Jakarta, 5 Juni 2024 – Perampasan ruang hidup masyarakat adat Awyu di Boven Digoel Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya dengan memanfaatkan izin kelayakan lingkungan hidup seluas 36.094 hektare setara dengan lebih dari setengah luas DKI Jakarta merupakan bentuk kejahatan lingkungan serta menunjukkan praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Oleh karenanya, Transparency International Indonesia mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut izin korporasi dengan mempertimbangkan aspek keadilan lingkungan, pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam setiap kebijakan pembangunan, memperhatikan dampak domino bagi kelangsungan hidup masyarakat adat Awyu dan suku Moi sehingga Majelis bukan sekadar mempertimbangkan legalitas dari negara berupa kepemilikan izin kelayakan lingkungan perusahaan.
Melawan Korupsi Sawit di Tanah Papua
Pengrusakan yang terjadi di Papua jelas amat nyata. Sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Tanah Papua menyusut 663.443 hektare, 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% pada 2011-2019. 87% deforestasi Tanah Papua pada 2001-2019 terjadi di 20 kabupaten.
Kabupaten Sorong menjadi wilayah dengan banyaknya kasus pembalakan liar atau illegal logging yang mengkambinghitamkan masyarakat sebagai pelaku utamanya. Pembalakan liar melibatkan banyak aktor termasuk di dalamnya sejumlah pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum yang korup. Pengrusakan ruang hidup juga terjadi melalui pembangunan Merauke Integrated Food Estate and Energy (MIFEE) dan ekspansi-ekspansi ekstraktif lainnya terhadap hutan alam terjadi di wilayah Merauke dan Boven Digoel.
Maraknya bisnis ekstraktif di Papua yang menghilangkan hak konstitusional masyarakat adat sebagai warga negara Republik Indonesia menunjukkan semakin jauh Indonesia dari konsep pembangunan yang berkeadilan.Masyarakat adat Awyu dan suku Moi telah melewati proses yang rumit. Mulai dari menggugat korporasi besar itu ke PTUN Jayapura kalah, banding di PT TUN Manado kalah, kini mereka telah sampai di tahap kasasi Mahkamah Agung. Perjuangan dan perlawanan masyarakat adat Awyu dan suku Moi menjadi contoh nyata bahwa mempertahankan ruang hidupnya tidaklah mudah, mereka harus berhadapan dengan korporasi dan negara.
PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) yang merupakan milik dua perusahaan asal Malaysia. Pemilik mayoritasnya adalah Mandala Resources–disebut sebagai perusahaan cangkang di kota Kinabalu, Malaysia. Selain PT IAL, Masyarakat adat Awyu juga menggugat PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarta Jaya Raya—dua perusahaan yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. Sementara suku Moi menggugat PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) yang sebelumnya memiliki konsesi seluas 40.000 hektar di Kabupaten Sorong. Pada 2022, izin PT SAS dicabut oleh pemerintah pusat, tidak terima dengan putusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN. Kini, PT SAS akan kembali membabat 18.160 hektar hutan adat Moi Sigin.
Di banyak kabupaten yang kekurangan anggaran, seperti halnya Boven Digoel, Pemerintah Daerah seringkali melihat para investor besar selayaknya sapi perah yang akan memberikan kucuran modal. Inilah menjadi awal terjadinya politik ijon–perjanjian politik antara pemerintah dengan pengusaha. Seperti misalnya, investor yang terlibat dengan mendanai kampanye Pilkada yang korup dengan imbalan berupa izin-izin jika kelak calon daerah yang didukungnya menang dan berkuasa di daerah tersebut. Penggelapan uang dari anggaran daerah, keterlibatan dalam proses pengadaan barang dan jasa, suap yang melibatkan banyak aktor termasuk pejabat daerah, nasional, aparat penegak hukum kerap kali ditemukan. Ditambah ketidakjelasan pemilik manfaat atau beneficial ownership bisnis ekstraktif yang ada di Indonesia menambah bentang fakta kusutnya tata kelola sawit di Indonesia menjadi pintu masuk korupsi yang berimbas pada berbagai dampak baik lingkungan, sosial dan ekonomi.
Dalam kasus perjuangan masyarakat adat Awyu dan suku Moi mempertahankan wilayah adatnya mengindikasi proses pemberian izin korporasi kepada PT IAL dan PT SAS tidaklah transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Masyarakat adat Awyu dan suku Moi telah menempuh jalur hukum ke Mahkamah Agung, saat ini gugatan mereka untuk mencabut izin korporasi sudah di tahap kasasi.
Transparency International Indonesia memandang kasus perjuangan masyarakat adat Awyu dan suku Moi sebagai persoalan sengkarut tata kelola sawit dan adanya state capture corruption yang belum dapat diselesaikan. Legalitas yang memang bersifat legal tetapi tidak legitimate dari negara dijadikan sebagai alat untuk mengusir masyarakat adat dari ruang hidup yang telah membentuk pengetahuan lokal dan peradaban suatu suku.
Transparency International Indonesia berdiri bersama masyarakat adat Awyu dan suku Moi dalam perjuangan mempertahankan hak atas tanah dan sumber penghidupan mereka. Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap perjuangan masyarakat adat Awyu dan suku Moi, serta mendorong pengakuan dan perlindungan terhadap hak dan wilayah masyarakat adat di Papua.
Narahubung:
Hendri Bagus, Program Office Natural Resources, Economic and Government TI Indonesia (lbagus@transparansi.id)
Dzatmiati Sari, Campaign Officer TI Indonesia (dsari@transparansi.id)
Sumber:
- Laporan TRAC : Transparency in Corporate Reporting, Penilaian terhadap 50 Perusahaan Sawit di Indonesia, Transparency International Indonesia, 2023;
- Menatap ke Timur, Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua, Auriga Nusantara, 2021;
- Indonesia Dijual-Kesepakatan Rahasia Hancurkan Surga Papua Kisah Dibalik Ancaman Terbesar Bagi Hutan di Indonesia , The Gecko Project, 2018)
- Bioregion Papua, Hutan dan Manusianya, Forest Watch Indonesia, 2020