Transparency International Indonesia (TII) merilis penelitian sistem perlindungan terhadap pelapor, saksi, dan korban dalam kasus korupsi hingga 2017. Peneliti TII, Muji Kartika Rahayu, mengatakan setidaknya terdapat seratus kasus ancaman penyerangan terhadap pengungkap kasus korupsi sejak 2004.
“Jumlah kasus terus meningkat sejalan dengan data laporan LPSK,” kata Muji, di Hotel Gran Melia, Jakarta Selatan, Rabu, 20 Desember 2017. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mencatat angka penyerangan sempat turun pada periode 2016-2017.
Muji menjelaskan penelitian terhadap angka ancaman terbagi menjadi tiga perode. Pada periode 2004-2006, dicatat lantaran terjadi tak lama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi terbentuk dan sebelum ada UU Perlindungan Saksi dan Korban. Ia menjelaskan saat itu hanya KPK yang berwenang memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi kasus korupsi. “Pada periode ini ada 19 ancaman atau serangan,” ujarnya.
Periode kedua dicatat pada rentang 2007-2011. Muji menjelaskan periode itu diperhitungkan setelah adanya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dan sebelum terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Whistleblower dan Justice Collaborator. KPK, kata dia, bertugas memberikan perlindungan terhadap pelapor, saksi, dan masyarakat aktivis anti korupsi.
Sementara itu, melalui SEMA 4/2011. Muji menjelaskan LPSK bertugas memberikan perlindungan terhadap saksi, pelapor, dan korban tindak pidana korupsi. “Pada periode ini ada 24 kasus ancaman terhadap pengungkap kasus korupsi,” ujarnya.
Periode ketiga dicatat pada rentang tahun 2011-2017. Muji berpendapat periode ini diambil setelah beleid soal whistleblower dan justice collaborator disebut secara eksplisit melalui Surat Edaran MA 4/2011 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut dia, langkah perlindungan saksi, pelapor, JC, dan whistleblower makin sistematis dan solid.
Baca juga: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh
Pada periode itu, Muji menjelaskan LPSK telah bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, KPK, dan Mahkamah Agung. Pada periode itulah setiap kementerian wajib memiliki Whistleblowing System. “Ada 57 kasus ancaman atau serangan terhadap para pengungkap korupsi,” kata Muji.
Sumber: Tempo