The Commons dan Ekonomi Biru di Indonesia: Menatap Lautan untuk Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan

Transparency International Indonesia (TII) menggelar Diskusi Publik dengan tajuk The Commons dan Ekonomi Biru di Indonesia: Menatap Lautan untuk Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan. Kegiatan yang bekerjasama dengan SOREC UGM tersebut diadakan pada Kamis (14/09) di hotel Bulaksumur Ballroom, University Club Hotel, UGM, Yogyakarta.

Acara berlangsung dari 09.00-12.30 WIB secara luring dihadiri sekitar 100 orang partisipan terdiri dari kalangan mahasiswa, akademisi, NGO/LSM, unsur pemerintahan dan masyarakat secara umum.

Pada awal diskusi publik dibuka dengan sambutan dari Ketua Departemen Sosiologi UGM Prof. Suharko, M.Si. menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap terselenggaranya diskusi publik kali ini.

“Topik ini yang sangat menarik dan jarang didiskusikan. Karena the commons adalah sumberdaya milik bersama yang sedang diperebutkan. Blue Economy (Ekonomi Biru) dianggap sebagai alternatif dari red dan green economic. Perlu dikritisi mengenai ekonomi biru. Apakah ekonomi biru mampu mengatasi kekurangan ekonomi merah dan hijau” ujar Ketua Departemen Sosiologi UGM Prof. Suharko.

Diskusi Publik yang dimoderatori oleh Direktur TuK Indonesia Linda Rosalina tersebut menekankan pada 3 hal penting. Pertama mengeksplorasi kondisi terkini Ekonomi Biru dalam konteks global dan nasional di Indonesia. Kedua, mendiskusikan peluang dan tantangan pengembangan Ekonomi Biru di Indonesia. Dan yang terakhir adalah mendiskusikan pelibatan masyarakat sipil dalam pengembangan Ekonomi biru di Indonesia.

Ferdian Yazid selaku Manager program TI Indonesia mengungkapkan fakta lengkap mengenai potensi sumber daya laut di ranah global dan negara Indonesia. Ia menjelaskan bahwa potensi sektor ekonomi biru justru rawan dikorupsi dan beresiko memunculkan konflik kepentingan dalam kebijakan sektor perikanan. Upaya anti-korupsi menjadi langkah signifikan dalam menyusun kebijakan agar dapat berjalan ke arah berkelanjutan.

“Ekonomi biru ini rentan terhadap korupsi. Bisa terjadi regulatory capture. Kebijakan ini menjadi rentan karena hanya mengejar PDB. Jadi pada akhirnya juga eksploitatif” ungkap Ferdian Yazid.

Sementara itu, Ari Wibowo, M.A. selaku Peneliti Pusat Studi Agraria IPB yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi publik tersebut menjelaskan tentang konsep ideal ekonomi biru yang seharusnya menaruh perhatian penuh kepada masyarakat lokal.

“Ekonomi Biru adalah konsep ekonomi yang bertujuan untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip alami dan lokalitas” ujarnya.

“Untuk mewujudkanya dibutuhkan laku kebijakan yang konsekuen yaitu melaksanakan Pasal 33 UUD 1945, yang memprioritaskan pemerataan dan kemakmuran bagi rakyat. Keberhasilan implementasi Ekonomi Biru yang adil dan berkelanjutan tergantung pada partisipasi organik dari nelayan kecil, masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, serta masyarakat adat dan nelayan perempuan” lanjut Ari Wibowo.

Lebih lanjut, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Nasional Parid Ridwanuddin menuturkan permasalahan tentang ekonomi biru belum sepenuhnya berpihak kepada nelayan kecil malah justru banyak memberikan manfaat kepada perusahaan besar.

“Data lapangan Pembagian zona dalam penangkapan ikan teratur. Mayoritas kawasan sudah dikuasai perusahaan besar” ujar Parid Ridwanuddin.

Sementara itu, Ketua Research Center UGM Dr. Andreas Budi Widyanta Menjelaskan bahwa upaya Pemerintah Indonesia mendorong program Ekonomi Biru  layak disambut dan diapresiasi baik oleh publik. “Upaya pemerintah ini layak diapresiasi” ujar Dr Andreas Budi Widyanta.

Namun meski begitu, publik layak skeptis dan curiga terhadap setiap produk kebijakan yang ditengarai sesat, bias dan menyembunyikan kepentingan tertentu. Lebih lanjut, publik perlu menguji, menantang, dan menagih konsistensi perencanaan dan implementasinya. Sejauh mana kelompok-kelompok masyarakat yang rentan di sektor kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia mendapatkan alokasi akses dan hak terhadap sumber daya kelautan.

“Harus tetap kritis dan melihat sejauh mana kelompok masyarakat mendapatkan akses yang baik terhdapat sumber daya kelautan” tutupnya.

Seperti diketahui, Ekonomi Biru merupakan paradigma dan praktik ekonomi yang perlu dipertimbangkan untuk masa depan. Salah satunya melalui diskusi publik ini diharapkan akan memberikan wawasan, mendorong kolaborasi, serta menciptakan komunitas epistemik dan mendorong praktik perubahan ke arah yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *