KPK memeriksa sejumlah orang yang ditangkap di Semarang dan Jakarta terkait dugaan suap pengurusan perkara di MA. Uang tunai disita dalam operasi tangkap tangan itu.
JAKARTA, KOMPAS –Penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap sejumlah orang di Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah, terkait dugaan korupsi pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) menunjukkan problem suap peradilan terus terjadi. Celah korupsi di MA dinilai masih terbuka, antara lain, karena proses persidangan tertutup serta ada problem pengawasan.
Dalam penangkapan yang berlangsung di Semarang dan Jakarta, Rabu (21/9/2022) malam, KPK menangkap sejumlah orang beserta uang tunai dalam bentuk mata uang asing. Hingga Jumat (23/9) pukul 00.30, KPK belum mengumumkan status orang-orang yang ditangkap, berikut identitas mereka.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Kamis, mengatakan, operasi tangkap tangan tersebut berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi suap dan pungutan tidak sah dalam pengurusan perkara di MA. Dia menyayangkan masih ada penegak hukum yang terlibat dugaan suap.
”Ini berarti dunia peradilan dan hukum kita, yang semestinya berdasar bukti, ternyata masih bergantung uang. Para penegak hukum yang diharapkan menjadi pilar keadilan bagi bangsa ternyata menjualnya dengan uang,” kata Ghufron.
Dia berharap setiap lembaga penegak hukum memperkuat komitmen personal dan tata kelola agar bisa menegakkan marwah lembaga sebagai pilar keadilan, tempat rakyat bergantung dan berharap untuk mendapat keadilan.
Ia mengungkapkan, sebelumnya KPK telah melakukan pembinaan integritas di lingkungan MA, baik kepada hakim maupun pejabat struktural. Harapannya, tak ada lagi korupsi di MA.
Ini berarti dunia peradilan dan hukum kita, yang semestinya berdasar bukti, ternyata masih bergantung uang. Para penegak hukum yang diharapkan menjadi pilar keadilan bagi bangsa ternyata menjualnya dengan uang.
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengaku belum memperoleh informasi resmi. Maka, untuk memastikan kebenaran informasi itu, MA menunggu penjelasan resmi dari KPK.
Di Malang, Jawa Timur, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengaku belum mengetahui apakah hakim agung atau pegawai MA yang ditangkap KPK. Namun, dia menegaskan, pihak yang ditangkap harus diproses. Dia menilai KPK juga harus masuk ke aparat penegak hukum.
”Namun, KPK tetap harus profesional, tak boleh mencari-cari. Kalau mencari-cari kesalahan, lalu orang ditindak secara hukum, hal itu tidak bagus bagi pembangunan hukum. Pembangunan ekonomi juga bisa gagal,” katanya.
Masih jadi persoalan
Dugaan korupsi pengurusan perkara di MA bukan sekali ini terjadi. Pada 2005, pegawai MA, Pono Waluyo, dan temannya ditangkap KPK terkait suap perkara.
Setelah itu, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata MA Andri Tristano Sutrisno terjerat kasus korupsi tahun 2016. Kemudian eks Sekretaris MA Nurhadi menerima gratifikasi terkait penanganan perkara pada suap, gratifikasi, dan pencucian uang.
World Justice Project, Rule of Law Index 2021 menunjukkan, korupsi di sektor peradilan masih menjadi persoalan. Nilai Indonesia pada indeks ini ialah 0,52. Dari skala 0-1, semakin mendekati 1, kian baik skor sebuah negara. Indonesia berada di peringkat ke-68 dari 139 negara yang dikaji. Pada indikator ketiadaan korupsi, subindikator lembaga peradilan berada di posisi kedua terendah dengan nilai 0,33, sedikit lebih baik daripada legislatif 0,28.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menilai, korupsi bermotif pengurusan perkara di tingkat kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) makin marak.
”Tren ini terjadi karena MA makin jauh melaksanakan fungsi kasasi. MA seakan ikut berperan sebagai pemeriksa fakta yang sebenarnya wewenang pengadilan di bawahnya. Akibatnya, putusan di pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi kerap kali tak konsisten,” tuturnya.
Baca juga: Hakim Dipecat karena Terima Suap, TII: Pintu Masuk Bongkar Praktik Mafia Peradilan
Implikasi dari hal tersebut, tambahnya, pengajuan perkara korupsi di tingkat kasasi makin deras. Banyak pihak yang berperkara berharap ada perubahan keputusan yang tak dapat diprediksi. Hal tersebut menimbulkan celah korupsi baru.
Selain itu, Alvin melihat proses persidangan di MA yang tertutup perlu menjadi perhatian. Selama ini, pengadilan tingkat pertama dan banding cukup terbuka melalui kehadiran e-Court. Sebaliknya, proses pengadilan di MA cenderung tertutup, termasuk perkara uji materi.
Di bidang pengawasan internal ataupun eksternal, masih banyak celah. Alvin menilai, di sisi internal, kerja Badan Pengawas MA memiliki rentang jangkauan sangat pendek. Padahal, badan itu mengawasi ribuan hakim dan pengadilan di 917 satuan kerja di seluruh Indonesia.
Pada saat yang sama, pengawasan eksternal belum paripurna. Sejumlah hakim yang terjerat korupsi sebenarnya pernah dilaporkan ke Komisi Yudisial, tetapi laporan itu tidak ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi yang berarti.
Mantan Hakim Agung Gayus T Lumbuun mempertanyakan kinerja ketua muda bidang pembinaan MA saat banyak kejadian menimpa lembaga peradilan. Ia mengingatkan, ada maklumat Ketua MA Nomor 1/KMA/IX/2017 yang mengatur pengawasan melekat dan berjenjang terhadap aparatur peradilan.
”Ketentuannya, ketika seseorang aparatur peradilan melakukan pelanggaran hukum, sanksinya berjenjang,” ujarnya.
Menurut Gayus, dengan kejadian ini, ketua muda bidang pembinaan beserta pimpinan MA yang lainnya semestinya turut bertanggung jawab dan tak boleh terlepas dari pemeriksaan. ”Saya harap Tuada Bin (ketua muda bidang pembinaan) ikut diperiksa. Apa kerjanya, membina dalam bentuk apa,” katanya. (PDS/DEA/ANA/DIA)
Sumber: Kompas Cetak