Dua tahun sejak Panama Papers mengungkap penggunaan perusahaan cangkang tanpa nama untuk memfasilitasi korupsi dan kejahatan keuangan, pemerintah G20 bergerak terlalu lambat untuk memastikan publik atau penegak hukum dapat mengetahui beneficial owner atau pemilik manfaat korporasi yang beroperasi di dalam wilayah mereka.
Menurut laporan yang diterbitkan hari ini oleh Transparency International, 11 negara G20 masih memiliki kerangka hukum “lemah” atau “rata-rata” untuk transparansi beneficial ownership, meskipun negara-negara tersebut telah mengadopsi Prinsip G20 tentang Transparansi Beneficial Ownership di 2014.
Banyak negara tidak memiliki mekanisme untuk memverifikasi informasi perusahaan yang terdaftar; penilaian risiko pencucian uang yang terlambat; dan tidak cukupnya pengaturan pengacara, akuntan dan profesi lainnya. Agen real estate di lima negara G20 (Australia, Kanada, Cina, Korea Selatan dan Amerika Serikat) tidak diwajibkan secara hukum untuk mengidentifikasi beneficial owner dari klien yang membeli dan menjual properti, meskipun skandal korupsi besar akhir-akhir ini melibatkan agen real estate kelas atas.
Beberapa kemajuan telah dibuat sejak 2015. Perancis, Jerman, Italia dan Brasil, semua negara G20 memiliki perbaikan signifikan. Sementara, Inggris adalah satu-satunya negara G20 yang telah membuat daftar informasi beneficial ownership dapat diakses oleh publik dan seharusnya semua pemerintah negara lain mengikutinya.
“Laporan Transparency International menempatkan Indonesia pada kategori rata-rata bersama dengan Australia, China, India, Russia, Saudi Arabia, South Africa, Turkey, United States, dan Netherlands.” kata Dadang Trisasongko, Sekretraris Jenderal, Transparency International Indonesia.
Pada Maret 2018 Indonesia mengadopsi regulasi baru yang mewajibkan perusahaan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi tentang beneficial ownership kepada pihak berwenang, Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/2018. Perusahaan yang telah terdaftar memiliki kesempatan untuk mengumpulkan dan melaporkan beneficial ownership paling lambat satu tahun. Perpres juga mengatur tentang know your beneficial owner, yang meminta perusahaan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi kepada pihak berwenang dan memverifikasi identitas beneficial owner.
Perpres No. 13/2018 diterbitkan saat kajian difinalisasi, sehingga temuan dan skor tidak menggambarkan perubahan sterlah terbitnya regulasi ini. Adopsi regulasi baru ini, dapat meningkatkan skor Indonesia khususnya di prinsip 3 dan 4.
“Terbitnya Perpres No. 13/2018 merupakan capaian yg layak untuk diapresiasi, namun pemerintah masih memerlukan langkah yg lebih konkrit dan cepat dalam merespon tantangan problem korupsi yg sangat besar, ” imbuh Dadang Trisasongko.
Negara-negara G20 yang telah mengadopsi Prinsip G20 tentang transparansi beneficial ownership dan seharusnya memimpin upaya untuk menghentikan korupsi lintas negara yang memanfaatkan perusahaan cangkang. Negara-negara G20 seharusnya tidak surut langkah dan bahkan tertinggal. Negara-negara seperti Afghanistan, Ghana dan Nigeria bahkan telah bergerak maju dengan rencana mewajibkan pendaftaran beneficial ownership.
Wahyudi M Tohar, Program Manager Tata Kelola Ekonomi, Transparency International Indonesia mengatakan, “Kita telah melihat bagaimana perusahaan cangkang disalahgunakan untuk mendukung praktik korupsi lintas negara. Para pemimpin negara-negara G20 perlu mengambil langkah-langkah nyata. Penguatan Transparency beneficial ownership harus jelas mencegah penyalahgunaan sistem keuangan oleh para penjahat korup dan lainnya. Upaya itu menentukan apakah negara G20 memimpin atau malah tertinggal. ”
Narahubung:
Wahyudi M Tohar – Program Manager Tata Kelola Ekonomi : +628157992747