “Target penerimaan negara dari tax amnesty hanya Rp 60 triliun, lebih rendah ketimbang angka piutang pajak. Alih-alih menerapkan pengampunan pajak dan memberi lebih banyak insentif pajak pada korporasi dan orang super kaya, lebih baik pemerintah mengoptimalkan upaya penagihan piutang pajak,” tegas Ah. Maftuchan, Koordinator Forum Pajak Berkeadilan.
Atas dasar itu, Forum Pajak Berkeadilan yang terdiri dari pengamat dan NGO di sektor pajak, keuangan, tata kelola pemerintahan, anti-korupsi, kesetaraan gender, dan pembangunan global meminta pemerintah memperkuat komitmen keterbukaan pajak dan keuangan di forum internasional, serta menghentikan upaya pelemahan penegakan hukum bidang perpajakan dengan menunda pembahasan RUU Pengampunan Pajak.
Forum Pajak Berkeadilan:
Perkumpulan Prakarsa, ASPPUK, ICW (Indonesia Corruption Watch), IGJ (Indonesia for Global Justice), IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), ILR (Indonesian Legal Roundtable), PWYP Indonesia, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), TII (Transparency International Indonesia)
Jakarta, 17 April 2016